Tidak ada terompet, tidak ada kembang api, pesta, atau acara
khusus, ketika 1 Muharam tiba. Hanya hari libur seperti biasa. Kontras dengan
suasana kemeriahan setiap tahun baru 1 Januari. Terasa benar, betapa tahun
hijriah belum memiliki tempat berarti di kalangan sebagian besar masyarakat
Muslim Indonesia. Padahal banyak hal menarik dari tahun baru Islam ini.
Suatu hari Abu Musa Al-Asyári, salah satu gubernur di masa
Khalifah Umar RA menulis surat kepada sang khalifah, menanyakan surat-surat
sebelumnya khalifah yang tidak bertuliskan tahun, tapi hanya tertera tanggal
dan bulan sehingga membingungkan. Amirul Mukminin kemudian mengumpulkan
beberapa sahabat: Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Abdurrahman bin
Auf ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Zubair bin Awwam ra, dan Thalhah bin
Ubaidillah ra, untuk melakukan musyawarah pertama tentang penanggalan Islam.
Ada yang mengusulkan kalender Islam ditetapkan berdasarkan
hari lahir Rasulullah Saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan
Nabi Muhammad Saw menjadi Rasul, atau tahun meninggalnya Rasulullah.
Setelah perbincangan, dimufakati usul Ali bin Abi Thalib ra
untuk menetapkan tahun pertama dalam kalender Islam yakni berdasarkan momentum
hijrah Rasulullah Saw, dari Makkah ke Madinah. Sedangkan nama-nama bulan dalam
kalender hijriah diambil dari nama-nama bulan yang telah ada, dan berlaku pada
masa itu di wilayah Arab.
Saya melihat proses ini menarik. Pertama, perhitungan tahun
pertama kalender hijriah diambil dari peristiwa ketika kaum Muslimin membuat
satu keputusan besar untuk mengubah nasib, yaitu hijrah. Jika diambil dari
tahun lahir atau tahun diangkatnya Nabi, maka tidak ada unsur tindakan manusia,
sebab keduanya merupakan keputusan Allah. Sementara hijrah, upaya perubahan
nasib, yang ditentukan oleh tangan kita sendiri.
Memilih momentum hijrah di luar banyak bahasan lain tentang
hikmahnya, bagi saya juga menjadi obor semangat, yang mengingatkan kaum
Muslimin untuk tidak diam dan selalu berusaha mencapai cita-cita. Mencoba
melakukan lompatan untuk perubahan yang lebih baik. Sekalipun ikhtiar tersebut
berat, berisiko, dan harus meninggalkan kebiasaan lama yang mungkin sulit.
Dengan memahami ini dalam kehidupan --jika tahun hijriah
yang digunakan-- setiap kali umat Islam melihat tanggal, maka semangat untuk
berubah, kekuatan tekad 'hijrah' insya Allah senantiasa terselip dalam ingatan.
Berbeda dengan kalender masehi, yang menetapkan tahun kelahiran Yesus sebagai
tahun permulaan (tahun 1). Karena itu dalam bahasa Indonesia disebut kata
Masehi (disingkat M) dan Sebelum Masehi (disingkat SM) berasal dari bahasa
Arab, yang berarti "yang membasuh", "pembaptis" atau
"membelai."
Dalam bahasa Inggris penanggalan ini disebut "Anno
Domini" AD (bahasa Latin yang berarti "Tahun Tuhan kita") untuk
era Masehi, dan "Before Christ" BC (sebelum [kelahiran] Kristus). Di
masa Khalifah Umar, tahun masehi sebenarnya telah lazim dipakai dan sudah lebih
sistematis, tapi kaum Muslimin kemudian memilih untuk berani berbeda dan
menunjukkan kebanggaan/izzah sebagai bagi kaum Muslimin dengan menggunakan
tahun Qomariah.
Hal lain, ketika tahun masehi menghitung bergantinya hari
sejak pukul 00.00, maka tahun hijriah memulainya sejak matahari terbenam.
Penggunaan tahun qomariyah juga sesuai firman Allah,
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)." (QS Yunus:
5).
Pesan lain tahun hijriah adalah agar umat Islam menjadi kaum
yang produktif, karena tahun hijriah lebih pendek dari tahun masehi. Artinya,
ketika seseorang berbicara akan menyelesaikan tugas dalam satu tahun (masehi),
maka ia merujuk pada 365 hari. Sedangkan seorang Muslim ketika bicara target
satu tahun, maka ia mengacu pada 354 hari atau lebih cepat 11 hari.
Dengan kalender hijriah, setiap tahun muncul diskusi terkait
penetapan 1 Ramadhan, karena perhitungan bulan dalam tahun qamariah berkaitan
dengan perubahan posisi Bulan terhadap Bumi. Situasi yang menuntut ketelitian,
pengawasan, dan komunikasi. Perdebatan yang seharusnya melatih umat Islam
teliti dan terbiasa untuk menghargai perbedaan serta mawas terhadap perubahan
alam semesta. Selamat tahun baru!
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar