Annisa tak lagi tersenyum. Gadis kecil berkulit putih
yang menjadi sumber kebahagiaan keluarga itu kini tampak murung. Bibir
mungilnya kehilangan kata-kata. Annisa 'mogok' makan, dan sudah sepekan menolak
masuk sekolah. Padahal, beberapa waktu lalu dia begitu antusias memasuki
hari-hari dengan seragam putih biru. Ada apa dengan Annisa? Berbagai cara
ditempuh untuk membongkar kediamannya.
Saya memahami keresahan orang tua yang berangsur
menjelma kepanikan. Sebab, Annisa kemudian meninggalkan rumah, memilih tinggal
bersama neneknya, setelah permintaannya untuk operasi wajah tidak dikabulkan.
Permintaan aneh yang tak seharusnya lahir dari anak-anak
itu, baru saya mengerti ketika kami berhadapan dan Annisa mulai bercerita.
“Buku-buku Nisa dibuang ke tempat sampah, Bunda. Mereka melempar penghapus,
juga pasir ke kepalaku. Di loker, mereka menulis nama Nisa dan menggandengkan
dengan nama binatang.”
Noktah di wajah Annisa menjadi sumber celaan dan
tindakan bully yang dilakukan beberapa teman laki-laki dan perempuan di
kelasnya. Julukan terkait tanda lahir di wajahnya terdengar puluhan kali,
setiap hari. Membuat kuping dan wajah Annisa panas. Meski bahkan dengan tanda
lahir pun sebenarnya kecantikan Annisa jauh di atas rata-rata, gadis itu tak
lagi memercayai cermin. Annisa kehilangan kepercayaan diri.
Anak-anak kita, batin saya, sosok yang menjadi sumber
keriangan orang tua, bagaimana mungkin memiliki topeng kekerasan sekaligus?
Remaja yang seharusnya penuh empati kini mahir merendahkan. Kebahagiaan apa
yang mereka peroleh dengan mengejek, serta melakukan kekerasan terhadap anak
lain? Lalu bagaimana generasi masa depan bisa diharapkan?
Curhat kali ini mengentak batin lebih dari biasanya.
Sebab ,tidak lahir dari para ibu rumah tangga yang berbagi kisah dan permasalahan
keluarga, melainkan berasal dari ananda yang masih belasan tahun. “Apakah Nisa
pernah melaporkan ke guru?”
Pelan-pelan Nisa mengangguk. Kedua orang tua gadis cilik
itu membenarkan. Mereka sempat meminta Annisa pindah kelas. Tetapi wali kelas
menolak dengan alasan hal itu akan membuat namanya tercoreng di depan kepala
sekolah.
Ini baru cerita sepihak. Tetapi jika benar, sungguh
menyedihkan. Bagaimana bisa seorang pendidik—ketika muridnya tersiksa dan
kehilangan keinginan belajar—malah memikirkan karier ketimbang merasa
bertanggung jawab terhadap kegagalan meniadakan kekerasan di kelasnya.
Anak-anak yang berangsur kehilangan nurani. Tak mampu lagi berempati. Lalu wali
kelas yang tak melindungi kecuali dirinya sendiri.
Saya mungkin masih bisa sedikit memahami jika kasus ini
terjadi di sekolah yang minim fasilitas, di mana guru-guru dibayar tidak
manusiawi, sehingga kurang motivasi untuk memerhatikan anak-anak, lalu
murid-murid yang tertinggal. Tetapi apa yang dialami Annisa terjadi di sekolah
percontohan di bilangan Cibubur, yang masuk kategori sangat mahal.
“Jadi, Nisa harus bagaimana, Bunda?” Saya menarik napas,
mengelus kepala gadis cilik itu.
Operasi, bukan jalan keluar setidaknya untuk saat ini.
Sebab dengan semangat mengerjai seseorang, bahkan jika noktah itu hilang,
anak-anak tetap bisa menemukan celah lain untuk “memamerkan” kekerasan.
Sedikitnya, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama
berharap siswa siswi yang suka mengolok-olok itu sadar dan berubah. Seharusnya
pihak sekolah peka dan bersikap tegas terhadap kekerasan di lingkungan sekolah.
Sebab, membiarkan berarti melegitimasi kekerasan, yang secara fisik atau
psikis, atas nama apa pun dan di dunia manapun kita berada, tidak bisa
dibenarkan.
Kedua, meningkatkan daya tahan pribadi, dalam hal ini
Annisa. Menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Menebalkan
telinga dan hati agar tidak terpancing atau merasa kesal terhadap ulah orang
lain. “Kebahagiaan kita, kita sendiri yang menentukan, Annisa. Mereka yang
tidak penting tidak boleh merusak kebahagiaan dan mimpi-mimpi kita.”
Saya mengajak Annisa fokus pada kelebihan dan hal-hal
yang membuatnya tersenyum. Bukan kepada kekurangan dan berbagai persoalan yang
hanya menimbulkan perasaan sedih berkepanjangan. Sepasang mata bening Annisa
yang sempat redup, mulai bercahaya ketika saya bercerita tentang tokoh dan
selebriti dunia yang mengalami kekerasan semasa sekolah. Pada akhirnya, justru
mereka yang mencetak sejarah, bukan pihak yang melakukan bully.
Saya berharap Annisa dan anak-anak lain yang mengalami
hal serupa berani menegakkan wajah menatap dunia. Perkataan dan perlakuan orang
lain yang tidak mengenakkan, tidak boleh mengurangi semangat siapa pun
menjalani kehidupan.
Di pihak lain, ingin sekali saya mengajak para pendidik,
dan orang tua untuk sama-sama menelisik lebih dalam ke dalam relung hati
anak-anak kita. Memastikan bahwa di balik celoteh, segudang prestasi dan
kepolosan yang mereka tampakkan, tak ada topeng kekerasan, yang tersenyum bahagia
saat menyengsarakan orang lain.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar