M. Amin Abdullah
Pengantar
Istilah “act locally and think globally”
(bertindak dan berbuatlah di lingkungan masyarakat sendiri menurut
aturan-aturan dan norma-norma tradisi lokal serta berpikir, berhubungan dan
berkomunikasilah dengan kelompok lain menurut cita rasa dan standar aturan
etika global) sudah mulai muncul ke permukaan sejak dekade delapan
puluhan, namun hingga sekarang, seperempat abad kemudian, belum juga kunjung
ketemu formula yang jitu tentang hal tersebut. Pengalaman kemanusiaan merasakan
hal-hal yang sebaliknya. Bukannya kedamaian, mutual trust, peaceful
coexistence, al-ta’ayus al-silmi, tolerance, tasamuh antar
sesama dan antar kelompok umat manusia, tetapi malah kekerasan, violence,
prejudice (buruk sangka), su’u al-dzan keagamaan, etnisitas, kelas,
ras, kepentingan,[1]
baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Seolah-olah
semua malah ingin membalik adagium “act and think locally only”, tanpa
harus dibarengi “think globally”. Di dalam bergaul, berhubungan dan
berkomunikasi dengan kelompok lain tak merasa perlu mempertimbangkan dan
mengindahkan tata aturan, hukum-hukum, kesepakatan-kesepakatan dan hubungan
international. Masing-masing kelompok etnis, agama, kelas, kultur ingin
mempertahankan, bahkan sekte, madzhab atau aliran pemikiran tertentu
ingin mengokohkan dan mempertegas identitas lokal keagamaan, identitas
kultural, identitas etnis, identitas politik karena merasa di bawah
bayang-bayang ancaman dominasi dan hegemoni kultur , budaya atau peradaban
asing tertentu. Tekanan psikologi sosial yang nyata maupun yang dibayangkan ini
kemudian menimbulkan perlakuan tidak adil (injustice),
diskriminatif (perilaku politik yang membeda-bedakan ras, suku, agama, asal
usul) dan subordinatif (merendahkan dan tidak menganggap penting kehadiran
orang atau kelompok lain). Apa yang salah di sini? What went wrong? Seolah-olah
tidak ada masalah memang dalam mempertahankan identitas dan jati diri kelompok,
tetapi letupan-letupan yang muncul dalam peristiwa lokal, regional, nasional
maupun internasional membuktikan ada masalah memang dalam tatanan pergaulan
dunia.[2]
Tidak ada jawaban yang memuaskan terhadap persoalan ini, namun ikhtiar dan
usaha untuk k1a`````````````` eluar
dari kemelut yang kompleks ini perlu terus menerus diupayakan demi tegaknya
peradaban manusia yang lebih baik dan santun di masa yang akan datang.
Dalam tulisan pengantar singkat ini, penulis tidak
akan menyentuh semua persoalan. Penulis hanya ingin melihat kembali bagaimana
hubungan dan jaringan intelektual antara tradisi keilmuan Ulum al-Diin (Religious
Knowledge), al-Fikr al-Islamiy (Islamic Thought) dan Dirasat Islamiyyah
(Islamic Studies) dalam sejarah intelektual-akademik budaya Islam dan
melihat implikasi dan konsekwensinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
secara luas ketika ketiganya berpisah dan berjalan sendiri-diri, atau
berhubungan erat saling mengenal antar tradisi keilmuan dan apa akibatnya jika
ketiganya saling bertentangan. Hubungan tersebut akan penulis potret dari
perspektif sejarah perkembangan studi agama-agama yang telah melewati 4 (empat)
fase, yaitu, lokal, kanonikal, kritikal dan global. Dalam tulisan ini penulis
membatasi pemahaman ‘Ulum al-Diin sebagai representasi “tradisi
lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash
keagamaan, al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas
pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”, sedangkan Dirasat
Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang
berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan
seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris
yang amat sangat beranekaragam. Menurut penglihatan penulis, para penggemar
dan pecinta studi keislaman sendiri[3]
seringkali tidak dapat membedakan secara jelas dan gamblang (clear and
distinct) antara ketiganya sehingga tidak dapat membentuk satu pandangan
keagamaan (world view) Islam yang utuh, yang dapat mempertemukan dan
mendialogkan secara positif-konstruktif antara yang “lokal” dan “global”,
antara yang “partikular” dan “universal”, antara “distinctive values”
dan “shared values”, antara yang biasa disebut “dzanni” dan “qath’iy”
dalam pemikiran fikih Islam dalam hubungannnya dengan keberadaan
pandangan hidup dan pandangan keagamaan tradisi dan budaya lain
(others; al-akhar) di luar budaya Islam.
Dalam kegamangan meniti kehidupan era global yang amat
kompleks, pendidikan menurut hemat penulis masih merupakan alat yang
dapat mencerahkan peradaban. Pendidikan keagamaan Islam yang terstruktur dan
tersistimatisasi secara utuh, yang diharapkan dapat memberi peta yang utuh,
lengkap dan komprehensif tentang keislaman amat diperlukan oleh warga
masyarakat luas, termasuk para alumni perguruan tinggi umum, para penyelenggara
negara dan para tokoh dan pemimpin gerakan sosial keagamaan. Kebutuhan mendesak
itu muncul mengingat terjadinya kesimpangsiuran lalu lintas informasi tentang
islam dan klaim-klaim keislaman secara sepihak-subjektif, yang semakin hari
semakin membingungkan masyarakat dan semakin tak terkontrol oleh siapapun dan
oleh lembaga apapun. Kecanggihan telekomunikasi, tekonologi informasi
yang menggunakan media electronik lewat jaringan Website, Internet, Multimedia,
E-Jihad, Fatwa-Online dan seterusnya—yang seringkali tak terstruktur secara
sistimatis baik segi materi maupun metodologi—menambah kesulitan masyarakat
untuk memperoleh informasi yang memadai dan akurat tentang Islam.[4]
Serbuan informasi era Cyber dan Digital dalam dunia maya ini besar pengaruhnya
dalam membentuk opini publik dalam masyarakat luas, karena mudahnya diakses
secara cepat tanpa memerlukan waktu lama dan dasar pengetahuan keislaman yang
kuat. Di tengah keputusasaan, despair, ketidakberdayaan dalam menghadapi
realitas baru pasca revolusi industri dan hempasan gelombang revolusi Informasi
dalam borderless society, diperlukan konsep-konsep baru yang dapat
mencerahkan, yang dapat mengolah dan meramu kembali silabi, kurikulum, metode,
pendekatan, filosofi pendidikan agama Islam yang dapat mengantarkan para
peserta didik dan masyarakat luas untuk tetap dapat berpikir jernih, santun,
etis, penuh pertimbangan yang rasional-logis dan dapat mengantarkan
mereka untuk bertindak “act locally and think globally”, tanpa harus
mengorbankan salah satunya.
Empat Fase Studi Agama
Mengawali perbincangan di atas, dengan mengambil
inspirasi dari Keith Ward,[5]
penulis akan membagi terlebih dahulu empat fase atau tahapan studi terhadap
fenomena agama. Pertama, adalah tahapan Local. Semua agama
pada era presejarah (Prehistorical period) dapat dikategorikan sebagai lokal.
Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma, bahkan agama adalah
fenomena lokal. Kelokalan ini tidak bisa dihindari sama sekali karena salah
satu faktor utamanya adalah bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penganut tradisi
dan adat istiadat setempat adalah selalu bersifat lokal. Warisan lama
prasejarah ini ternyata masih berlangsung sampai saat sekarang ini. Bahasa
China, misalnya, hanya terbatas pada daratan China. Begitu juga Jepang,
Inggris, Arab, Melayu. Di benua Eropa sendiri ada beberapa bahasa. Seperti
bahasa Perancis, Jerman, Itali, Spanyol, Belanda dan Inggris. Semua bahasa
tidak ada yang sepenuhnya bersifat universal, dalam arti tidak dapat dipahami
secara langsung seperti menggunakan bahasa ibu sendiri. Ketika manusia harus
belajar keras menguasai bahasa asing, maka hal itu pertanda bahwa fenomena
bahasa adalah fenomena lokal. Letak geograpi juga menjadikan salah satu
faktor lain yang menyebabkan bahasa adalah lokal sifatnya. Dapat dibayangkan
bagaimana bahasa dan tradisi Pastun di wilayah Pakistan dan Afganistan dan
bahasa suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Agama sama sekali tidak bisa
terhindar dari sifat kelokalan bahasa sekaligus dengan batas-batas geograpinya.
Habits of mind, yang kemudian mengkristal menjadi belief adalah
selalu lokal sifatnya. Meskipun lokal, keduanya sangat-sangat diperlukan oleh
umat manusia. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (to be survival),
manusia baik sebagai pribadi maupun kelompok harus memelihara
kebiasaan-kebiasaan tertentu. Identitas kelompok termasuk dalam kategori habits
of mind kelompok yang senasib dan sepenanggungan. Agama, adat
istiadat, norma, kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan, hukum, aturan main dan
begitu seterusnya, dalam perspektif antropologis ini, adalah masuk dalam
kategori habits of mind dan belief pada umumnya. Namun, identitas
lokal ini, tiba-tiba akan mendapat ujian dan cobaan berat ketika pada suatu
saat di kemudian hari terpaksa harus berhadapan dengan sistem adat-istiadat,
norma, kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan, sistem ritual “lain” yang datang
dari wilayah lain. Dalam perjumpaan ini, muncullah keragu-raguan (doubt).[6]
Bagi orang purba dahulu, kehadiran orang atau kelompok lain selalu dianggap
sebagai ancaman yang akan memusnahkan keberadaannya atau mengganggu
kepentingannya (Threat of Extinction). Perasaan
terancam ini lalu diselesaikan dengan cara menolak, menghina, bertindak kejam (cruelty)
bahkan tindakan “menyerang” atau menundukkan (Opportunity to Expand)
kelompok lain yang dianggap sebagai “ancaman” bagi keberlangsungan hidup dan
eksistensi pribadi atau kelompoknya.[7]
Belum terlintas dalam budaya dan cara berpikir mereka saat itu perlunya
partisipasi penuh dan aktif (Participation)[8]
atau keikutsertaan semua pihak yang berbeda golongan (agama, suku, ras, etnis,
bahasa, perbedaan tingkat pendidikan) untuk secara bersama-sama mengelola
pemerintahan dengan baik dan mengelola konflik yang selalu ada di
sekililing mereka dengan cerdas. Sampai sekarang, perasaan atau psikologi
merasa terancam dengan kehadiran orang atau kelompok lain tersebut masih
melekat pada sekelompok orang dan tidak mudah dihilangkan. Pada budaya
masyarakat yang telah maju-modern, keragu-raguan atau doubt yang
sungguh-sungguh (genuine) lantaran hadirnya orang atau kelompok lain di
sekeliling kita hanya dapat diobati atau sedikit banyak dapat dikurangi secara
evolutif lewat penelitian (Inquiry) atau kajian yang serius dengan
kepala dingin dan tidak emosional.
Fase kedua adalah fase Canonical atau Propositional.
Era agama-agama besar dunia (world religions) masuk dalam kategori
tradisi Canonical ini. Kehadiran agama-agama Ibrahimi (Abrahamic
Religions), dan juga agama-agama di Timur, yang pada umumnya menggunakan
panduan Kitab Suci (the Sacred Text) merupakan babak baru tahapan
sejarah perkembangan agama-agama dunia paska prehistoric religions di
atas. Budaya baca tulis (Literacy) dengan menggunakan huruf, sudah mulai
dikenal dalam kehidupan umat manusia. Tradisi yang dulunya “oral”
(lesan) berubah menjadi “written” (tulis), dengan menggunakan alphabet,
huruf, kata, anak kalimat, kalimat dan begitu seterusnya. Ketika norma-norma,
aturan-aturan, kesepakatan-kesepakatan lokal, ditulis dan dibukukan maka
sejarah manusia memasuki babakan baru yang disebut Canonical.
Masing-masing agama, baik Abrahamic religions (Yahudi, Kristen, Islam)
maupun Eastern religions (agama-agama Timur) mempunyai kitab suci
sebagai panduan hidup moral, hukum dan sosial. Pada era ini pula muncul 4
(empat) model pemahaman tentang realitas spiritual, yaitu idealis (hanya yang
bersifat spiritual lah yang ada), dualis (spiritual dan materi dua-duanya ada
dan masing-masing secara relatif berdiri sendiri-sendiri), teis
(spiritual dan materi kedua-duanya memang ada, namun adanya materi
sepenuhnya tergatung kepada kepada yang spiritual), dan monis (spiritual dan
meteri adalah merupakan dua aspek yang berbeda tetapi sesungguhnya menunjukkan
satu kesatuan yang tak terpisahkan). Model-model ini telah berkembang di
wilayah India, Timur Dekat (Tengah) dan Asia Timur. Dari situ kemudian, muncul
4 aliran besar dalam pemikiran keagamaan dunia. Era ini disebut “canonical’
karena semuanya menerima adanya wahyu yang kebenarannya dianggap final dan
absolute, yang terjelma dalam kitab suci (sacred text).
Dalam tradisi-tradisi besar ini, agama tidak
hanya berhubungan dengan dunia spiritualitas tetapi juga berusaha keras untuk
mengatasi keinginan-keinginan manusia yang bersifat egoistik dan menjadikan
pengetahuan tentang penyatuan kembali dengan yang spiritual sebagai nilai
tertinggi. Tetapi agama-agama canonical ini hampir seluruhnya memberikan
pandangan dan pendapat tentang realitas yang maha tinggi tadi dalam
berbagai penafsiran yang berbeda-beda. Selain itu, semuanya juga terlibat aktif
dalam sistem budaya dan politik setempat sehingga agama-agama canonical
ini selalu terlibat dalam konflik yang tak berkesudahan. Seirama denga
perjalanan waktu, tradisi interpretasi terhadap kitab suci mulai berkembang
dari waktu ke waktu. Pelapisan sosial berdasarkan kemampuan dan kemahiran
menguasai dan memahami kitab suci mulai terstruktur dan terlembaga seiring
dengan perkembangan waktu. Ulama, kyai, pastur, pendeta, pedande, bhikkhu, resi
dan begitu seterusnya berkembang dengan hierarkhi yang berkembang sesuai dengan
kebutuhan jaman yang memerlukannya. Panduan keagamaan yang
didasarkan pada teks kitab suci inilah yang berkembang pesat di
abad tengah dan di kemudian hari nanti akan mempunyai andil dalam membentuk
corak keberagamaan yang scripturalis-tekstualis, selain tradisi-tradisi lain
yang lebih kontekstual juga ikut berkembang dalam menginterpretasikan kitab
suci.[9]
Fase ketiga adalah fase Critical. Pada
abad ke-16 dan 17, kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang
radikal, yang terwadahi dalam gerakan Enlightenment. Meskipun ini adalah
pengalaman Eropa, tetapi dalam perkembangannya juga merambah ke seluruh
tradisi agama-agama dunia selain Kristiani dan Yahudi Eropa. Agama-agama
tradisional menghadapi tantangan berat sehingga memaksa para penganutnya untuk
memikirkan kembali secara menyeluruh asumsi-asumsi dasar yang telah menjadi habits
of mind dan belief, dengan mengikuti bahasa yang digunakan
Peirce tadi. Dua tantangan besar tersebut adalah prinsip-prinsip berpikir
yang harus berdasarkan pada bukti-bukti riil di lapangan (the principle of
evidentalism)—dalam arti bahwa seluruh kepercayaan hendaknya secara
proporsional bersedia (legowo) untuk menghadapi pertanyaan dan
pertanggungjawaban uji public—serta prinsip otonomi moral (the principle of
autonomy) dalam arti bahwasanya kepercayaan agama, khususnya hal-hal yang
terkait dengan persoalan moral (moral beliefs) hendaknya tidak
didasarkan atas otoritas. Kalau umat beragama menerima kedua prinsip Enlightenment
ini, maka kepercayaan agama dalam bentuknya yang tradisonal-konvensioanl selama
ini, tidak akan dapat dipertahankan lagi.
The principle of evidentalism bukan dimaksudkan untuk menghadirkan bukti konkrit
bahwa Tuhan itu ada atau tidak, tetapi lebih pada uji sahih di hadapan publik
terhadap perilaku sosial-keagamaan yang dianggap menyimpang dari asas kepatutan
dan akal sehat (common sense). Tidak dapat diingkari sama sekali bahwa
antar pengikut dan pendukung keberagamaan yang bersifat Canonical-texstual
sendiri seringkali muncul ketegangan-ketegangan sosial-politik yang tak
terhindarkan. Pengalaman hubungan disharmonis dan penuh ketegangan dan
kekerasan antara Katolik dan Protestan di Barat pada abad tengah, antara
kelompok Sunni dan Syi’iy di Timur Tengah pada abad-abad sebelumnya
bahkan hingga sekarang, Mahayana dan Hinayana di lingkungan tradisi keagamaan
Buddha, Brahmaisme, Wisnuisme dan Syivaisme di lingkungan Hindu dan masih
banyak lagi yang lain, yang menjadikan atau mendorong munculnya “doubt”
seperti telah diungkap di depan. Doubt inilah yang memicu munculnya
tradisi baru dalam sejarah pemikiran keagamaan yang disebut penelitian atau research.
Tradisi keilmuan baru dalam mempelajari agama-agama dunia ini, selain didorong
rasa ingin tahu tentang hakekat agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, juga
didorong oleh cara berpikir Kritis atau Critical dalam beragama. Pada abad
ke-18, sebutlah mudahnya begitu, tumbuh tradisi baru, yaitu tradisi
manusia yang berusaha ingin mengurangi atau menghilangkan rasa “doubt”
dalam diri pribadi dan dalam kehidupan sosial dengan cara melakukan
pengamatan dan penelitian terus menerus (Research).[10]
Tradisi baru ini berkembang terus, yang kemudian membudaya dalam dunia
akademis, penelitian (research), scholarly work dan wilayah
intelektual pada umumnya. Pandangan keagamaan yang mewakili “insider”
dan “outsider”[11]
mulai muncul di sini. Objektif dan subjektif, fideistic subjectivism dan
scientific objectivism,[12]
believer dan spectator mulai dikenal. Belakang para ilmuan
membedakan antara “faith” dan “tradition”;[13]
antara “essence” dan “manifestation” dalam beragama. Sejarah
perkembangan studi terhadap fenomena agama, ibarat gerak jarum jam, tidak bisa
diputar kembali. Ketiga tradisi tersebut berjalan bersama. Kadang bersenggolan,
kadang berjalan bersama lalu pisah dipersimpangan jalan, bahkan kadang
bertubrukan juga. Dalam kondisi seperti itu muncul fase keempat yaitu fase
Global.
Fase keempat adalah fase Global. Belum
tahu persis bagaimana formatnya yang utuh nanti, tetapi yang jelas
era teknologi informasi, ditambah lajunya kemajuan transportasi udara,
laut dan darat mempercepat terwujudkannya impian borderless society ini.
Dalam era global, fenomena glokalisasi juga tampak jelas di sini. Tradisi lokal
dibawa ke arena global. Muslim diaspora, immigrant muslim di Eropa, gerakan
transnasionalisme menempati salah satu bagian dari kompleksitas kehidupan agama
di era global ini.[14]
Apakah pada tempatnya yang baru di Eropa ini, para migran Muslim perlu menyusun
dan menciptakan sistem kehidupan keagamaan tersendiri, sebagai hasil adaptasi
dengan lingkungan sekitar yang baru, ataukah mereka masih bersikukuh
mempertahankan sistem aturan fikih lama, yang biasa digunakan dan
dipraktikkan di tempat-tempat yang dihuni oleh mayoritas Muslim, baik di Timur
tengah, Pakistan atau Indonesia? Ataukah mereka harus berpikir dan bertindak
“seolah-olah” mereka masih menghuni daratan dan bergaul sehari-hari dengan
orang-orang atau masyarakat mayoritas muslim di negara asalnya dan tidak
mempedulikan sama sekali sistem dan aturan kenegaraan dan keagamaan di tempat
baru yang mereka huni selama tiga generasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi?
Pertanyaan yang sama pernah diajukan secara sengit oleh pengikut Katolik di
Indonesia dalam perbincangan mereka dengan pusat Katolik di Roma.[15]
Fikih mayoritas dan fikih minoritas kemudian muncul ke permukaan dengan
tiba-tiba ketika pengikut agama dihadapkan pilihan-pilihan sulit ketika harus
tinggal di tempat yang seharusnya ia tidak bertempat dan berdomisili disitu.
Muslim diaspora sedang mencari solusi yang aman dari tarikan kepentingan fikih aktsariyyah
atau aghlabiyyah dan kemungkinan mempunyai kewenangan secara otonom
menyusun sendiri sistem fikih aqalliyyah yang adjustable dengan
lingkungan setempat.[16]
Fase Global ini sama-sama sulitnya dengan tiga fase yang telah dilalui oleh
umat beragama.
Tidak hanya itu. Paska bencana alam Tsunami di Banda
Aceh, dunia internasional membantu pemerintah Indonesia umumnya dan Pemda
Nangroe Aceh Darussalam khususnya untuk keluar dari kesulitan yang mereka
alami. Australia, Jerman, Denmark, Norwegia, Swiss, Amerika Serikat, Turki,
Oman, Saudi Arabia, Jepang dan lain-lain membantu pemerintah daerah membuat
jalan raya, perumahan rakyat, sumber air bersih, rumah sakit, masjid, perbaikan
lingkungan hidup dan sarana prasarana yang lain. Secara otomatis, warga Banda Aceh
yang 100 persen baragama Islam sekarang terbuka dan terpaksa (atau lebih tepat
dipaksa oleh alam) untuk membuka diri menerima kehadiran orang luar (the
others). Orang asing dan badan-badan internasional datang tidak
sebagai turis atau guest workers (pekerja tamu) tetapi sebagai partner
internasional untuk bantuan kemanusiaan (humanitarian aids). Orang Aceh
sekarang berkomunikasi dengan orang, kelompok dan bangsa lain yang tidak
seagama, tidak seadat-istiadat, tidak sepaham, tidak sependidikan, tidak seetnis,
tidak sebangsa dengan mereka. Dalam proses ini, pasti ada harga yang
harus dibayar. Paling tidak mereka sekarang mengenal tata nilai
baru, yang paling mudah diamati sekarang adalah nilai ekonomi yang
membuat beaya hidup (sewa rumah, kebutuhan makan-minum sehari-hari-hari,
kesehatan, transportasi dan lain-lain) jauh lebih mahal dibanding sebelum
tsunami. Nilai-nilai ‘asing’ masuk ke Banda Aceh tanpa bisa dibendung. Semua
ini menunjukkan bahwa pada era sekarang ini ada fikih baru hubungan internasional
dan tanggungjawab kemanusiaan yang menjadi acuan norma-norma hubungan antar
bangsa-bangsa yang tidak bisa dihindari oleh siapapun, khususnya jika
manusia mengalami krisis lingkungan dan kemanusiaan seperti bencana
tsunami, yang tidak bisa lagi ditangani dan diselesaikan sendiri oleh
masyarakat dan negara setempat. Bagaimana memahaminya dalam perspektif
pendidikan agama di era global? Umumnya, pendidikan agama yang berjalan
sekarang ini tidak dapat mengantisispasinya dengan cara yang memuaskan, karena
pendidikan agama selalu mengacu pada nilai-nilai, praktek hidup beragama
yang bersifat normal, stabil, rutin, wajar dan tidak ada ruang untuk
mendiskusikan untuk masalah-masalah yang tidak normal, tidak stabil, krisis.
Bercermin dari dilema dan kompleksitas pergumulan
studi agama dengan fase-fase perkembangan yang telah dilaluinya, bagaimana peta
perkembangan Studi Keislaman di dunia dan di Indonesia khususnya dan
implikasinya dalam pendidikan agama? Persoalan ini layak dan penting untuk
dikaji, diteliti, dicari solusi-solusi yang menyegarkan dan mencerahkan untuk
semua stakeholders yang berkepentingan, baik untuk para pendidik, dosen,
guru, tokoh masyarakat, pimpinan organisasi sosial-keagamaan, pimpinan partai
politilk, diplomat dan masyarakat luas pengguna jasa keilmuan keislaman, untuk
dicari rumusan ulang yang lebih antisipatif dan akomodatif terhadap persoalan
kemanusiaan gobal.
Dari Ulum al-Diin ke al-Fikr al-Islamiy
dan Dirasat Islamiyyah
Pengertian Dirasat Islamiyyah atau Islamic
Studies sebenarnya berbeda dari pengertian Ulum al-Diin yang
biasa dikenal selama ini. Ketika disebut Ulum al-Diin (Religious
knowledge), pemahaman kita umumnya langsung merujuk kepada ilmu-ilmu agama
(Islam) seperti aqidah dan syari’ah dengan menggunakan ilmu bantu
bahasa (yang dapat membantu memahami kandungan dan arti nash atau teks
kitab suci) dan logika deduktif yang merujuk dan menderivasi hukum-hukum,
aturan-aturan dan norma-norma agama dari kitab suci. Dari sana lalu
muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalam, Fikih, Tafsir,
Hadis, Qur’an, Faraidl, Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan begitu
seterusnya dengan ilmu bantunya bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah, Badi’,
‘Arudl).[17]
Dalam perkembangannya, ketika bahan dasar atau bahan pokok (Ushuluddin)
keagamaan Islam ini terkumpul dan disusun secara sistimatis dan
terstruktur secara akademis dengan melibatkan pendekatan sejarah pemikiran (Origin,
Change dan Development), maka secara akademik Ulum al-Diin
berkembang menjadi subjek yang secara luas sekarang di kenal di lingkungan
Perguruan Tinggi sebagai al-Fikr Islamiy (Pemikiran Islam).
Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed,[18]
misalnya, telah menulis buku tentang Islamic Thought atau al-Fikr
al-Islamiy yang isinya secara komprehensif meliputi Studi al-Qur’an
dan al-Sunnah, pemikiran Hukum (Legal thought), pemikiran Kalamiyyah (Theological
thought), pemikiran Mistik (Mystical thought atau Sufism),
Ekspresi Artistik, pemikiran Filsafat (Philosophical thought), pemikiran
politik (Political thought), dan pemikiran Modern dalam Islam. Yang
ingin ditekankan di sini adalah bahwasanya Islamic Thought atau al-Fikr
al-Islamiy mempunyai struktur ilmu dan the body of knowledge yang
kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam, sedang ‘Ulum al-Diin
seringkali hanya menekankan atau memilih bagian tertentu saja atau satu-dua
saja dari the body of knowledge pengetahuan tentang Islam yang
utuh-komprehesif tersebut. Kadang penekanannya hanya pada pemikiran Kalam atau
Aqidah saja dengan meninggalkan kajian Filsafat. Seringkali penekanan hanya
pada fikih dengan meninggalkan tasawuf. Ada pula yang hanya menekankan dan
mencintai Hadis (dalam era teknologi canggih malah cukup menggunakan CD) tetapi
tidak mengenal perdebatan dan pergumulan tentang Hadis yang mendalam[19]
dan pemikiran fikih yang sangat mendalam dalam kitab-kitab kuning, apalagi
sampai mengenal perdebatan pemikiran kalamiyyah dan tasawuf. Bahkan tidak
jarang terjadi, bahwa pengajaran yang partial-tidak utuh tadi masih direduksi
lagi dengan hanya memilih salah satu corak pemikiran atau pola pikir ‘keilmuan’
yang sesuai dengan ‘kepentingan’ kelompok masing-masing di masyarakat’ Sebutlah
sekedar sebagai contoh, orang atau kelompok Sunni hanya mempelajari pemikiran,
tokoh dan metode berpikir, buku-buku, kitab kuning ala Sunni saja dengan
meninggalkan dan tidak mengenal sama sekali sama sekali pola pikir, tokoh,
metode berpikir, buku-buku, kitab kuning pemikiran Kalamiyyah Syi’iy.
Dan begitu pula sebaliknya. Belum lagi harus menyebut pemikiran Kalamiyyah
model Wahhabiyah, Baha’i, Ahmadiyyah, Qadyaniyyah, dan begitu seterusnya.
Masing-masing aliran pemikiran Kalamiyyah ini malah justru saling menutup diri
dan saling menghindar untuk ketemu, bahkan saling menghujat dan saling murtad
memurtadkan. Setidaknya pada level psikologi kelompok, para pendukung aliran
pemikiran Kalamiyyah ini cenderung sangat emosional.[20]
Dengan begitu, pengajaran dan pembelajaran ‘Ulum
al-Diin yang diselenggarakan oleh masyarakat sekarang ini sangat terasa
sangat “local”, dangkal, parsial (sepotong-potong) provincial
(terkotak-kotak; terbatas cara pandangnya), parochial (sempit). Dalam arti,
tanpa disadari oleh para pelaku dan actor yang berada di belakangnya, mereka
jatuh pada pemihakan al-Firqah al-Islamiyyah tertentu dan
belum sampai masuk ke al-Firaq al-Islamiyyah. Maka pengajaran ‘Ulum
al-Diin terkesan menjadi dangkal, rentan terhadap konflik-konflik—untuk
tidak menyebutnya sangat rentan terhadap tindak kekerasan antar
kelompok—tidak mendalam dan tidak komprehensif. Studi ‘Ulum al-Diin di
berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia, hampir-hampir kehilangan horizon
keilmuan keislaman yang utuh, luas dan komprehensif. Pengajaran ‘Ulum
al-Diin kontemporer lebih bercorak partial, reduktif, selektif, tanpa
melihat ketersambungan dan keterkaitannya dengan kluster yang lain dalam satu
rumpun disiplin keislaman.[21]
Dengan begitu tidak cukup lagi orang yang belajar Islam hanya
terbatas pada Ulum al-Diin yang parsial, parochial, sectarian,
provincial, dan reduktif, jika seseorang ingin mempelajari khazanah
intelektual Islam secara utuh, mendalam dan komprehensif. Kehadiran al-Fikr al-Islamiy, Islamic Thought atau Pemikiran Islam yang pendekatannya lebih
historis, sistimatis, utuh-komprehensif, non-sektarian, tidak provincial,
tidak parochial, sebenarnya sangat menolong untuk mengisi kekurangan
yang dialami dan melekat pada corak pembelajaran dan praktik pengajaran ‘Ulum
al-Diin tersebut di atas.
Ketika pergumulan dan silang pendapat antara Ulum
al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy belum selesai dan belum duduk, dunia
akademis keilmuan Islam terus berkembang, mengikuti perkembangan ilmu-ilmu dan
metode-metode penelitian yang umum ada di dunia akademis pada umumnya.
Publikasi hasil penelitian lapangan, hadirnya journal keilmuan keislaman,
simposium, seminar-seminar keilmuan, encyclopaedia, terbitnya buku-buku baru
dari manapun datangnya, baik dari insiders maupun outsiders,
mulai merangsek masuk ke pusat-pusat studi keislaman baik di Barat maupun
Timur. Dengan munculnya berbagai metode dan pendekatan baru yang muncul mulai
abad ke 18-19, baik yang disebut filologis-historis dan lebih-lebih social
sciences,[22]
maka munculah cluster baru keilmuan Islam yang disebut dengan Dirasat
Islamiyyah atau Islamic Studies. Cara kerja untuk memperoleh data (process
dan procedure), cara berpikir mendekati persoalan akademik yang dihadapi
(approaches), asumsi-asumsi dasar yang digunakan (basic assumption)
sangatlah berbeda dari kedua jenis keilmuan keislaman yang mendahuluinya.
Selain masih merujuk pada kluster ilmu-ilmu keagamaan (Islam) yang paten,
standard baku dalam Ulum al Diin dan al-Fikr al-Islamiy, ia
juga ditopang dan diperkokoh oleh research (penelitian) lapangan,
pengamatan historis-empiris yang ‘objektif’ tentang dinamika sosial,
ketersambungan (continuity) dan perubahan (change), pola (pattern)
dan trends pergumulan sosial-politik, ekonomi, budaya, pola-pola
ketegangan, konflik, harmoni dan merekam pluralitas interpretasi makna oleh
para pelaku di lapangan. Pendekataan kritis dan comparative
(perbandingan) sangat diutamakan dalam tradisi keilmuan Dirasat Islamiyyah
atau Islamic Studies. Metode dan pendekatan historis, psikologis,
antropologis atau sosiologis (meskipun tidak sampai jatuh pada jebakan
reduksionistik) terhadap realitas keberagamaan muslim di lapangan selalu
digunakan oleh Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies.
Penggunaan ‘kerangka teori’ untuk memandu analisis data yang terkumpul dari
lapangan juga sangat dipentingkan dalam Dirasat Islamiyyah. Dengan kata
lain, Dirasat Islamiiyah selalu menggunakan dan menggandeng metode kerja
tata pikir ilmu-ilmu sosial untuk membedah realitas keberagamaan Islam
di alam nyata kehidupan sehari-hari, tidak hanya di alam teks dan tidak
pula hanya terbatas pada alam rasio.[23]
Munculnya generasi baru Dirasat Islamiyyah
menjadi sangat asing dan sedikit aneh bagi penggemar dan pecinta Ulum
al-Diin, dan mungkin bagi pecinta dan penggemar al-Fikr al-Islamiy.
Dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam tentang isu-isu
kontemporer seperti Hak Asasi Manusia,[24]
gender[25]
(partisipasi wanita dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan),
pluralitas agama,[26]
hubungan dan hukum Internasional yang menggunakan metode dan pendekatan
campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat islamiyyah
mengagetkan para pecinta ‘Ulum al-Diin yang masih menggunakan perspektif
metodologi keilmuan lama. Bahkan belakangan terdengar suara keras untuk
menolak perkembangan baru (the idea of progress) dalam studi keislaman
ini, dengan melempar tuduhan liberal, sekuler, murtad, pendangkalan akidah dan
begitu seterusnya. Hal itu dapat dimaklumi karena corak pendekatan kritis dalam
studi agama (Islam) tidak atau belum begitu dikenal dan tidak popular di
kalangan masyarakat muslim. Ada keyakinan kuat bahwa pelaksanaan ajaran
agama di masyarakat tidak perlu dipertanyakan ulang, tidak perlu diteliti,
tidak perlu diamati, tidak perlu ditinjau ulang untuk tidak menyebutnya tidak
boleh dikritik.[27]
Jika dilihat dari perspektif ke empat tahapan atau
fase studi agama di atas, maka tampak bahwa ‘Ulum al-Diin masih
pada tahapan Canonical—bahkan dengan uraian di atas terbaca bahwa
sebagiannya telah merosot ke fase “local”, dalam arti, parochial-provincial—sedangkan
al-Fikr al-Islamiy berada pada masa transisi ke arah pematangan
munculnya Dirasat Islamiyyah yang bercorak Critical. Seperti
disinggung di atas, rupanya hubungan, persentuhan, dan perkembangan dari satu
fase tertentu ke fase yang lain tidak dapat berjalan mulus, bahkan terputus-putus.
Ada goncangan-goncangan di situ. Goncangan-goncangan selalu mengiringi
perjalanan sejarah perkembangan fase-fase studi terhadap fenomena agama. Tidak
hanya terjadi di Timur, tetapi juga terjadi di Barat.[28]
Tradisi pendukung pola pikir Canonical-textual-scriptural tidak rela
(tidak legowo) jika tradisi alam pikiran Critical—apalagi Global—ikut
campur memasuki domain mereka yang telah dipelihara dan dijaga berabad-abad.[29]
Meskipun tidak dapat digeneralisasikan, perlu dan penting untuk disebutkan di
sini, bahwa pada era belakangan ini ketidakrelaan tersebut justru
dimotori dan digerakkan oleh para pecinta Ulum al-Diin yang
berlatarbelakang studi umum seperti kedokteran, engineer, physical sciences,
computer sciences, yang pengetahuan mereka tentang perkembangan studi
Islam dari waktu ke waktu tidak begitu lengkap dan tidak mendalam. Mereka ini
tidak salah sesungguhnya, tetapi sistem pendidikan yang bersifat dikhotomis
antara umum dan agama, yang sudah begitu kronis-akut, menjadikan generasi
sekarang bernasib malang seperti yang dapat dilihat sekarang ini. Pertemuan (meeting
point) antara keberatan yang diajukan oleh para pecinta ‘Ulum al-Diin
dari perguruan tinggi umum (non Islamic Studies) dan para pecinta
pembelajaran ‘Ulum al-Diin—yang belum mengenal wilayah al-Fikr
al-Islamiy secara utuh-komprehensif dan belum mempunyai kesempatan
mendalami Dirasaat Islamiyyah kontemporer—menambah kencangnya angin di
buritan pesawat peradaban muslim di berbagai tempat di dunia. Baik di Barat,
tempat para Muslim minoritas tinggal maupun di Timur, tempat mayoritas Muslim
tinggal. Peradaban yang sedang mengalami trubulensi (goncangan) hebat karena
perubahan cuaca buruk hubungan antar bangsa-bangsa di dunia paska invasi
Amerika Serikat atas Irak tahun 1990-an dan Afganistan, setelah meluasnya
pengaruh al-Qaeda serta pemboman World Trade Center (WTC), New York dan
Pentagon, Washington pada 11 September 2001. Memburuknya cuaca hubungan antara
Barat dan Timur (Islam), mendorong munculnya genre baru trend
pemikiran Kalamiyyawh dalam Islam yang disebut oleh Khaled Abou el Fadl
sebagai Puritan dan Moderat. Akan penulis kutip pengamatan Khaled
Abou el-Fadl sebagai berikut:
To become truly modernized, according to the puritans,
means to regress back in time and recreate the golden age of Islam. This,
however, does not mean that they want to abolish technology and scientific
advancements. Rather, their program is deceptively simple—Muslims should learn
the technology and science invented by the West, but in order to resist Western
culture, Muslims should not seek to study the social sciences or humanities.
This is the reason that a large number of puritans come, to the West to study,
but invariably focus their studies on the physical sciences, including
computer science, and entirely ignore the social sciences and humanities.
Armed with modern science and technology, puritans believe that they will be
better positioned to recreat the golden age of Islam by creating a society
modeled after the Prophet’s city-state in Medina and Mecca.[30]
Kesan dan pengamatan serupa disampaikan oleh
intelektual Palestina yang telah lama tinggal di Barat, Ibrahim M. Abu-Rabi’
sebagai berikut:
The absence of social science or critical philosophy
perspectives from the field of Shari’ah studies can be illustrated by the fact that most students who
acquire a government scholarship to pursue their graduate education abroad,
especially from the Gulf states, study only the hard sciences or business
administration, supposedly value-free or cricism-free subjects. In my many
years in the United States (almost twenty years now), I have never encountered
a single student from the Gulf pursuing a graduate degree in political science,
philosophy, or history. Closing the door to any type of critical perspective
has been the underpinning of the field of Religious Studies (especially
Islamic Studies) and made it quite irrelevant. This fact has made it quite
difficult in many Arab countries to encourage the growth of a scientific
tradition, developed mainly in the West, to study the complex interplay between
religion and society in the modern Arab world. The discipline of the
sociology of religion is looked upon as bid’ah, or innovation, that does not
convey the real essence of Islam. Just like the study of the modern Arab
state system, the sociology of religion is a necessity in the Arab world.[31]
Jargon-jargon, istilah-istilah baku dalam pemikiran
dan ideologi konfliktual Kalamiyyah era Lokal-Canonical muncul
kembali dan sangat popular saat sekarang ini di tanah air lewat gerakan-gerakan
sosial-keagamaanIslam (Islamic movements; Harakah) dengan memanfaatkan
mesin politik yang sama-sama konfliktual. Mencampuradukkan tuduhan
pemurtadan, pendangkalan aqidah, pensyahadatan ulang (kosa kata
idiologi-keagamaan yang lazim digunakan dalam pengalaman keberagamaan
Islam) dengan tuduhan liberal, sekuler, pluralism (kosa kata idiologi-barat
yang lazim digunakan dalam pengalaman pergumulan keagamaan Kristen)
dalam satu paket adalah cermin kesulitan positioning dalam mendialogkan
dan mempertautkan antara kluster ‘Ulum al-Diin, kluster al-Fikr
al-Islamiy dan kluster Dirasat Islamiyyah. Sejatinya, para pecinta
dan penggemar ketiga kluster keilmuan ini tidak perlu membangun “tembok tebal”
pemisah antara ketiga cluster keilmuan keagamaan (Islam) tersebut.
Tetapi memang demikianlah perkembangan sejarah intelektual Islam. Adanya
dinding atau tembok tebal tersebut menjadikan ketiganya menjadi saling
terpisah, asing dan terasing antara satu dan lainnya. Tidak saling mengenal dan
tidak saling menghargai. Mutual distrust ada disana. Bahkan belakang
hubungan antara ketiganya terasa sangat antagonistis, bermusuhan, berbau ancaman,
dan tidak sehat.
Tugas dan proyek besar keilmuan keislaman kontemporer
adalah bagaimana menjelaskan pola-pola keterhubungan antara ketiganya dan
mendamaikan silang pendapat yang tidak proporsional serta menghilangkan
sikap saling curiga antara ketiganya. Ketiga kluster tersebut sebenarnya
bersaudara, hanya saja cara atau sudut pandang, keluasan horison
pengamatan (Approaches) dan metode (Process dan Procedure)
pengambilan dan pengumpulan data serta aneka ragam sumber data yang diperoleh
dari berbagai bahasa (termasuk bahasa asing) berbeda antar ketiga tradisi
kelimuan keislaman tersebut sehingga hasilnya pun berbeda. Perbedaan itu muncul
karena perkembangan intelektual manusia itu sendiri. Perkembangan sejarah
intelektual adalah min lawazim al-hayah, seperti halnya perkembangan
pengalaman hidup bernegara umat manusia yang semula cuma kumpulan dari tribes
(suku-suku; qabilah) ke pembentukan ummah, dan kemudian dari ummah
berkembang ke pendirian negara-bangsa (nation-states) seperti saat
sekarang ini. Bahkan sekarang mengarah ke paska nation-states, yang
biasa disebut global. Masing-masing fase mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri sejak dari sistem hukum, sosial, budaya, ekonomi termasuk
agama. Dalam proses perkembangan seperti itu, continuity (kesinambungan)
dan change (perubahan), dan perkembangan dan transformasi (development)
pasti ada. Tetapi dalam melewati perkembangan sejarah intelektual semacam itu,
semua aktor dan pelaku sejarah aturannya tidak boleh kalap, disoriented,
dan buruk sangka (prejudice) antar satu dan yang lain. Sebelum meneruskan
ke tahapan pembahasan lebih lanjut penulis ingin kembali sejenak untuk
menyampaikan pengamatan pemikir muslim dari Mesir,Hasan Hanafi pada
perkembangan Ushuluddin, khususnya pemikiran Kalamiyyah, dari masa ke
masa. Saya kutip utuh apa yang ditulis Hasan Hanafi.
Perkembangan Pemikiran Kalamiyyah dari Waktu ke
Waktu
Hasan Hanafi menggambarkan ada lima fase perjalanan
yang dialektis dari karya-karya ilmu Ushuluddin:[32]
Kemunculan Objek dan Aliran
Fase ini pada abad IV H dan V H direpresentasikan
dalam At-Tanbih wa ar-Radd karya al-Malata asy-Syafi’I (377 H), dan At-Tamhid
karya al-Baqillani (403 H) yang memfokuskan pada objek-objek tauhid, kenabian,
dan kepemimpinan. Kemudian terjadilah peralihan dari aliran menuju objek-objek
dalam karya al-Ibanah oleh al-As’ari (330 H) dan peralihan dari
objek-objek menuju aliran yang terdapat dalam karya al-Minal wa an-Nihal
oleh asy-Syahrastani (548 H). Karya-karya ini didominasi oleh objek-objek atau
tema-tema tentang tauhid, keadilan, janji dan ancaman, as-sam’ (periwayatan)
dan rasio. Terakhir adalah peralihan dari aliran menuju objek-objek tanpa
konstruksi (pembentukan) aliran dan objek-objek definitive sebagaimana yang ada
dalam Maqalat al-Islamiyyin karya al-Asy’ari (330 H), al-Fashl
karya Ibnu Hazm (456 H) yang didominasi oleh objek-objek tentang tauhid, qadar,
iman, ancaman, kepemimpinan, dan sebagian problematika alam.
Dari Problematika ke Objek-Objek dan Dari Objek-Objek ke Landasan Pokok
Bagian ini tergambar dari abad pertama hingga abad
kelima. Pemikiran dimulai dari problematika keyakina-keyakinan sejak penghujung
abad pertama sampai abad ketiga, yaitu objek-objek kekuasaan, kemampuan, qadha’
dan qadar menurut pandangan Amr ibn Ubaid (145 H), Jaham bin Sofwan (128 H),
Wasil bin Atha’ (181 H), Abu Hudzail al-Allaf (226 H), an-Nazhzham (220/231 H),
al-Jahizh (255 H), Abu Ali al-Jubbai (195 H) dan putranya, yakni Abu Hasyim
(321 H). Namun dikarenakan tulisan yang jelek, karya-karya utama para teolog
era permulaan yang semuanya dari kelompok Mu’tazilah itu tidak sampai pada
kita. Hanya saja sebagian problematika yang terpisah dalam berbagai aliran
dimulai dari sela-sela dialog dan debat sebagaiman tampak jelas dalam al-Intishar
oleh al-Khiyat (200 H), atau semata-mata problematikan dan objek-objek
serta negasi terhadap pihak yang kontroversi dengannya, seperti Kitab
at-Tauhid oleh al-Maturidi (333 H) dan al-Masa’il al-Khamsu oleh
ar-Razi (606 H). Jenis karya yang demikian itu terus berlangsung sampai pada
orde mutakhir dalam karya Masa’il oleh Abu Lais. Akhirnya tema-tema
problematik itu ditransformasikan ke dalam bentuk fasal-fasal, bab-bab, dan
pokok-pokok, sebagaimana yang terdapat dalam al-Insyaf karya
al-Baqillani (403 H), al-Luma karya al-Asy’ari (330 H), Luma’
al-Adillah, al-Irsyad, dan asy-Syamsil karya al-Juwaini (478 H), Asas
at-Taqdis karya ar-Razi, Bahr al-Kalam karya an-Nasafi (508 H), dan Ghayah
al-Maram karya al-Amidi (631 H). Objek utama tauhid adalah tauhid,
kenabian, dan kepemimpinan tanpa sistematisasi dan klasifikasi. Kemudian
klasifikasi objek-objek pembahasan ituparipurna dalam persoalan dasar (ushul)
yang terdapat dalam Nihayah al-Iqdam karya asy-Syahrastani (548 H)
dalam duapuluh pokok, Ushul ad-Din karya al-Baghdadi (429 H) dalam lima
belas pokok yangs emuanya merupakan pandangan Asy’arisme; selanjutnya adalah al-Mughni
dalam duapuluh bab, al-Muhith dalam dua bab, dan Syarh Ushul
al-Khamsah yang seluruhnya karya Abdul Jabbar (415 H) dari kelompok
Mu’tazilah.
Dari Pokok-Pokok Agama (Ushuluddin) Menuju Konstruksi
Ilmu Pengetahuan
Periode ini menggambarkan suatu landasan yang terdapat
dalam abad keenam, tujuh, dan delapan hijriyah tatkala teologi yang
terpolarisasi ditrasformasikan ke dalam konstruk yang saling menyempurnakan
bagi ilmu pengetahuan. Demikian itu dimulai dengan karya al-Aqidah
an-Nizhamiyyah oleh al-Juwaini (478 H), al-Iqtishad fi al-I’tiqad
oleh al-Ghazali (505 H), kemudian disempurnakan dalam al-Muhashshil fi Ushul
ad-Din oleh ar-Razi (606 H), Thawali’al-Asyrif al-Maqashid oleh
at-Taftazani (791 H). Konstruksi ilmu pengetahuan tampil sebagai introduksi
ilmu pengetahuan dan introduksi kedua dalam yang diketahui, yakni entitas yang
ada. Kemudian konstruksi ilmu pengetahuan itu didefinisikan sebagai teori
tentang ketuhanan (rasionalitas-rasionalitas) yang meliputi teori esensi,
atribut, dan tindakan privasi esensi yang enam, atribut esensi yang tujuh,
penciptaan tindakan-tindakan, kemudian baik dan buruk, yakni empat objek.
Kemudian, sebagai teori tentang as-sam’iyyat (kenabian) yang mengandung
emapt objek juga: an-nubuwwah (kenabian), al-ma’ad (hari akhir), al-iman
wa al-amal (keimanan dan tindakan), dan terakhir adalah al-imanah
(kepemimpinan).
Dari Konstruksi Ilmu Pengetahuan Menuju
Keyakinan-keyakinan Keimanan
Yaitu suatu periode yang di dalamnya mengalir
konstruksi ilmu pengetahuan rasional dan ditransformasikan ke dalam abstraksi
hierarkis keyakinan-keyakinan keimanan. Kendatipun de facto sudah
terdapat catatan permulaan dalam al-Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah,
namun ia dalam fase ini tampil baru yang dimulai pada permulaan abad kesembilan
hingga sekarang. Semua keyakina-keyakinan itu terpusat pada dua ujung dasar,
yaitu Allah dan rasul. Proposisi epistimologis dan proposissi ontologis
ditransformasikan ke dalam teori tentang hukum (virtue) rasional: wajib,
mungkin, dan mustahil. Persoalan keyakinan-keyakinan (aqa’id) telah
mengalami peralihan dari tahap elaborasi sesuatu yang harus diyakini oleh
seorang mukmin sebagaimana yang ada dalam al-Aqa’id an-Nasafiyyah karya
an-Nasafi (642 H), al-Aqa’id al-Adhudiyyah karya Adhudiddin al-Iji (756
H), dan al-Aqidah ath-Thahawiyyah karya ath-Thahawi (821 H) menuju
tahapan bilangan (nominal) dan klasifikasi. Untuk itu, wajib bagi seorang
muslim untuk mempercayai empat puluh delapan keyakinan, yakni empat puluh
keyakinan mengenai Allah, dan delapan keyakinan mengenai rasul.
Keyakinan-keyakinan tersebut telah dibentuk dalam syari sebagaimana yang ada
dalam kitab Jauhar at-Tauhid oleh al-Qani (1041 H), al-Kharidahal-Bahiyyah
karya ad-Dardiri (1190 H), dan Wasilah al-Abid oleh azh-Zhahiri.
Pada masa-mas yang lain, keyakinan-keyakinan tersebut terdiri dari lima puluh
buah keyakinan dengan satu relasi, kemudian dikonfrontasikan kepada rasul
sebagaimana yang ada dalam Kifayah al-Awami karya al-Fadhali. Secara
umum penyusunan karya tulis dalam ilmu kalam terus berlangsung ketika
bermunculan buku-buku sekolah dan penelitian-penelitian perguruan tinggi yang
menukil pandangan pakar-pakar klasik denagn tanpa relasi, perubahan atau
reinterpretasi. Ta’lif bergeser menjadi sarana pekerjaan dan kesejahteraan
kehidupan.
Dari Keyakinan-keyakinan Keimanan Menuju Ideologi Revolusi
Itulah periode yang dimulai sejak abad lalu, yakni
gerakan-gerakan pembaruan terakhir dan yang tergambar (direpresentasikan) dalam
Risalah at-Tauhid karya Muhammad Abduh (1323 H) dari aspek reaktualisasi
tradisi Mu’tazilah dan pemusatan pada kebebasan akal dan kehendak, kemudian
lahir sejarah dan penyebaran Islam di dalamnya sehingga masyarakat muslim
menyadari proses kebangkitan mereka. Seruan pembaruan menuju ke masa depan dan
transformasi keyakina-keyakinan religious ke dalam ideology revolusioner terus
berlangsung, sehingga masyarakat muslim mampu menghadapi problem-problem utama
yang muncul dalam kehidupan mereka, seperti penjajahan, zionisme, disintegrasi,
kapitalisme, dan keterbelakangan, dan sehingga mungkin mempersenjatai
masyarakat dalam bentuk baru dan menyatukan mereka yang dimulai dari prinsip
tauhid.
Dari uraian tersebut, tampak sekali bahwa ke lima fase
yang ditandai dan dicermati oleh Hasan Hanafi belum memasukkan fase Kritikal
dan apalagi Global. Keilmuan Ushuluddin dalam format seperti
itu dan Ulum al-Diin seperti tergambar di atas akan mengalami kesulitan
luar biasa ketika harus berhadapan dengan perkembangan sejarah umat
manusia secara Global yang penuh dinamika, tantangan baru,
komptetisi dan konflik, baik pada skala lokal, regional, nasional dan
lebih-lebih lagi internasional. Untuk itu, perlu format baru yang lebih
akomodatif dan antisipatif terhadap berbagai kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh umat Islam dan umat beragama pada umumnya ketika mereka harus
berhadapan dengan perkembangan sejarah kemajuan peradaban manusia (the idea
of progress), permasalahan adanya orang atau kelompok lain ( the others
atau al-akhar) di luar diri dan kelompok kita, baik dari segi
agama ( Buddha, Hindu, Konghucu, Tao, Yahudi, Katolik, Kristen), warna kulit
(hitam, kuning, putih), suku-suku (Jawa, Aceh, Minang, Batak, Melayu, Bugis),
bangsa-bangsa (Asia, Eropa, Afrika, Amerika, Australia). jenjang pendidikan
(pesantren, MTs, MA, S1, S2 , S3), Geografi (Barat, Timur, Selatan, Utara),
seks (gender distinction), kelas ekonomi ( maju, berkembang,
miskin), konsep fikih ( fikih lama dan fikih baru tentang hak asasi
manusia (HAM), fikih aghlabiyyah dan fikih aqalliyyah di
negara-negara Eropa yang berpenduduk minoritas Muslim dan begitu
seterusnya.
Oleh karenanya, Ulum al-Diin sebagaimana yang
kita kenal sekarang ini tidaklah cukup memadai untuk menghadapi persoalan dan
tantangan-tantangan baru era modernitas dan paska modernitas. Untuk keluar dari
paradigma keilmuan agama Islam yang lama ke yang baru perlu upaya-upaya baru
yang dapat mengawinkan, memperkaya, mempertautkan khazanah intelektual lama (al-Turast)
dengan khazanah intelektual baru (al-Hadatsah; bahkan ma ba’da al-hadastah)
agar generasi baru yang hidup pada era global sekarang dan lebih-lebih yang
akan datang tidak gamang menghadapi modernitas dan paska modernitas.
Keilmuan Agama Islam dan Ilmu-ilmu Sosial dan
Humanitas Kontemporer
Seperti diungkap di atas bahwa memang ada keterputusan
(missing link) perkembangan dan hubungan antara kajian keilmuan
Islam yang bercorak Canonical-Propositional dan kajian keilmuan Islam
yang bercorak Critical (Dirasat Islamiyyah; Islamic Studies).
Ketiganya sepertinya tidak bersambung, terputus dan tidak saling berdialog,
tidak saling mengenal dan tidak saling mengambil manfaat masukan yang
disumbangkan oleh satu kluster keilmuan kepada kluster keilmuan yang
lain.[33]
Hubungan antara ketiganya pun, menurut hemat penulis, bukannya
bersifat Hirarkis, dimana Ulum al-Diin atau Dirasat Islamiyyah
atau al-Fikr al-Islamiy diandaikan paling tinggi, paling utama
atau penting dibanding yang lain. Hubungan antara ketiganya bersifat Dialogis
dan Negosiatif.[34]
Masing-masing kluster tidak hanya secara pasif mengambil manfaat dari
kluster yang lain, tetapi juga secara aktif dapat memberi masukan kepada
kluster yang lain. Masing-masing kluster dapat saling berdialog dan saling
menyampaikan kritik (al-naqd) membangun jika ada hal-hal atau poin-poin
yang lemah, janggal, bahkan ugly dan memang perlu diperbaiki dan
disempurnakan. Tidak ada truth claim antar kluster di sini. Hubungan
antara ketiganya bersifat cair, tidak membeku pada klusternya tertentu.
Dengan cara pandang seperti itu, pengembangan keilmuan Islam yang akan
berdampak besar pada pola dan metode pendidikan agama di era global dapat
dimungkinkan mengingat tantangan yang dihadapi dari hari ke hari, dari waktu ke
waktu, dari kurun ke kurun sangat lah luar biasa. Bahasa popular yang sedang
muncul ke permukaan adalah Islam yang “Rahmatan li al-‘Alamiin”.
Rahmat bagi seluruh isi alam, dan bukannya hanya rahmat untuk kalangan intern
sendiri saja. Hanya dengan perspektif seperti itulah maka adagium
dan dalil al-muhafazah ‘ala al- qadim al-salih dan al-akhdzu bi al-jadid
al-aslah dapat dioperasionalisasikan dan dipraktikkan di alam
pendidikan agama (Islam). Jika tidak, maka yang terjadi hanyalah al-muhafazah
‘ala al-qadim al-salih, sedang sisi keduanya berubah menjadi wa
lam ya’khudz bi al- jadid al-aslah. Sudah barang tentu, kerja besar ini
semuanya perlu dikerjakan dengan penuh kecermatan, kesungguhan,
kehati-hatian, penuh kearifan, termasuk kearifan lokal, dan tidak grusa-grusu
atau serampangan. Sebagian syarat-syarat melakukan ijtihad lama masih tetap berlaku
tetapi perlu ditambah dengan metode dan pendekatan keilmuan baru yang
sebagian telah penulis uraikan di atas.
Menurut hemat penulis, terapi yang diperlukan untuk
mengobati kecenderungan konservatisme dan eksklusifisme pendidikan agama di era
modern[35]
adalah bagaimana mengelas, menghubungkan dan mempertautkan hubungan yang kokoh
antara ketiganya. Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies yang
bercorak Critical dan Dialogical perlu dikenalkan kepada anak didik agar
nilai-nilai dari keberagamaan yang otentik untuk menyangga kehidupan bersama (peaceful
coexistence; al-ta’ayus al-silmi) dapat dipelihara dan dikembangkan
suburkan. Perbedaan visi dan misi muslim puritan dan moderat pun dapat
dijembatani. Nilai fundamental keberagamaan Islam yang bersifat altruistic
(Taqdiim ‘ala al-ghair; al-Itsar; mendahulukan dan memprioritaskan
kepentingan orang lain dan umum dari pada kepentingan sendiri dan kelompok)
perlu ditonjolkan kepada anak didik dan masyarakat luas, dan bukannya
cuma nilai-nilai yang bersifat egoistic, agitatif dan acitivistic.
Nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang terpancar
dari nilai altruistic dalam keberagamaan yang otentik dan tulus antara
lain munculnya rasa empati (rasa senasib dan sepenanggungan bersama yang lain),
simpati (merasakan perasan orang atau kelompok lain (the others; al-akhar)
seperti yang ia rasakan sendiri), memiliki sensivitas atau kepekaan yang tinggi
terhadap perasaan (feelings) orang atau kelompok lain, kasih sayang
(tanpa harus disekat oleh perbedaan umur, seks, ras, agama, etnis, kelas),
kedermawanan (mentalitas yang meilmpah; abundant mentality), kejujuran, fairness,
keterbukaan (tidak dendam dan tidak suka menutup-tutupi maksud yang
sesungguhnya; tidak menggunting dalam lipatan), keadilan, kesetaraan,
toleransi (secara proaktif-positif menghormati keberbedaan tersebut), mempunyai
penafsiran yang berbeda dari yang kita miliki, tidak mendahulukan
absolusitas dalam segala hal), tidak totalistik (memaksakan kehendak; tanpa
argumen yang rasional, komprehensif), menghargai dan menghormati orang
lain sebagaimana adanya, kesederhanaan (sak madyo dalam bersikap,
bergaul, berperilaku, berpakaian, perabot rumah, perhiasan, makan, minum),
disiplin diri (dalam menggunakan dan mengatur waktu, uang, dana,
kesempatan), moderasi atau mengambil sikap jalan tengah (tidak mendahulukan
ekstrimitas dan radikalitas), kesabaran (budaya antri; tidak egoistik), selalu
mendahalukan tindakan yang non-diskriminatif (suka membeda-bedakan atas dasar
suku, ras, etnis, umur, seks, agama, sekte, jenjang pendidikan) dan lebih
mengutamakan budaya non-violence. Budaya global memerlukan nilai-nilai
fundamental kemanusiaan yang soft seperti yang antaranya disebut di
atas, dan sudah barang tentu masih banyak yang lain lagi. Hanya saja, bagaimana
cara penyampaiannya kepada anak didik secara lebih akademik sekaligus
paedagogis? Salah satu yang penulis usulkan adalah lewat pengenalan
bagian-bagian tertentu dari ilmu-ilmu sosial kritis dan humanaties kontemporer
yang dikawinkan dengan budaya lokal yang mendarah mendaging dalam payung Ulum
al-Diin dalam konteks budaya Islam.
Dengan bantuan cara berpikir dan metode ilmu-ilmu
sosial, yang salah satunya menggunakan prinsip evidentalisme (selalu
melibatkan dan mempertimbangkan data-data dan fakta-fakta konkrit di lapangan),
manusia dan umat beragama pada umumnya menyadari benar adanya fakta sosial
(belum lagi politik dan ekonomi) yang ada di hadapan dan mengelilingi mereka
adalah sangat keras. Fakta keras di lapangan tersebut adalah bahwa hidup adalah
penuh dengan keperbedaan, pertentangan dalam setiap lini, ketidak harmonisan,
ketegangan, konflik, permusuhan, penghinaan, kebencian, dendam, buruk sangka,
memandang rendah kelompok lain, ketidakadilan, tindakan membeda-bedakan
(diskriminasi), kekacauan, kekerasan (violence), keserakahan, kehendak
untuk menguasai, ketidaknyamanan psikologis. Belum lagi menyebut radikalisme,
ekstrimisme, dan terrorisme. Dalam praktik keberagamaan dalam dunia sosial,
manusia beragama tidak bisa menghindari hal itu. Bahkan agama adalah bagian
yang tak terpisahkan dari kenyataan sosial itu. Bisa sangat boleh jadi,
jika tidak ekstra hati-hati, agama adalah bagian dari
permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Agama menjadi a part of the
problem, bukannya a problem solver, jika para pelakunya tidak
menyadari perlunya kritik dalam kehidupan beragama sehari-hari. Umat
beragama tidak boleh menghindari kritik. Kehidupan beragama tidak boleh kebal
dari (immune) dari kritik. Agar kehidupan beragama yang majemuk
(majemuk secara internal maupun eksternal) dengan intensitas dan ekstensifitas
perjumpaan antar kelompok, sekte, komunitas, partai, golongan, ras, etnis,
kelas, tingkat pendidikan yang semakin cepat dan luas di era global ini tidak
menimbulkan situasi yang kacau (chaotic) dan tidak pula terjadi apa yang
dikhawatirkan sementara pihak sebagai pendangkalan aqidah, maka bantuan
ilmu-ilmu sosial dan humanitas kontemporer sangat diperlukan.
Studi agama, khususnya fenomenologi agama, yang
menggunakan seperangkat metodologi ilmu-ilmu sosial yang bersifat interdisiplin
memberi masukan berharga bahwa studi agama adalah amat unik dan khas. Mungkin
juga paling sulit. Kesulitan terletak pada kenyataan pertama, bahwa jika
ilmu-ilmu lain mengandaikan dapat membedakan secara tegas dan lugas antara
peran “objek” dan subjek” dalam telaah dan analisis akademik mereka, sedangkan
dalam studi agama hal demikian tidak mungkin dilakukan. Keterlibatan peran “subjek”
sangat kental dalam studi agama, namun adanya fenomena “objek” di luar
subjektivitasnya pengamat atau peneliti juga jelas-jelas ada dan tidak dapat
dinegasikan begitu saja. Meskipun “objek-objek” di luar “subjek” tadi juga
memiliki “subjektivitas” sendiri-sendiri, justru itulah yang sejak awal
harus dipertimbangkan secara serius. Dengan demikian, sejak awal berangkat
studi agama memang bersifat Objektif-cum-Subjektif atau Subjektif-cum-Objektif.
Inilah letak keunikan sekaligus kesulitan studi agama.[36]
Dengan begitu, studi agama tidak dapat disamakan begitu saja dengan studi
ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya, apalagi biologi, kimia,
pisika, dan matematika. Kedua, yang menjadi ciri khas studi agama adalah
adanya unsur Nonfalsifiable Postulated Alternate Realities, yaitu adanya
kepercayaan, keimanan, aqidah, credo, yang diasumsikan pasti banar adanya, dan
tidak bisa dipertanyakan dan dipermasalahkan oleh siapapun. Tidak mengenal
falsifikasi dan verifikasi seperti umumnya dikenal dalam ilmu-ilmu
dan wilayah bidang studi yang lain. Bahkan dalam pemikiran kalamiyyah Islam
tegas-tegas disebut dengan istilah “bila Kaifa” (tak boleh dipertanyakan
whatness, howness, whereness, dan whyness nya). Tidak bisa didiskusikan,
tidak bisa diperdebatkan. Tidak bisa difalsifikasi. Semua agama-agama dunia
mempunyai struktur lapis dasar hard core seperti itu. Seringkali wilayah
ini disebut sebagai wilayah the Sacred (yang suci). Tidak hanya
agama tertentu saja (sebutlah Islam saja) yang memiliki sifat dasar seperti
itu. Semua agama memiliki struktur dasar seperti itu. Kalau asumsi dasar
dalam ilmu ekonomi atau psikologi dapat didiskusikan dan dapat dibantah secara
terbuka, dan tidak perlu membawa-bawa emosi, tapi kalau agama tidak
demikian halnya. Dalam agama , emosi sangat terlibat disitu. Struktur dasar ini
bagus, karena kalau tidak punya sifat seperti itu bukanlah agama namanya. Namun
sudah barang tentu hal tersebut mempunyai harga yang harus dibayar.
Fanatisme, absolutism, mungkin juga truth claim berakar dari
situ.
Sering dilupakan oleh umat beragama adalah kenyataan
bahwasanya hard core keberagamaan ini selalu terselimuti dan terbungkus
dalam praktik historisitas (tarikhiyyah; historicity) di alam
praktik kehidupan sosial, budaya, politik, psikologi dan belum lagi dalam
bentuk-bentuk ekspresi artistiknya. Sisi kedua ini sesungguhnya sarat dengan
interpretasi-interpretasi para tokoh-tokoh besar, para pelaku sejarah
pendiri madzhab, aliran-aliran, pemangku kepentingan, relasi kuasa, kelengkapan
sumber yang digunakan, situasi sosial-budaya dan politik yang mengelilinginya
dan begitu seterusnya. Jadi, meskipun semula tadi ada yang disebut atau
dikategorikan sebagai wilayah yang Nonfalsifiable, tetapi dalam alam
praktik historisitasnya sesungguhnya ada wilayah yang falsifiable.
Yang sangat rumit dan kompleks dalam fenomena kehidupan beragama adalah
percampuradukan antara kedua wilayah tersebut. Sebagian atau seluruh yang
semestinya masuk wilayah Falsifiable dimasukkan dalam wilayah
Nonfalsifiable sehingga aspek historisitasnya tidak diperhitungkan atau
dihapuskan sama sekali demi untuk menjaga berbagai kepentingan yang
menyertainya.
Setidaknya ada enam atau tujuh wilayah interpretasi
manusia terhadap hard core keberagamaan. Pertama, Meyakini
adanya suatu Zat yang mengatasi kemampuan manusia (Belief
in a certain things). Kepercayaan atau keimanan ini akhirnya setelah
disistimatisasikan dan dibakukan menjadi dogma, credo, (rukun) iman dan begitu
seterusnya. Kedua, Melakukan kegiatan atau aktifitas rutin yang
diulang-ulang (Perform certain activities). Ibadah atau ritual
dalam agama-agama masuk dalam kategori ini. Ketiga, Menghormati kitab suci (Hallowing
a certain text). Bisa Zabur, Injil, Taurat, Qur’an, Veda, Upanishad dan
kitab-kitab lain, great books, yang sangat dihormati dan dianggap suci
serta dijadikan rujukan dan pedoman hidup oleh para pengikutnya. Keempat,
Menaruh kepercayaan kepada seseorang yang dianggap punya charisma untuk
memimpin (Invest authority in certain personalities). Dapat
disebut nabi, rasul, pemimpin besar, pahlawan, great leaders dan
seterusnya. Kelima, Menuturkan ceritera dan sejarah asal usul munculnya
seperangkat kepercayaan ini untuk kepentingan transfer pengetahuan dan
pengalaman kepada generasi yang datang berikutnya (Telling story).
Penuturan ini bisa oral (lesan) atau written (tertulis).
Penuturan tertulis ketika perkembangan sejarah manusia telah mengenal
budaya tulis menulis. Keenam, Kelompok umat beragama menyusun code of
conduct, sistem moral, tata pergaulan hidup sehari-hari di lingkungan dalam
maupun ketika menghadapi orang di luar kelompoknya. Sistem Syariah atau perda
Syariah yang muncul belakangan di tanah air menjadi ilustrasi yang tepat untuk
point ini (Legitimate morality). Ketuju, kesemuanya kemudian di
bakukan dalam bentuk institusi-institusi dan lembaga-lembaga, baik pendidikan,
sosial politik, sosial budaya, sosial kemasyarakatan. bahkan juga dalam
bentuk-bnetuk ekspresi lahiriyyah dalam bentuk karya-karya seni, baik pahat,
ukir, kaligrafi dan banyak yang lain (Institution and artistic expression).[37]
Masukan fenomenologi agama yang memanfaatkan ilmu-ilmu
sosial kritis membantu Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah
keluar dari paradigma Ulum al-Diin yang belum memanfaatkan
masukan-masukan dan temuan-temuan ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial berangkat
dari kancah lapangan yang konkrit, objektif, ada dengan sendirinya, tanpa
intervensi dan rekayasa dunia subjektif. Fakta-fakta di lapangan lah yang
menjelaskan fenomena dengan sendirinya. Selain menyandarkan pada prinsip evidentalisme
(bukti-bukti konkrit–empiris di lapangan), ilmu-ilmu sosial juga menggunakan
pendekatan komparatif, dan sekaligus kritis. Dengan prinsip evidentalisme,
komparatif (perbandingan) dan kritis, maka manusia dapat terbantu memahami peta
atau map keberagamaan umat manusia secara universal yang sangat plural-majemuk
ini. Dalam ketujuh wilayah historisitas agama tersebut masing agama-agama
menjadi unik-spesifik. Lain dari pada yang lain. Partikularitas agama-agama
terletak di wilayah historisitasnya. TIDAK ADA AGAMA YANG SAMA APALAGI
SEBANGUN DALAM WILAYAH HISTORISITAS (TARIKHIYYAH) INI. DALAM 7 (TUJUH)
ITEM BENTUK MANIFESTASI SOSIAL-KULTURAL-LINGUAL KEBERAGAMAAN MANUSIA TERSEBUT,
AGAMA YANG SATU DAN YANG LAIN AMATLAH SANGAT BERBEDA. TIDAK ADA YANG SAMA
DI SINI. YANG MENYAMAKAN ANTARA SATU DAN YANG LAIN ADALAH ADANYA PATTERN
ATAU POLA UMUM (GENERAL PATTERN) YANG MELEKAT-BAKU DALAM SETIAP
KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN SPESIES MANUSIA YANG DAPAT DITEMUKAN SECARA
INTELEKTUAL LEWAT BANTUAN STUDI, TELAAH, PENGAMATAN YANG
EMPIRIS-KRITIS-KOMPARATIF. KALAUPUN TIDAK BOLEH DIKATAKAN SAMA, SECARA
INTELEKTUAL MASIH DAPAT DIKATAKAN ADANYA FAMILY RESEMBLANCE (KESERUPAAN
KELUARGA) DALAM KE TUJUH ITEM MANIFESTASI TERSEBUT. Dengan uraian dan
penjelasan ini, maka apa yang dilangsir oleh sementara kalangan adanya
pendangkalan aqidah adalah tidak berdasar, karena masing-masing agama
mempunyai daya tarik dan kekuatan aqidahnya sendiri-sendiri. Dengan model dan
pendekatan seperti ini, umat beragama diberi masukan yang cukup berharga
bagaimana menghadapi kolega umat beragama lain, dan begitu pula
sebaliknya, yang sama-sama mempunyai keyakinan yang kuat akan kebenaran agama
mereka sendiri-sendiri tetapi tetap memberi ruang untuk dialog bahkan hak hidup
bersama dalam kehidupan yang harmonis (al-ta’ayus al-silmi).
Apabila hal-hal yang fundamental ini dapat dipahami
dengan jelas secara intelektual – tidak secara parochial, partisan, sektarian,
dan tanpa disulut pula oleh perasan psikologi-emosional – yaitu pemahaman
yang baik dan jernih tentang adanya pembedaan wilayah operasional antara yang
disebut nonfalsifiable dan yang falsifiable, antara yang objektif
dan subjektif, meminjam bahasa usul fikih antara yang Qat’iy dan yang Dzanniy,
antara general pattern dan particular pattern, belum lagi
jika keduanya tumpang tindih dan saling bergayut, maka subjektifitas
dalam beragama adalah sah-sah saja, sejauh subjektifitas itu tidak
berlebih-lebihan dan berubah menjadi dogmatism dan fanatisme dengan
menghilangkan dimensi objektifitas dalam beragama yang termanifestasikan dalam
pola-pola dasar dan pola umum yang dapat dijumpai dimana saja dalam
penganut agama-agama dunia yang manapun juga. Kecerdasan spiritualitas
keberagamaan era global adalah terletak dalam kemampuan seseorang, kelompok,
pimpinan kelompok untuk dapat melakukan dialog yang intens,
sungguh-sungguh, mendalam, dan tulus dalam dan dengan diri sendiri serta
antar para pemimpin kelompok untuk dapat melerai ketegangan yang selalu
ada dalam diri seorang yang beriman.
Pola Pikir Sosial-Keberagamaan yang Rekonsiliatif dan
Mediatif
Terjadi ketegangan yang luar biasa antara Barat dan
Timur, antara Barat dan Islam, untuk tidak menyebutnya antara Yudeo-Kristiani
dan Islam, antara fundamentalisme dan sekularisme, minoritas-mayoritas, antara
puritan dan moderat, antara fundamentalisme dan moderatisme dalam
pemikiran Islam kontemporer.[38]
Semuanya mempunyai klaim-klaim kebenaran dan asumsi-asumsi dasar yang nonfalsifiable,
tanpa mengindahkan dimensi falsifiable yang ada melekat dalam kubu
masing-masing. Istilah benturan antar peradaban (the clash of
civilization) dan benturan antar teman sendiri dalam peradaban tertentu (the
clash within civilization) mengemuka dimana-mana, ditambah dan dibumbui
dengan aksi-aksi provokatif dari para provokator yang ingin memancing di air
keruh, sehingga muncullah apa yang dikategorikan sebagai hardliners,
ekstrimisme, radikalisme dan terrorisme di berbagai tempat di dunia.[39]
Dalam lingkungan umat Islam sendiri, seperti disebut di muka, terjadi saling
tuduh murtad, kafir, pendangkalan aqidah dan begitu seterusnya. Semuanya tampak
tegang, yang sesekali muncul ke permukaan dengan baku hantam di tempat terbuka,
letusan senjata dan peledakan gedung dengan cara bom bunuh diri dan berbagai
tindakan anarkhis-kekerasan yang lain.
Menurut hemat penulis, setelah memahami watak dasar
dan struktur fundamental cara kerja dari kluster Ulum al-Diin, al-Fikr
al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer maka yang perlu
dilakukan oleh para pecinta dan penggemar ilmu-ilmu ini adalah berupaya keras
bagaimana dapat mempertautkan antara ketiganya. Agaknya yang belum dicoba dalam
sejarah intelektual Islam era modern dan paska modern adalah upaya untuk secara
serius mempertautkan antara ketiganya. Ketiganya masih berdiri
sendiri-sendiri secara eksklusif. Masing-masing merasa cukup (self
sufficiency) dengan dirinya sendiri. Masing-masing tidak merasa memerlukan
bantuan dari yang lain. Yang lebih berat adalah karena masing-masing di dukung (back
up) oleh institusi, lembaga, tenaga, dana oleh organisasi sosial
keagamaan dan penyandang dana yang lain. Lalu, ketiganya cenderung tidak saling
mengenal bahkan saling menegasikan. Yang paling umum dan sederhana adalah
menyamaratakan saja antara ketiganya, tanpa ada pembedaan metodologis yang
tajam dan ketat. Dirasat Islamiyyah adalah disamakan begitu saja
dengan Ulum al-Diin, dan begitu juga sebaliknya. Begitu juga halnya
antara Ulum al- Diin dan al-Fikr al-Islamiy dan sebaliknya.
Ketidaksambungan antara ketiganya tidak hanya tampak dalam pola penulisan
silabi dan kurikulum di PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam), apalagi di PTU
(Perguruan Tinggi Umum), tetapi yang lebih dirasakan banyak orang
adalah ‘ketersendirian’ dalam bangunan blok-blok cara berpikir keagamaan
Islam para pelaku dan activis di lapangan. Amat sangat sulit menghadapi era
baru sejarah kehidupan umat manusia yang saling terhubung antar budaya, agama,
ekonomi, politik seperti saat sekarang ini, jika pengetahuan keagamaan Islam
hanya bertumpu pada satu pilar yaitu Ulum al-Diin atau bertumpu
pada salah satu dari kedua pilar yang lain. Persentuhan antar ketiganya dan
pertautan yang saling melengkapi adalah kebutuhan jaman yang tidak bisa
ditunda-tunda. Ketegangan-ketegangan yang terjadi balakangan ini hanyalah
karena antara ketiganya tidak saling mengenal. Tidak saling menyapa , bahkan
cenderung saling menegasikan keberadaan yang satu dan lainnya. Ada
kesalahpahaman diantara para pemangku tradisi berpikir keagamaan Islam. Pola
pikir ini perlu dibenahi secara serius dan direkonstruksi secara radikal, jika
generasi sekarang ini menginginkan kehidupan yang harmonis antar berbagai
orchestra keberanekaragaman di dalam kehidupan intern umat , apalagi jika harus
berhubungan dengan orang atau kelompok lain.
Dengan mencermati pola-pola hubungan yang bercorak single
entity (entitas tunggal; hanya mengenal satu kluster sedang
kluster-kluster yang lain tidak dikenal), separated entities (ketiga
kluster ada, tetapi terpisah-pisah dan tak saling terhubung, tidak saling
berkomunikasi antara yang satu dan lainnya) dan integrated entities
(ketiga kluster tersebut saling terpaut dan terhubung) berikut implikasi dan
konsekwensinya masing-masing pada dataran praktis di lapangan. maka upaya
serius untuk mempertautkan ketiga kluster pilar studi Islam
tersebut layak dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Dengan keterpautan
dan keterhubungan antara ketiganya akan dimungkinkan munculnya cara berpikir (mentality),
sikap (attitudes) dan perilaku (behaviour) baru dalam
keberagamaan Islam yang lebih mediatif-rekonsiliatif. Pola
pikir dan tata pergaulan sosial-keagamaan lama yang bersifat antagonistik,
hitam-putih, eksklusif, absolute, dogmatis, truth claim,
tertutup, keras, tidak memberi ruang dan tempat untuk orang atau kelompok lain,
tak mengenal kompromi dan konsensus harus bergeser ke arah corak pola
pikir baru keagamaan yang lebih kondusif untuk menabur benih corak berpikir
keagamaan yang lebih rekonsiliatif, mediatif, partisipatif, mengenal warna lain
selain hitam-putih, mengedepankan pentingnya konsensus, kompromi, inklusif,
terbuka. Tidak hanya ‘tradisi’ (al-Muhafazah ‘ala al-qadim al-salih)
yang ditekan-tekankan dan ditonjolkan, tetapi juga aspek “translation” (al-Akhdz
bi al-jadid al-aslah), yakni dengan cara menerjemahkan kembali dan
menafsirkan ulang konsep-konsep dan khazanah intelektual lama ke konteks
intelektual baru yang lebih menjanjikan untuk menjawab tantangan jaman.[40]Wa
Allahhu a’lam bi al-sawab.
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 19 Desember 2008
[1]Secara
normatif-tekstual semua sikap dan pola hubungan antagonistik antar kelompok
sosial, etnis, agama, dan ras ini bertentangan dengan himbauan dan ajakan ayat
al-Qur’an yang tegas-tegas menyebut, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha
Penyayang”. (Al-Hujuraat, 12).
[2]Belakangan dunia dikejutkan oleh aksi teror yang
melanda India. Dalam waktu yang hampir bersamaan, beberapa kota di India
diserang oleh sekelompok teroris yang menamakan kelompok Deccan
Mujahidin. Yang paling dramatis adalah aksi penyerbuan hotel Taj Mahal di
Mombay, yang menewaskan tidak kurang dari 200 orang. Target utamanya adalah
orang asing berasal dari Barat, tetapi warga Negara India sendiri yang menjadi
korban. Dalam sepuluh tahun terakhir banyak peristiwa serupa di dunia ini,
khususnya setelah tentara Amerika berada di Iraq dan Afghanistan .
[3] Yang dimaksud para pecinta studi keislaman di sini
sangatlah variatif. Para pecinta ini dapat dilihat dari segi
jenjang level pendidikan yang ditempuh seperti Madrasah Tsanawiyah (Mts),
Madrasah Aliyah (MA), Perguruan Tinggi setingkat S1 (dapat juga Lc),
setingkat S2 (MA, M.Sc, M.Ag) dan setingkat S3 (DR, Ph.D). Juga dapat dilihat
dari penyelenggaranya seperti pesantren, majlis taklim, lembaga dakwah kampus
(LDK), kursus-kursus singkat, basic training, Dar al-Arqom, kursus kilat,
training-training singkat, pendidikan akhir pekan, sekolah keagamaan (madrasah
diniyyah; sebenarnya kluster ini lebih tepat disebut madrasah Islamiyyah
karena hanya mempelajari agama tertentu saja dan tidak mengenalkan agama lain),
ceramah pagi atau sore di televisi yang tidak selalu diikuti secara
runtut-berkesinambungan dan terpotong-potong, belum lagi yang model self study
(belajar autodidak) dengan membaca literatur yang tidak terstruktur dan
komprehensif, bahkan mungkin dilakukan sangat selektif. Ada lagi model kajian
keislaman yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan
Islam yang umumnya bercorak training atau pelatihan singkat, paket-paket
studi islam singkat yang diselenggarakan oleh gerakan (social movement)
sosial keagamaan, aktivis (harakah) dan ideologi-ideologi gerakan lain
dan bukannya pendalaman keilmuan secara terstuktur, sistematis dan
komprehensif. Belum lagi studi yang sifatnya sangat ad hoc, partial dan
sepotong-sepotong, seperti kajian khusus fikih, khusus tafsir, khusus hadis,
khusus bahasa Arab, dan begitu seterusnya yang tidak terstruktur dan tidak
berhubungan antara satu dan yang lain secara utuh-komprehensif-sistimatis.
Istilah Studi Keislaman di alam praktik di lapangan sekarang ini—di
sini lah yang sangat membedakan dengan studi ilmu-ilmu umum yang biasa
diselenggarakan di sekolah atau perguruan tinggi umum yang diselengarakan
secara ketat dan disiplin—amat lah sangat rancu, overlapping, kompleks
karena semua jenjang, model, lembaga penyelenggara dengan aneka ragam variasi kepentingannya
mengklaim bahwa itulah yang disebut Dirasat Islamiyyah atau Ulum
al-Diin. Ada semacam kontestasi antara penyelenggaraan pendidikan agama
yang diselenggarakan oleh masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan agama yang
dilakukan oleh negara lewat Perguruan Tinggi Agama (PTA) yang ditempuh secara
berjenjang, terstruktur dan sistematis. Di belakang nanti akan dijelaskan
mengapa ada semacam “tension” atau ketegangan antara corak pendidikan
agama Islam yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Agama (lewat
penjenjangan S1, S2 dan S3) dengan budaya dan tradisi research
(penelitian) dan pengembangan keilmuan lewat jurnal keilmuan serta
penulisan buku yang melekat di dalamnya dan corak pendidikan agama Islam
yang diselenggarakan oleh non-perguruan tinggi di tanah air sekarang ini yang
seringkali tidak menempuh tata cara dan tata kelola yang seperti ada pada PTA.
[4]Untuk mendalami persoalan baru dalam kehidupan
publik ini dapat dilihat Gary R. Bunt, Islam in the Digital
Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments, London:
Pluto Press, 2003, h. 207. Juga beberapa artikel relevan tentang hal ini dapat
dijumpai dalam Dale F. Eickelman dan John W. Anderson, New Media in the
Muslim Morld : The Emerging Public Sphere, Bloomington: Indiana University
Press, 2003.
[5]Keith Ward, The Case for Religion,
Oxford: Oneworld Publications, 2004
[6]Diskusi tentang hal ini dapat ditelusuri dari
sejarah cikal bakal munculnya filsafat pragmaticism Amerika dalam karya
Charles Sander Peirce. Lebih lanjut Milton K. Munitz, Contemporary
Analytic Philosophy, New York : Macmillan Publishing Co., Inc,
l98l, h.29-33. Logika penelitian (the Logic of Inquiry) diperkenalkan
oleh Peirce dengan menyebut tahapan sejarah perkembangan metode dan cara
manusia menyelesaikan persoalan yang dihadapi ( doubt) yaitu
metode tenasitas,metode otoritas, metode a priori dan metode keilmuan
lewat research yang mendalam dan berkelanjutan, h. 34-42.
[7]Dalam literatur agama dalam era konflik diperoleh
informasi sebagai berikut “An historical overview of the world’s mainstream
religious traditions highlights how without exception each faith community has
in the face of the threat of extinction or the opportunity to
expand interpreted its fundamental teachings to accommodate the changing
circumstances by sanctioning the use of violence to protect and secure its own
sectarian interests”. Lihat Oliver McTernan, Violence in God’s Name:
Religion in an Age of Conflict, London: Darton, Longman and Todd
Ltd., 2003 h. 76. Cetak hitam dari penulis.
[8]Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and
Democarcy in Islam: Essential Writings. Diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung:
Penerbit Mizan, 2002, h. 132.
[9]Keith Ward, h. 3, 5 dan secara lebih lengkap bab 5,
6 dan 7.
[10]Orang mulai mengenal berbagai pendekatan terhadap
realitas agama, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi. Lebih
lanjut Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York:
Oxford University Press, l996
[11]Kim Knott, “Insider/outsider perspectives” dalam
John R. Hinnells (Ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion,
London: Routledge, 2005, h.243-258; Juga Muhammad Abdul-Rauf, “Outsiders’
interpretations of Islam: A Muslim’s point of view” dan Fazlur
Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay”,
dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious
Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985,
h.179-188 dan h. 189-202.
[12]Istilah yang digunakan oleh Richard C. Martin
untuk menjelaskan posisi seorang yang terlibat penuh dalam beragama dan posisi
seorang yang dapat mengambil jarak dari keberagamaan yang dipeluknya untuk
kepentingan penelitian dan tugas-tugas akademik lainnya. Richard C. Martin,
“Islam and Religious Studies: An Introductory Essay”, dalam Richard C. Martin
(Ed.), Ibid., h. 2.
[13]Istilah yang digunakan oleh W.C, Smith. “Faith”
mengacu kepada sisi keberagamaan manusia yang bersifat internal, tak
terelakkan, berorientasi transendental dan privat, sedangkan “tradition”
mengacu kepada hal-hal yang bersifat eksternal-lahiriyyah,tindakan
sosial-keagamaan yang dapat diamati dan dimensi kesejarahan keberagamaan umat
manusia. Pendapat ini dikutip oleh Charles J. Adams, “Islamic Religious
Tradition” dalam Leonard Binder, The Study of the Middle East: Research
and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, New
York: John Wiley & Sons, 1976, h.33.
[14]Dalam waktu 10 tahun terakhir, tema penelitian
baru ini mulai menarik perhatian banyak peneliti studi agama. Sebagai bahan
awal untuk dikembangkan lebih lanjut dapat diikuti Sean McLoughlin, “Migration,
diaspora and transnationalism: Transformations of religion and culture in a
globalizing age” dalam John R. Hinnells (Ed.), The Routledge Companion to
the Study of Religion, New York, Routledge, 2005, h. 526-546.
Juga Steven Vertovec, “Religion and Diaspora” dalam Peter Antes, Armin W.
Geertz, Randi R. Warne (Eds.), New Approaches to the Study of Religion,
Volume 2, Berlin: Walter de Gruyter, 2004, h. 275-297
[15]Eddy Kristiyanto, OFM, “Sekapur Sirih Untuk Opus
Magnum Prof. Steenbrink”, dalam Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di
Indonesia l808-l942: Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya
Diri l903-l942, Jilid 2, Maumere: Ledalero, 2006, h. v—xxii, khususnya
h. xiv.
[16]Banyak sekali buku yang mengulas minoritas Muslim
di Eropa, meskipun di tanah air tidak begitu dikenal, antara lain seperti Tariq
Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam,
Oxford: Oxford University Press, 2004. Juga Jorgen Nielsen, Muslims in
Western Europe, Edinburg: Edinburg Univesity Press, 1992. Buku ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul Al-Muslimun fii Auruba,
terjemahan Walid Syamith, Beirut: Ra al-Saqi, 2005.
[17]Secara analitik-rinci-mendalam, buku
Mohammad Abid al-Jabiry dapat dijadikan rujukan untuk melacak sejarah
pertumbuhan munculnya Ulum al-Diin yang penulis maksud. Lihat Mohammad
Abid
Al-Jabiriy, Takwin al-Aql al-Arabiy, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Arabiy, l991. Juga buku berikutnya Bunyah al-Aql al-Arabiy: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nudzum al-Ma’rifah fii al-Tsaqafah
al-Arabiyyah, Beirut: Markaz dirasaat al-Wihdah al-Arabiyyah, l990, cetakan ke 3. Khusus untuk struktur dasar dan pola pikir Mutakallimun (pemikiran Kalamiyyah) dapat ditelaah lebih lanjut Josef van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Montreal, McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992.
Al-Jabiriy, Takwin al-Aql al-Arabiy, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Arabiy, l991. Juga buku berikutnya Bunyah al-Aql al-Arabiy: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nudzum al-Ma’rifah fii al-Tsaqafah
al-Arabiyyah, Beirut: Markaz dirasaat al-Wihdah al-Arabiyyah, l990, cetakan ke 3. Khusus untuk struktur dasar dan pola pikir Mutakallimun (pemikiran Kalamiyyah) dapat ditelaah lebih lanjut Josef van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Montreal, McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992.
[18]Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction,
London: Routledge, 2006.
[19]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in
History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, l965. Juga
Hammadi Dzuwaib, al-Sunnah baina al-Usul wa al-Tarikh, Beirut:
Al-Markaz al-Tsaqafy al-Arabiy, 2005. Belum lagi penelitian seperti yang
dilakukan Muhammad Khalid Mas’ud, “Hadit and Violence”. Dalam OM,
XXI h.a (LXXXII), 1, 2002, h. 5-18.
[20]Peristiwa di Monas, Jakarta, pada tanggal 1 Juni
2008, dengan sangat jelas menunjukkan phenomena tingginya tingkat emosionalitas
para pendukung pemikiran keagamaan yang bercorak Kalamiyyah di antara umat
islam di tanah air, dan dimana pun mereka berada. Selagi studi dan pendalaman
agama yang bercorak Kalamiyyah ini terpisah dari studi keislaman yang lain,
belum lagi jika tidak dikaitkan dengan studi sosial keagamaan yang utuh, maka
tingkat emosionalitas keagamaan ini akan terus tinggi dan cenderung mengarah
tindakan kekerasan (violence) pisik.
[21]Para peneliti dan penulis studi keislaman
kontemporer telah merasakan kesulitan-kesulitan ini. Isi-isu modernitas
seringkali tidak tertangkap oleh para pecinta ‘Ulum al-Diin, dan mereka
menghadapi isu-isu modernitas ini dengan cara-cara yang kurang santun
menurut ukuran orang yang memperoleh pendidkan modern sekarang. Hal
demikian dapat dimaklumi karena ini merupakan konsekwensi logis
dari mempertahankan corak pemikiran kalamiyyah islam lama yang terpisah dari
bidang-bidang studi keislaman yang lain. Salah satu peneliti dan pemikir
Muslim kontemporer yang sangat risau dengan perkembangan ini adalah
Khaleed Abou el-Fadl. Lebih lanjut lihat Khaleed Abou el-Fadl, Speaking
in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld
Publications, 2003.
[22]Charles J. Adams menginformasikan perkembangan ini
dengan baik, meskipun informasi ini telah klasik, sekitar 30 tahun yang
lalu.”Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed), The Study
of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social
Sciences, New York: John Wiley & Sons, 1976, h. 29-89. Juga Richard
C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,
Tucson: The University of Arizona Press, 1985.
[23]Talal Asad, Genealogies of Religion:
Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam, Baltimore:
The Johns Hopkins University Press, 1993; Mohammad Arkoun, Tarikhiyyah
al-Fikr al-Islamiy, Beirut: Markaz al-Inma al-Qaumiy, l986; Andre
Moller, Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar, Jakarta: Penerbit
Nalar, 2005.
[24] Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic
Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law,
Syracuse: Syracuse University Press, 1990; Mashood A. Baderin, International
Human Rights and Islamic Law. Oxford: Oxford University Press, 2003.
[25]Nasr Hamid Abu Zaid, Dawair al-Khauf: Qira’ah
fi Khitab al-Mar’ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Araby, 2000; Fatema
Mernissi, Islam and Democracy: Fear of the Modern World, Cambridge:
Perseus Publishing books, 2002.
[26]Mahmud Ayyoub, Dirasaat fi al-’Alaqaat
al-Masihiyyah al-Islamiyyah, Jilid 1 dan 2, Lebanon, Markaz al-Dirasah
al-Masihiyyah al-Islamiyyah, 2000; Mark A. Gabriel, The Unfinished
Battle: Islam and the Jews, Florida : Charisma House,
2003; Hans Kung dan Jurgen Moltmann, Islam: A Challenge for Christianity,
London: SCM Press, 1994.
[27]Kecemasan dan kegelisahan seperti ini sudah pernah
muncul di tanah air pada tahun 80-an, namun solusinya dengan cara
menyelenggarakan seminar di berbagai tempat, khususnya di perguruan tinggi dan
pusat-pusat penelitian tentang Penelitian Agama. Periksa lebih lanjut Mulyanto Sumari
(Ed.), Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1982.
[28]Dalam mengomentari goncangan-goncangan dan
kekerasan yang muncul saling berganti dalam dunia Muslim kontemporer, Keith
Ward menulis sebagai berikut: “The violent and ultra-conservative elements
of Islam that catch the headlines in the modern world are products of the
same historical, social and economic forces which have dethroned Christianity
from being the controlling force of European life. Critical scientific
secularism, in its embodiement in the relativistic, amoral, technologically
dehumanizing and even world-threatening West, is seen by some Muslims as
vindication of their rejection of rationalist philosophy, and as something to
be opposed, possibly even with violence”. Op. Cit., h. 207. Cetak tebal
dari penulis.
[29]Perlu ditegaskan di sini bahwa tempat titik
singgung wilayah perdebatan antara kubu yang berdebat dan bertikai adalah pada
wilayah atau area publik (public sphere), bukan pada wilayah
wilayah ritual-peribadatan. Pada wilayah ibadah mahdhah (pada wilayah core
atau inti arkan al-Islam dan arkan
al-iman) hampir-hampir tidak ada perdebatan antar kedua kubu pemikiran yang bersilang pendapat.
al-iman) hampir-hampir tidak ada perdebatan antar kedua kubu pemikiran yang bersilang pendapat.
[30]Khaleed Abou El-Fadl, The Great Theft:
Wrestling Islam from the Extremists, New York: Harpercollins
Publishers, 2005, h. 171.
[31] Ibarahim M. Abu-Rabi’, “A Post-September 11
Critical Assessment of Modern Islamic Thought” dalam Ian Markham dan
Ibrahim M. Abu Rabi (Eds.), dalam 11 September: Religious Perspectives on
the Causes and Consequences, Oxford: Oneworld Publications, 2002, h.
36.
[32]
Hassan Hanafi, Islamologi: Dari Teologi Statis ke Anarkis,
Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 4-8.
[33]Lebih
lanjut Mohammad Arkoun, al-Fikr al-Islamiy : Qira’ah Ilmiyyah,
Beirut : Markaz al-inma’ al-qaumiy, l987, khususnya bab 3, h.87-112. Juga
Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,
Tucson : The University of Arizona Press, l985, h. 1-18
[34]Buku
baru sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran Islam kontemporer,
khususnya pada bidang hukum Islam, adalah Khaleed Abou el-Fadl,
Speaking in God’s Name : Islamic Law, Authority and Women.
Dalam buku ini Khaleed mengusulkan perlunya memunculkan genre
pemikiran Islam baru dengan 5 (lima) items yang saling terkait yaitu kemampuan
mengendalikan diri (self restrain), sungguh-sungguh (diligent),
menyeluruh (comprehensiveness), kemasukakalan (reasonableness) dan jujur
(honesty). Pemikiran Islam baru ini bercorak “negosiatif” antar berbagai
kelompok dan faksi yang saling memperebutkan otoritas pembacaan dan penafsiran
ajaran Islam di era kontemporer. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia berjudul Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2004.
[35]Baca
laporan hasil penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam GATRA,
edisi Desember 2008.
[36]Diskusi
serius tentang hal ini dapat diikuti dalam James L. Cox, A Guide to the
Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent
Debates, London: T & T Clark International, 2006, h. 203-243.
[37]James L. Cox, ibid., h. 236-238.
[38]Buku
yang cukup membantu untuk memahami isu ini, buku karya Stephen Schwartz, The
Two Faces of Islam , New York : Doubleday, 2002. Telah
diterjemah ke dalam bahasa Indonesia Dua Wajah Islam : Moderatisme
vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, Jakarta : Penerbit Blantika,
2007.
[39]M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural
Multireligius, Jakarta: PSAP, 2005,
h. 1-32.
h. 1-32.
[40]Tulisan
ini sebagin telah disampaikan dalam Seminar “45 Tahun Fakultas
Ushuluddin dan Temu Alumni Pertama IAIN Al-Raniri”, Banda Aceh, tanggal 29
Nopember 2008. Sebagian yang lain disampaikan dalam Seminar Nasional
tentang “Kontestasi Pendidikan Agama dan Budaya Global”, Balitbang,
Departemen Agama, Bekasi, tanggal 1 Desember 2008. Penyempurnaan tulisan dari
kedua seminar tersebut kemudian disampaikan dalam ”Workshop
Pembelajaran Inovatif Berbasis Intergrasi-xInterkoneksi”, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tanggal 19 Desember 2008.
0 komentar:
Posting Komentar