Sebuah taman bermain. Seorang ibu dan anak perempuan yang
down sindrom. Ketika teman-teman seusianya berlari cepat, ia tertatih.
Saat yang lain melompati anak tangga, gadis kecil berusia
lima tahun itu susah payah merayap. Adalah pemandangan setelahnya, yang mem
buat saya begitu terharu.
Saat sang anak berjalan lambat, ibunya menyongsong dan
memeluk erat. Menatap dengan sorot dipenuhi kebanggaan akan ke majuan bi dadari
kecilnya. Meski mungkin saja, si anak hanya mengalami sedikit perkembangan.
Atmosfer serupa saya temui saat mengenal Kerry Buckland,
pelukis dari Australia, teman baik semasa tinggal di Canserrat Artists Resi
dency, Barcelona, Spanyol, November lalu. Da lam setiap perbincangan, Kerry
akan bercerita--mungkin wujud kerinduan--tentang ketiga anaknya, khususnya
James yang mengalami down sindrom.
Tetapi, tak ada pancaran duka, kecewa, atau sedih. Semua
cerita berakhir gelak tawa, kebanggaan atau keharuan. James yang memasukkan
anak anjing hingga nyaris beku di kulkas. Atau mengunci mereka sekeluarga dari
luar rumah.
Seorang anak mungkin tak sempurna di mata orang lain, namun
teramat sangat layak menda patkan cinta sempurna dari orang tua dan sau
dara-saudaranya. Menatap Kerry, saya melihat cinta begitu besar seorang ibu.
Ia mendorong anak laki-lakinya itu me nekuni fotografi
bahkan sempat meng gelar pameran. Meski ketika ada yang ingin membeli, James
tak ingin menjual satu pun karyanya. Sebaris kalimat Kerry tentang James
menggugah saya me - nulis resonansi ini. 'Saya tak bisa membayangkan hidup
tanpa James, pastilah akan sa ngat membosankan!" katanya.
Tetapi, kisah berbeda saya temukan melalui Camille Lalos,
pelukis berbakat yang memiliki galeri di kawasan prestisius di Champ Elysees,
Paris. Camile sebaliknya, nyaris tidak merasakan kasih orang tua. Lelaki itu
tumbuh tanpa pernah mengenal ayahnya.
Sang Ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
melimpahkan Camille juga kakaknya kepada dua keluarga terpisah untuk
dibesarkan. Setelah remaja, Camille menikmati hari- hari bersama sang ibu, itu
pun hanya empat tahun. Di usia 14 tahun, Camille memutuskan angkat kaki untuk
mencari pekerjaan di kota lain.
Bertahun pergi, ketika kembali ia sudah menjadi sosok yang
sukses. Camille bisa saja memilih hidup mewah dengan penghasilan yang dimiliki
setelah bekerja keras. Tapi di usia 27 tahun, ia pulang dan membangun sebuah
rumah besar untuk sang ibu, yang ditinggali perempuan itu selama 22 tahun
hingga tutup usia.
Kisahnya membawa ingatan saya pada seorang remaja yang
curhat sambil menangis, seusai peluncuran novel "Ummi dan Cinta di Ujung
Sajadah" yang mengambil tema cinta seorang ibu.
"Bunda saya durhaka dan mengabai kan anak-anaknya,
sibuk dengan lelaki lain, apakah pantas mendapat bakti kami?"
Mendengarnya, saya termenung.
Bayangan Mami muncul, teringat ketika kecil saya
sakit-sakitan, menghabiskan biaya besar dari penghasilan Papa yang minim.
Bilangan tahun yang saya lalui di rumah sakit pemerintah
dengan pelayanan seadanya itu, tidak menjadi memori yang pucat karena Mami
selalu di sisi. Beliau rajin membeli buku agar saya asyik membaca dan lupa
lamanya menunggu. Beragam buku cerita yang ditebus dengan rasa lapar sebab
dibeli dengan uang yang seharusnya digunakan Mami untuk makan siangnya.
Saya tidak pernah tahu itu hingga berkeluarga.
Cuplikan kenangan yang menyentakkan pada ke sadaran, saya
bisa menjadi penulis karena suka membaca. Saya bisa membaca karena Mami
mengorbankan makan siangnya hingga terkena penyakit mag akut.
Karena itu, perkenankan di momen hari ibu ini, saya kembali
berterima kasih kepada Mami, juga ibu mertua yang telah membesarkan ayah dari
anak-anak saya, dengan baik.
Terima kasih saya untuk setiap ibu yang telah melahirkan dan
percaya apa pun kondisi anak- anaknya, mereka mampu berprestasi. Dan kepada
ananda, yang tak menikmati sayap hangat ibunda, terima kasih saya sebab tetap
berbuat baik kepada perempuan yang melahirkanmu.
Terakhir terima kasih untuk para ayah yang peduli dan terus
berusaha meningkatkan kualitas istrinya, sebagai ibu dan madrasah pertama bagi
anak-anak tercinta.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar