Membangunkan Kebaikan


Mengapa banyak mal, toko buku besar, bioskop, hotel, serta perkantoran megah, memiliki mushala tak layak, hanya menampung dua tiga orang, terkadang berada di bawah tangga, sehingga sulit untuk berdiri tegak saat beribadah.

Dan, ini terus berlangsung meski staf dan pengunjung tempat- tempat tersebut mayoritas Muslim. Padahal, ruang yang disediakan bagi para perokok, biasanya cukup mewah dengan lokasi strategis, dekat lobi, meski tidak maksimal digunakan.

Mengapa film-film dan berbagai tontonan yang baik dan mendidik hanya sedikit yang benar-benar menuai sukses? Mengapa iklan-iklan tidak pantas tetap menghiasi televisi di perhelatan akbar olahraga dunia, walaupun banyak mata anak-anak dan remaja yang menonton?

Mengapa buku- buku bagus, sangat inspiratif bagi pembaca, minim penjualannya? Mengapa banyak pengusaha kecil yang fokus mengembangkan produk dalam negeri berkualitas, mengembalikan sebagian keuntungan yang diraihnya untuk masyarakat, usahanya tidak berjalan lancar?

Lima pertanyaan, ada sederet penjelasan, tapi semua jawaban mengerucut pada satu hal: terlalu banyak orang baik yang diam. Jika menginginkan dunia yang semakin dingin, asing, egois, dan kapitalis ini berubah, maka salah satu yang harus dilakukan adalah mendorong orang-orang baik `berbicara'.

Dunia membutuhkan barisan aktif, yang tidak pelit memberi apresiasi dan tidak tinggal diam saat melihat hal-hal yang bisa diubah ke arah lebih baik, sekalipun dia dan keluarga mungkin tak bersentuhan langsung dengan kondisi dan situasi tidak ideal tersebut.

Bayangkan jika pengunjung department store mewah, saat melihat mushala sempit, terpencil, jauh di area parkiran atau basement, menyempatkan diri menyampaikan keluhan ke bagian informasi atau menemui pihak manajemen. Jika dua menit kemudian ada orang lain melakukan hal yang sama, lalu di menit-menit berikutnya keluhan senada tentang mushala terus disampaikan, disertai uploadfoto mushala memprihatinkan tersebut lewat ponsel ke berbagai social media.

Jika setiap hari hal ini dijalankan, insya Allah akan tercipta sebuah perubahan. Kecuali pertokoan mewah tersebut memang tidak berniat membuat mayoritas pengunjung mereka nyaman dan kerasan. Tetap, masyarakat bisa bicara, mengambil langkah- langkah pendekatan ke pemerintah setempat untuk memberi perhatian, lewat demonstrasi yang santun, atau bukan mustahil melalui jalur hukum.

Hal yang sama akan terjadi jika setiap penonton yang menyaksikan film Indonesia berkualitas tak hanya diam, melainkan rajin memberi rekomendasi melalui status Twitter dan Facebook. Mengajak sekitar untuk ikut menonton. Pun giat melakukan protes mulai dari surat pembaca, mention stasiun televisi terkait di social media ketika ada tayangan sinetron dan iklan tak layak.

Ketika pembaca mendapatkan ba nyak sekali pencerahan dari sebuah buku, kemudian aktif mengajak keluarga, sahabat, dan siapa saja yang dikenal atau berada dalam jejaring sosialnya untuk ikut mendapat manfaat.

Insya Allah akan menggerakkan pembaca lain untuk melirik buku si penulis. Penjualan yang meningkat tidak hanya memudahkan proses kreatif penulisnya, sekaligus memotivasi penulis- penulis lain di Tanah Air untuk bergeser dari karya-karya yang kurang punya nilai ke tulisan yang mencerahkan.

Sayangnya, kebanyakan orang baru terusik tatkala kesulitan menyentuh wilayah pribadi, kerabat, teman dekat, atau orang- orang yang kebetulan mempunyai andil dalam hidupnya. Padahal, kebaikan seharusnya tidak digerakkan oleh hal-hal sentimentil atau berdasarkan perhitungan- perhitungan untung rugi.

Terlebih bagi yang memiliki pengaruh, kekuasaan, popularitas, pendeknya sumber daya apa pun yang bisa mempercepat terwujudnya sebuah perubahan.
Maksimalkan potensi dalam amanah yang sedang disandang, sebagai investasi untuk begitu banyak jejak kebaikan tak hanya bagi kita, tetapi juga generasi masa depan, kelak.

Pepatah Arab mengatakan:
berdiam dari kebenaran yang dirusak, bak setan yang membisu.
Sudah saatnya bangun dari kediaman. Lebih baik lagi jika melibatkan anak dan pasangan.
Menjadikan ber bagai semangat perubahan sebagai agenda keluarga.

Dari Abu Sari al-Khudri RA, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, `Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman."


Jangan berhenti pada selemah-lemahnya iman, tanpa lebih dulu usaha, minimal bicara. Tetap meluruskan ketidaksempurnaan yang berada dalam jangkauan, betapapun terasa seperti usaha yang sia-sia, karena kita bukan siapa-siapa. Tetapi, jutaan orang-orang biasa insya Allah, dengan kebersamaan dan kesatuan tekad, akan bisa mengubah keadaan.
Asma Nadia

0 komentar:

Posting Komentar