"Saya ingin ganti nama!" Seorang perempuan muda
mendatangi saya. Wajah manisnya terlihat bersih dan bersahaja. Tetapi, jilbab
warna cerah yang dikenakan tak bisa menghapus mendung di rautnya.
"Mengapa?" Sepasang mata agak sipit menatap, ada
genangan air membayang di sana.
"Saya tak nyaman lagi. Nama itu mendadak dibicarakan di
mana-mana."
Saya merayapi parasnya. Menjadi buah bibir, tenar, populer,
bukankah impian banyak orang?
Beberapa alumnus workshop menulis yang saya adakan, ada yang
dengan sungguh-sungguh menyebutkan ‘pengen terkenal’ sebagai alasan mereka
ingin menjadi penulis. Konon, sekarang penulis bisa digolongkan selebritas.
Lebih mudah karena tidak mensyaratkan tampang, tinggi, dan proporsi tubuh
tertentu. Ingin terkenal tapi tidak mau jadi bulan-bulanan infotaintment, jadi
penulis saja, kata mereka lagi.
Tetapi, gadis di depan saya justru terganggu karena namanya
menjadi buah bibir. "Mbak, saya
memakai jilbab sejak kelas tiga SMP. Sudah lebih dari sepuluh tahun. Selama
ini, saya jaga benar tingkah laku sebab tak ingin citra jilbab rusak gara-gara
saya."
Ah, saya makin tak mengerti. Pertama tentang nama, lalu
sekarang jilbab. Kemana kira-kira arah percakapan ini? Saya sabarkan diri dan
membiarkan perempuan muda itu terus berbicara. "Dan seseorang membuat saya kesal karena ia tidak hanya merusak
nama saya, juga citra kerudung sekaligus, dengan mengenakannya sebagai
topeng."
Seseorang? Sebagai
Muslimah berjilbab saya bisa memahami keresahannya. Dulu, di awal saya
berjilbab, beredar isu jilbab beracun. Perasaan saya juga sempat terganggu
ketika ada berita miring soal PSK berjilbab.
Memang, persoalan jilbab dulu dan sekarang berbeda. Tetapi,
tetap jadi fenomena seperti sinetron-sinetron televisi menjelang bulan
Ramadhan. Jilbab juga sering mendadak dipakai perempuan-perempuan yang tersandung
hukum. Saya tidak pernah menghitung
persisnya, tetapi terbilang cukup banyak pelaku kriminalitas, baik selebritas
maupun masyarakat biasa saat meminta maaf di depan publik atau mengikuti
persidangan membalut wajah dengan kerudung, baik disampirkan atau
benar-benar dipakai. Inikah maksudnya? "Saya mualaf, Mbak. Itu saja sudah
menimbulkan kemarahan keluarga karena mereka tak mengerti. Terlebih ketika saya
berjilbab."
Si Muslimah bercerita bagaimana dia ditinggalkan
teman-teman, dimusuhi, dan diancam dikeluarkan pihak sekolah. Sementara,
keluarganya seringkali menarik dan merenggut paksa, bahkan membakar jilbab yang
ia pakai. Ujian serupa juga beberapa kali saya dengar dialami teman yang
berlatar keluarga Muslim.
Seorang sahabat sampai sekarang masih berjuang untuk
berjilbab sebab terhadang keberatan suami yang menganggap jilbab itu kampungan.
Kepada sahabat tersebut sempat saya sampaikan ada baiknya si suami lebih sering
menonton televisi atau melihat majalah agar tahu bahwa jumlah jilbaber atau
hijabers berprestasi dari kalangan masyarakat sampai selebritas sudah
sedemikian banyak saat ini.
Namun, pikiran orang memang macam-macam. Di saat ayah-bunda
seharusnya bangga ketika anak mereka memilih menutup daripada memamerkan aurat,
masih ada yang menentang habis-habisan keinginan si anak menjaga diri dari
tarikan lingkungan yang kian bebas.
Atau, para suami yang tidak merasa lega memiliki istri
berjilbab yang menunjukkan komitmen ketaatan kepada Allah. Padahal, begitu banyak perempuan Muslim masih
berkelit dan mengatakannya sebagai budaya Arab, meski jelas-jelas Alquran
diturunkan untuk seluruh alam.
Anehnya, kadang
sesama Muslimah--prasangka baik saya bahwa mereka belum mengerti--ada yang
justru mengolok-olok Muslimah berjilbab. Berkata lebih baik tidak usah
berjilbab daripada tidak bisa menjaga kelakuan, bukan justru termotivasi untuk
menjadi Muslimah yang lebih baik dari potret sekitar, menjaga akhlak, dan
berjilbab. Setidaknya, keputusan orang lain untuk berpakaian sopan haruslah
dihormati. "Jadi, haruskah saya mengganti nama?"
Perempuan di hadapan saya menunggu jawaban setelah bercerita
panjang lebar. Saya akhirnya mengerti keresahannya. Dia tentu saja berbeda
dengan perempuan yang dikabarkan ditemukan di kamar hotel dengan laki-laki yang
sudah memiliki empat atau lima istri dan satu diantaranya sedang hamil.
Dia juga bukan perempuan yang sama dengan perempuan di hotel
yang menerima saja uang sepuluh juta sebagai uang pertemanan dari lelaki yang
nyaris tidak dikenal sambil berkilah, siapa yang tidak mau dikasih uang
sebanyak itu?
Nama perempuan dengan wajah manis bersahaja, tanpa polesan
make up yang tepekur di hadapan saya boleh sama dengan nama yang saat ini
menjadi pembicaraan di Tanah Air. Tetapi, bukan nama yang menentukan kualitas
diri seseorang. Ada iman yang dengannya tidak ada uang sebesar apa pun bisa
membeli pertemanan, apalagi kehormatan seorang perempuan.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar