“Mama kalau marah yang profesional, dong.”
Kalimat bernada protes itu serta merta membuat seorang
bunda menggerakkan langkahnya mencari teman diskusi, “Marah profesional?
Maksudnya apa ya, Mbak?”
Ada cercah tawa bercampur kebingungan mengintip di paras
manisnya. Anak-anak zaman sekarang memang kritis. Enam belas tahun lalu sejak
Allah memercayakan seorang putri, kemudian putra, ada janji diam-diam yang saya
ikrarkan. Menyadari begitu banyak sosok yang rasanya jauh lebih baik dalam
banyak hal, namun hingga saat ini masih terus menadahkan tangan agar Allah
memberikan keturunan.
Sebagai bentuk syukur, saya berjanji akan melindungi
mereka dari kemarahan yang tidak perlu, khususnya dari saya pribadi. Memilih
untuk tidak menyampaikannya dengan teriakan, apalagi melayangkan tangan. Pada
praktiknya tidak mudah. Tetapi, betapa pun hati panas, marah harus cerdas.
Bisik saya berkali-kali menyemangati diri. Ungkapan “Bunda nggak marah, hanya sedih” adalah salah satu ekspresi yang
kemudian saya pilih. “Tapi, aku lebih suka Bunda marah, ketimbang sedih. Sebab
kalau Bunda marah hanya aku yang sedih. Sementara kalau bunda sedih, tidak
hanya aku, tapi Bunda juga jadi sedih.” Celoteh panjang si sulung yang kala itu
bahkan belum masuk sekolah menanggapi pilihan saya. Ah, anak-anak kita sejak
dini ternyata sudah melihat, mengamati, menilai, lalu menyimpulkan tentang
banyak hal, juga menyerap. Motivasi tambahan bagi setiap orang tua untuk bisa
memberikan teladan.
Kembali kepada marah profesional, barangkali yang
dimaksudkan antara lain kemarahan yang proporsional. Tidak merembet ke
persoalan-persoalan lain. Tidak mengungkit kesalahan sebelumnya, apalagi yang
sudah tutup agenda. Marah juga harus beralasan. Dan, alasan kemarahan bukan
karena anak-anak kita berisik dan tidak bisa diam. Beri ruang selama aktivitas
yang dilakukan bagus untuk tumbuh kembang. Marah seharusnya juga bukan karena
terpancing letih atau beban pikiran. Marah yang seperti ini biasanya disusul
penyesalan, menyadari apa yang dilakukan anak-anak sebetulnya belum pantas
membuahkan letupan dan sanksi sekeras itu.
Kalau boleh dibuat semacam hukum marah maka marah
menjadi wajib diekspresikan ketika seseorang melakukan cacat akhlak, seperti
berbohong. Berbagai bentuk kriminalitas banyak yang berawal dari
ketidakjujuran. Atau, ketika mereka mendekati maksiat. Sebaliknya, tidak boleh
marah terhadap perbuatan atau kata yang bersumber dari ketidaksengajaan atau
karena belum mengerti. Anak-anak usia balita yang menjatuhkan gelas,
menumpahkan susu, memecahkan pajangan, mereka tidak salah. Tanggung jawab ada
pada orang dewasa yang meletakkan benda-benda tersebut dalam jangkauan anak.
Lainnya, orang tua dituntut bersikap tegas sewaktu
ananda melakukan hal-hal berbahaya yang mengancam keselamatan dirinya atau
orang lain agar tidak terulang dan berakhir fatal.
Poin-poin yang menyebabkan kita marah pun harus
disampaikan dengan jelas sehingga tercapai tujuan “kemarahan” sebagai media
islah atau agar terhindar dari keburukan. Marah yang diharus-haruskan agar anak
ingat kesalahan yang dilakukan. Dengan motivasi ini, kemarahan yang kemudian
hadir lebih bernuansa tausiah. Terkelola, tetap tegas, tapi tanpa caci maki.
Sebab, memang tidak dimaksudkan untuk mempermalukan apalagi menyakiti hati
maupun fisik.
Memilih kapan “marah” diekspresikan adalah pertimbangan
lain. Seperti, kemarahan yang ingin disampaikan padahal anak-anak akan
mengikuti ujian atau perlombaan dalam waktu dekat.
Hening. Setelah obrolan panjang lebar, perempuan di
hadapan saya menarik napas berat, “Kalau dipikir-pikir, barangkali orang dewasa
sebenarnya sudah mempraktikkan marah profesional ini, ya?”
Saya membenarkan. Sayangnya, orang tua sering justru
lebih piawai mengelola marah saat berhadapan dengan pihak-pihak yang status,
jabatan, dan latar belakangnya lebih tinggi. Adilnya, seharusnya hal serupa
bisa diterapkan di rumah, pada pasangan dan anak-anak. “Tapi, untuk mengubah
kebiasaan pada usia seperti ini, rasanya kok susah,” potong perempuan yang
menjadi teman diskusi saya.
Sulit tidak berarti mustahil. Dan, usia seharusnya tidak
menjadi alasan seseorang untuk berhenti belajar dan berproses. Jika memang
lebih baik dan menimbulkan kecintaan Allah, jika demikian yang dicontohkan
Rasulullah, mengapa tidak? “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di
sisi Allah SWT dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah SWT.” (Hadis
sahih riwayat Ahmad).
Hadis tersebut mengingatkan saya akan respons anak-anak
sewaktu kecil ketika masakan eksperimen bunda mereka di dapur bahkan sama
sekali tak bisa ditelan. Bukannya marah-marah, bergantian putra dan putri saya
berusaha menghibur, sambil memeluk dan mencium pipi si bunda yang nyaris
frustrasi karena tak juga pandai memasak.
“Nggak apa-apa, Bunda. Kan kata Bunda yang penting sudah
berusaha, bukan hasilnya, kan?”
Anak-anak kita tak jarang bisa lebih pemaaf dan toleran
meski tak terhitung catatan “dosa” orang tua. Mulai dari berbohong hanya agar
anak berhenti menangis, tidak menepati janji, tidak sabar, lalai dari menjadi
contoh yang baik. Termasuk sederet kemarahan ketika seharusnya anak-anak dan
juga pasangan menjadi tumpuan cinta serta kasih sayang.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar