Oleh: Munir, S.Ag
Dalam
disiplin ilmu ushul fiqh kita akan mendapatkan pembahasan tentang mutlaq
dan muqayyad dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan mengetahui ayat-ayat yang
mutlaq dan yang muqayyad, maka akan sangat memudahkan bagi kita
untuk memahami dan mengetahui maksud dari suatu ayat tersebut. Dan dengan
mengetahui maksud suatu ayat, maka akan sangat mudah bagi seorang mujtahid
beristimbat untuk mendapatkan suatu hukum. Ketika hukum sudah didapat,
maka akan memudahkan siapa saja untuk mengamalkannya.
Untuk
memudahkan pemahaman tentang mutlaq dan muqayyad, maka
penulis akan membahas tentang pengertian mutlaq dan muqayyad
serta kapan hukum yang mutlaq dipahami dengan hukum yang muqayyad
dengan disertai contoh dari ayat Al-Qur’an.
Pengertian Mutlaq
Mutlaq secara
bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad. Secara istilah ada
beberapa pengertian yang dihimpun oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya “Ushul
Fiqh”, yang diambil dari berbagai sumber, yaitu :
1. Menurut
Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu
atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2. Menurut Abu Zahrah, mutlaq
ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang
kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3. Ibnu Subki memberikan
definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat
sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Dari
ketiga pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mutlaq
adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad
di dalamnya. Contoh firman Allah berikut ini :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا
قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)
“Orang-orang yang
menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) termasuk lafadz mutlaq yang mencakup semua jenis raqabah
(hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa
mencakup raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman.
Jika dilihat dari segi cakupannya, maka lafadz mutlaq adalah sama
dengan lafadz ‘am. Namun keduanya tetap memiliki perbedaan yang prinsip,
yaitu lafadz ‘am mempunyai sifat syumuli (melingkupi) atau kulli
(keseluruhan) yang berlaku atas satuan-satuan, sedangkan keumuman
dalam lafadz mutlaq bersifat badali (pengganti) dari keseluruhan
dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya menggambarkan satuan yang
meliputi.
Hukum yang datang dari ayat yang berbentuk mutlaq, harus
diamalkan berdasarkan kemutlaq-annya, sebagaimana contoh ayat 3 surat
al-Mujadalah di atas. Dengan demikian kesimpulan hukumnya adalah bahwa seorang
suami yang men-dzihar istrinya kemudian ingin menarik kembali ucapannya,
maka wajib memerdekakan hamba sahaya, baik yang beriman ataupun yang tidak
beriman.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:93)
“Dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya)
dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka
ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau
menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat,
yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang
datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid
yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad
Apabila
nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan
bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di
dalamnya, yaitu:
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq
sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka
dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a. Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah daging babi...”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan
ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah)
bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang
mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah)
yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya,
sedangkan hukumnya adalah haram.
b. Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah
yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا
مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas
berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid
yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah
“dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini
dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang
diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang
terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada
ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau
ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3
surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah yang
mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
2. Jika sebab yang ada
dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda,
maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a. Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
....فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ....( المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah...”
Lafadz “yad” (tangan) dalam
ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat
lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah
keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga
pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana
ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi
yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
b.
Ayat Muqayyad:
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ ...(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku...”
Lafadz “yad”
(tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya
yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat
tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya
yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda.
Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad
menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada
ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya,
ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku,
sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.
Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi
hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan
sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a.
Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat
3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ
ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَتَمَاسَّا ...(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur
men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum
mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman
ataupun yang tidak.
b.
Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang
tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah”
(beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan
yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba
sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq
berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad
berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4. Jika
sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang
ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan
diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a.
Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam
surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan
memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus
dipotong.
b.
Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat
al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini
berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi”
(sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan
sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama
yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama berbentuk mutlaq,
sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan
hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang
hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan
masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.
I. Kesimpulan
- Menurut
kesepakatan jumhur bahwa ayat mutlaq dibawa kepada ayat muqayyad
jika sebab dan hukum keduanya sama.
- Hukum
mutlaq dan muqayyad selama tidak ada hubungan keduanya,
keduanya berjalan sendiri-sendiri. Ayat mutlaq dipahami sesuai
dengan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad dipahami sesuai
dengan kemuqayyadannya.
- Apabila
salah satu dari sebab atau hukumnya saja yang sama, maka ayat yang mutlaq
tetap tidak bisa dibawa atau dipahami kepada yang muqayyad.
- Perlu
bagi seorang mujtahid sebelum beristimbat untuk mengetahui lebih dulu
apakah ayat tersebut termasuk ayat yang mutlaq ataupun muqayyad.
Sumber Bacaan:
- Al-Quran
al-Karim
- Al-Mujiz
fi Ushul Fiqh ma’a Mu’jam Ushul Fiqh oleh Muhammad Ubaidillah al-Is’adiy.
- Atsar
al-Ikhtilaf fi al-qawaid al-Ushuliyah fi Ikhtilafi al-Fuqaha’ oleh DR.
Musthafa Sa’id al-Khan.
- Taisir
al-Ushul oleh Hafidh Tsana’ Allah az-Zahid.
- Ushul
Fiqh al-Islami oleh DR. Wahbah az-Zuhaily.
- Ushul
Fiqh oleh Prof. DR. H. Amir Syarifuddin.
0 komentar:
Posting Komentar