Kumpulan E-Book ada di sini

E-Book berbagai disiplin ilmu ada di sini. Cari pada label sesuai dengan keinginan anda. Dapat di download secara gratis.

Berita Seputar Dunia Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kumpulan Artikel, Makalah, Opini, Cerpen, Resensi, dll

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Orang Tua Profesional


Wajahnya selalu cerah. Kata-katanya lantang dan bersemangat. Sementara, senyuman tak pernah lupa tersungging. Ya, memandang perempuan ramah yang dekat dan disukai anak anak itu selalu mengalirkan keriangan. Sungguh sesuai dengan profesinya sebagai guru taman bermain, pikir saya. Tetapi, keluhan sang suami suatu hari mengantar saya pada cerita berbeda.

“Saya tidak mengerti mengapa ia begitu mudah marah. Kasihan anak-anak yang tertekan karena sikap kasar ibunya.” Hingga suatu kali saat pasangan tersebut bertengkar hebat, terlontar kalimat lelaki itu, “Berapa gaji Ibu sebagai guru taman bermain? Berapa pun saya akan bayar agar Ibu bisa riang di rumah dan disukai anak-anak!”

Kalimat terakhir memukul batin sang istri dan membawanya pada sebuah dialog panjang ketika kami akhirnya bertemu. Berbagai persoalan dan beban hidup, kelelahan, serta banyak hal telah menguras energi perempuan itu seolah tak bersisa, hingga “kenyamanan” bagai menguap saat anak-anak berhadapan dengannya.

Fenomena serupa cukup banyak terjadi di masyarakat. Saya pun tak bersih dari kekhilafan itu. Orang tua yang sanggup bersikap profesional dalam profesinya, namun justru gagal saat berhadapan dengan anak-anaknya sendiri. Seorang customer servis pernah kehabisan senyum. Bahkan, ketika berhadapan dengan pelanggan yang paling menyebalkan, ia akan berjuang untuk tetap menjaga kata-kata dan sikap sebagaimana layaknya seorang profesional.

Seorang entertainer sejati (penyanyi, pemain musik, komedian, dan lain-lain) walaupun sedang mengalami tekanan perasaan, akan tetap memberikan pertunjukan terbaik bagi penonton atau penggemarnya. Bersikap profesional bukan sekadar menjalankan tugas. Saat ini, istilah profesional sering dikaitkan dengan uang.

Padahal, yang membedakannya bukan terletak pada soal menerima imbalan materi atau tidak, tapi apakah hal itu diwujudkan—dalam bahasa sederhana—dengan tindakan dan juga dengan hati. Lalu, bagaimana membawa profesionalitas ini dalam kewajiban sebagai orang tua? Sudahkah kita menjadi orang tua yang sekalipun tidak mendapatkan bayaran secara materi, namun bersikap profesional?

Diam-diam saya mulai berhitung, berapa kali saya marah dalam sehari atau sepekan. Orang tua profesional bukan mereka yang tidak pernah marah namun mengerti kapan harus menunjukkan sikap tegas. Bukan semata-mata karena dorongan emosi melainkan ketika marah—dengan proporsi yang tepat—memang diperlukan sebagai pembelajaran.

Orang tua yang profesional tidak akan marah karena terbebani banyaknya pekerjaan kantor dan kesal karena menganggap orang rumah tidak bersikap toleransi, lalu dengan mudah menemukan alasan untuk meluapkannya. Sebaliknya, ayah-bunda profesional akan bersikap tegas dan berbuat semestinya saat anak melakukan tindakan yang dianggap kriminal atau melanggar norma sosial lainnya.

Sebab, tindak kriminal sekecil apa pun jelas memiliki konsekuensi hukum. Menjadi orang tua profesional berarti bersikap dan memberikan respons sebagaimana kebutuhan anak. Sekalipun ayah atau ibu memiliki karakter yang cen derung pasif, namun saat berhadapan de ngan balita yang membutuhkan ekspresivitas maka orang tua akan mencari cara untuk bersikap ekspresif.

Profesional sebagai orang tua juga berarti selalu siap mendengar, berkomentar, dan mengapresiasi juga siap memberikan respons positif yang membangun kepercayaan diri anak. Seperti ketika ananda menunjukkan gambar sederhana mereka. Betapa pun lelah, ayah-bunda profesional akan menyulap wajah letih mereka menjadi antusias, lalu dengan nada paling bersemangat mengungkapkan betapa membanggakannya karya ananda.


Orang tua adalah payung bagi anak-anak. Maka, bentangkanlah payung itu seluas mungkin agar anak-anak merasa teduh dan nyaman. Tentu, memerlukan perjalanan panjang dan tidak mudah frustrasi untuk menjadi orang tua yang lebih profesional. Saya pun masih berjuang dan jauh dari sempurna. Tetapi, bintang di mata anak-anak, senyum, serta pelukan di leher yang mereka berikan semoga menjadi penyemangat bagi setiap kita untuk mempersembahkan cinta dan apresiasi sebaik mungkin hingga anak-anak merasa penting dan tak ragu bahwa mereka dicintai.
Asma Nadia

Membangunkan Kebaikan


Mengapa banyak mal, toko buku besar, bioskop, hotel, serta perkantoran megah, memiliki mushala tak layak, hanya menampung dua tiga orang, terkadang berada di bawah tangga, sehingga sulit untuk berdiri tegak saat beribadah.

Dan, ini terus berlangsung meski staf dan pengunjung tempat- tempat tersebut mayoritas Muslim. Padahal, ruang yang disediakan bagi para perokok, biasanya cukup mewah dengan lokasi strategis, dekat lobi, meski tidak maksimal digunakan.

Mengapa film-film dan berbagai tontonan yang baik dan mendidik hanya sedikit yang benar-benar menuai sukses? Mengapa iklan-iklan tidak pantas tetap menghiasi televisi di perhelatan akbar olahraga dunia, walaupun banyak mata anak-anak dan remaja yang menonton?

Mengapa buku- buku bagus, sangat inspiratif bagi pembaca, minim penjualannya? Mengapa banyak pengusaha kecil yang fokus mengembangkan produk dalam negeri berkualitas, mengembalikan sebagian keuntungan yang diraihnya untuk masyarakat, usahanya tidak berjalan lancar?

Lima pertanyaan, ada sederet penjelasan, tapi semua jawaban mengerucut pada satu hal: terlalu banyak orang baik yang diam. Jika menginginkan dunia yang semakin dingin, asing, egois, dan kapitalis ini berubah, maka salah satu yang harus dilakukan adalah mendorong orang-orang baik `berbicara'.

Dunia membutuhkan barisan aktif, yang tidak pelit memberi apresiasi dan tidak tinggal diam saat melihat hal-hal yang bisa diubah ke arah lebih baik, sekalipun dia dan keluarga mungkin tak bersentuhan langsung dengan kondisi dan situasi tidak ideal tersebut.

Bayangkan jika pengunjung department store mewah, saat melihat mushala sempit, terpencil, jauh di area parkiran atau basement, menyempatkan diri menyampaikan keluhan ke bagian informasi atau menemui pihak manajemen. Jika dua menit kemudian ada orang lain melakukan hal yang sama, lalu di menit-menit berikutnya keluhan senada tentang mushala terus disampaikan, disertai uploadfoto mushala memprihatinkan tersebut lewat ponsel ke berbagai social media.

Jika setiap hari hal ini dijalankan, insya Allah akan tercipta sebuah perubahan. Kecuali pertokoan mewah tersebut memang tidak berniat membuat mayoritas pengunjung mereka nyaman dan kerasan. Tetap, masyarakat bisa bicara, mengambil langkah- langkah pendekatan ke pemerintah setempat untuk memberi perhatian, lewat demonstrasi yang santun, atau bukan mustahil melalui jalur hukum.

Hal yang sama akan terjadi jika setiap penonton yang menyaksikan film Indonesia berkualitas tak hanya diam, melainkan rajin memberi rekomendasi melalui status Twitter dan Facebook. Mengajak sekitar untuk ikut menonton. Pun giat melakukan protes mulai dari surat pembaca, mention stasiun televisi terkait di social media ketika ada tayangan sinetron dan iklan tak layak.

Ketika pembaca mendapatkan ba nyak sekali pencerahan dari sebuah buku, kemudian aktif mengajak keluarga, sahabat, dan siapa saja yang dikenal atau berada dalam jejaring sosialnya untuk ikut mendapat manfaat.

Insya Allah akan menggerakkan pembaca lain untuk melirik buku si penulis. Penjualan yang meningkat tidak hanya memudahkan proses kreatif penulisnya, sekaligus memotivasi penulis- penulis lain di Tanah Air untuk bergeser dari karya-karya yang kurang punya nilai ke tulisan yang mencerahkan.

Sayangnya, kebanyakan orang baru terusik tatkala kesulitan menyentuh wilayah pribadi, kerabat, teman dekat, atau orang- orang yang kebetulan mempunyai andil dalam hidupnya. Padahal, kebaikan seharusnya tidak digerakkan oleh hal-hal sentimentil atau berdasarkan perhitungan- perhitungan untung rugi.

Terlebih bagi yang memiliki pengaruh, kekuasaan, popularitas, pendeknya sumber daya apa pun yang bisa mempercepat terwujudnya sebuah perubahan.
Maksimalkan potensi dalam amanah yang sedang disandang, sebagai investasi untuk begitu banyak jejak kebaikan tak hanya bagi kita, tetapi juga generasi masa depan, kelak.

Pepatah Arab mengatakan:
berdiam dari kebenaran yang dirusak, bak setan yang membisu.
Sudah saatnya bangun dari kediaman. Lebih baik lagi jika melibatkan anak dan pasangan.
Menjadikan ber bagai semangat perubahan sebagai agenda keluarga.

Dari Abu Sari al-Khudri RA, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, `Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman."


Jangan berhenti pada selemah-lemahnya iman, tanpa lebih dulu usaha, minimal bicara. Tetap meluruskan ketidaksempurnaan yang berada dalam jangkauan, betapapun terasa seperti usaha yang sia-sia, karena kita bukan siapa-siapa. Tetapi, jutaan orang-orang biasa insya Allah, dengan kebersamaan dan kesatuan tekad, akan bisa mengubah keadaan.
Asma Nadia

Marah Profesional


“Mama kalau marah yang profesional, dong.”

Kalimat bernada protes itu serta merta membuat seorang bunda menggerakkan langkahnya mencari teman diskusi, “Marah profesional? Maksudnya apa ya, Mbak?”

Ada cercah tawa bercampur kebingungan mengintip di paras manisnya. Anak-anak zaman sekarang memang kritis. Enam belas tahun lalu sejak Allah memercayakan seorang putri, kemudian putra, ada janji diam-diam yang saya ikrarkan. Menyadari begitu banyak sosok yang rasanya jauh lebih baik dalam banyak hal, namun hingga saat ini masih terus menadahkan tangan agar Allah memberikan keturunan.

Sebagai bentuk syukur, saya berjanji akan melindungi mereka dari kemarahan yang tidak perlu, khususnya dari saya pribadi. Memilih untuk tidak menyampaikannya dengan teriakan, apalagi melayangkan tangan. Pada praktiknya tidak mudah. Tetapi, betapa pun hati panas, marah harus cerdas. Bisik saya berkali-kali menyemangati diri. Ungkapan “Bunda nggak marah, hanya sedih” adalah salah satu ekspresi yang kemudian saya pilih. “Tapi, aku lebih suka Bunda marah, ketimbang sedih. Sebab kalau Bunda marah hanya aku yang sedih. Sementara kalau bunda sedih, tidak hanya aku, tapi Bunda juga jadi sedih.” Celoteh panjang si sulung yang kala itu bahkan belum masuk sekolah menanggapi pilihan saya. Ah, anak-anak kita sejak dini ternyata sudah melihat, mengamati, menilai, lalu menyimpulkan tentang banyak hal, juga menyerap. Motivasi tambahan bagi setiap orang tua untuk bisa memberikan teladan.

Kembali kepada marah profesional, barangkali yang dimaksudkan antara lain kemarahan yang proporsional. Tidak merembet ke persoalan-persoalan lain. Tidak mengungkit kesalahan sebelumnya, apalagi yang sudah tutup agenda. Marah juga harus beralasan. Dan, alasan kemarahan bukan karena anak-anak kita berisik dan tidak bisa diam. Beri ruang selama aktivitas yang dilakukan bagus untuk tumbuh kembang. Marah seharusnya juga bukan karena terpancing letih atau beban pikiran. Marah yang seperti ini biasanya disusul penyesalan, menyadari apa yang dilakukan anak-anak sebetulnya belum pantas membuahkan letupan dan sanksi sekeras itu.

Kalau boleh dibuat semacam hukum marah maka marah menjadi wajib diekspresikan ketika seseorang melakukan cacat akhlak, seperti berbohong. Berbagai bentuk kriminalitas banyak yang berawal dari ketidakjujuran. Atau, ketika mereka mendekati maksiat. Sebaliknya, tidak boleh marah terhadap perbuatan atau kata yang bersumber dari ketidaksengajaan atau karena belum mengerti. Anak-anak usia balita yang menjatuhkan gelas, menumpahkan susu, memecahkan pajangan, mereka tidak salah. Tanggung jawab ada pada orang dewasa yang meletakkan benda-benda tersebut dalam jangkauan anak.

Lainnya, orang tua dituntut bersikap tegas sewaktu ananda melakukan hal-hal berbahaya yang mengancam keselamatan dirinya atau orang lain agar tidak terulang dan berakhir fatal.
Poin-poin yang menyebabkan kita marah pun harus disampaikan dengan jelas sehingga tercapai tujuan “kemarahan” sebagai media islah atau agar terhindar dari keburukan. Marah yang diharus-haruskan agar anak ingat kesalahan yang dilakukan. Dengan motivasi ini, kemarahan yang kemudian hadir lebih bernuansa tausiah. Terkelola, tetap tegas, tapi tanpa caci maki. Sebab, memang tidak dimaksudkan untuk mempermalukan apalagi menyakiti hati maupun fisik.

Memilih kapan “marah” diekspresikan adalah pertimbangan lain. Seperti, kemarahan yang ingin disampaikan padahal anak-anak akan mengikuti ujian atau perlombaan dalam waktu dekat.

Hening. Setelah obrolan panjang lebar, perempuan di hadapan saya menarik napas berat, “Kalau dipikir-pikir, barangkali orang dewasa sebenarnya sudah mempraktikkan marah profesional ini, ya?”

Saya membenarkan. Sayangnya, orang tua sering justru lebih piawai mengelola marah saat berhadapan dengan pihak-pihak yang status, jabatan, dan latar belakangnya lebih tinggi. Adilnya, seharusnya hal serupa bisa diterapkan di rumah, pada pasangan dan anak-anak. “Tapi, untuk mengubah kebiasaan pada usia seperti ini, rasanya kok susah,” potong perempuan yang menjadi teman diskusi saya.

Sulit tidak berarti mustahil. Dan, usia seharusnya tidak menjadi alasan seseorang untuk berhenti belajar dan berproses. Jika memang lebih baik dan menimbulkan kecintaan Allah, jika demikian yang dicontohkan Rasulullah, mengapa tidak? “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah SWT dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah SWT.” (Hadis sahih riwayat Ahmad).

Hadis tersebut mengingatkan saya akan respons anak-anak sewaktu kecil ketika masakan eksperimen bunda mereka di dapur bahkan sama sekali tak bisa ditelan. Bukannya marah-marah, bergantian putra dan putri saya berusaha menghibur, sambil memeluk dan mencium pipi si bunda yang nyaris frustrasi karena tak juga pandai memasak.

“Nggak apa-apa, Bunda. Kan kata Bunda yang penting sudah berusaha, bukan hasilnya, kan?”


Anak-anak kita tak jarang bisa lebih pemaaf dan toleran meski tak terhitung catatan “dosa” orang tua. Mulai dari berbohong hanya agar anak berhenti menangis, tidak menepati janji, tidak sabar, lalai dari menjadi contoh yang baik. Termasuk sederet kemarahan ketika seharusnya anak-anak dan juga pasangan menjadi tumpuan cinta serta kasih sayang.
Asma Nadia

Kasih Ibu Sepanjang Waktu


Sebuah taman bermain. Seorang ibu dan anak perempuan yang down sindrom. Ketika teman-teman seusianya berlari cepat, ia tertatih.

Saat yang lain melompati anak tangga, gadis kecil berusia lima tahun itu susah payah merayap. Adalah pemandangan setelahnya, yang mem buat saya begitu terharu.

Saat sang anak berjalan lambat, ibunya menyongsong dan memeluk erat. Menatap dengan sorot dipenuhi kebanggaan akan ke majuan bi dadari kecilnya. Meski mungkin saja, si anak hanya mengalami sedikit perkembangan.

Atmosfer serupa saya temui saat mengenal Kerry Buckland, pelukis dari Australia, teman baik semasa tinggal di Canserrat Artists Resi dency, Barcelona, Spanyol, November lalu. Da lam setiap perbincangan, Kerry akan bercerita--mungkin wujud kerinduan--tentang ketiga anaknya, khususnya James yang mengalami down sindrom.

Tetapi, tak ada pancaran duka, kecewa, atau sedih. Semua cerita berakhir gelak tawa, kebanggaan atau keharuan. James yang memasukkan anak anjing hingga nyaris beku di kulkas. Atau mengunci mereka sekeluarga dari luar rumah.

Seorang anak mungkin tak sempurna di mata orang lain, namun teramat sangat layak menda patkan cinta sempurna dari orang tua dan sau dara-saudaranya. Menatap Kerry, saya melihat cinta begitu besar seorang ibu.

Ia mendorong anak laki-lakinya itu me nekuni fotografi bahkan sempat meng gelar pameran. Meski ketika ada yang ingin membeli, James tak ingin menjual satu pun karyanya. Sebaris kalimat Kerry tentang James menggugah saya me - nulis resonansi ini. 'Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa James, pastilah akan sa ngat membosankan!" katanya.

Tetapi, kisah berbeda saya temukan melalui Camille Lalos, pelukis berbakat yang memiliki galeri di kawasan prestisius di Champ Elysees, Paris. Camile sebaliknya, nyaris tidak merasakan kasih orang tua. Lelaki itu tumbuh tanpa pernah mengenal ayahnya.

Sang Ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, melimpahkan Camille juga kakaknya kepada dua keluarga terpisah untuk dibesarkan. Setelah remaja, Camille menikmati hari- hari bersama sang ibu, itu pun hanya empat tahun. Di usia 14 tahun, Camille memutuskan angkat kaki untuk mencari pekerjaan di kota lain.

Bertahun pergi, ketika kembali ia sudah menjadi sosok yang sukses. Camille bisa saja memilih hidup mewah dengan penghasilan yang dimiliki setelah bekerja keras. Tapi di usia 27 tahun, ia pulang dan membangun sebuah rumah besar untuk sang ibu, yang ditinggali perempuan itu selama 22 tahun hingga tutup usia.

Kisahnya membawa ingatan saya pada seorang remaja yang curhat sambil menangis, seusai peluncuran novel "Ummi dan Cinta di Ujung Sajadah" yang mengambil tema cinta seorang ibu.
"Bunda saya durhaka dan mengabai kan anak-anaknya, sibuk dengan lelaki lain, apakah pantas mendapat bakti kami?" Mendengarnya, saya termenung.

Bayangan Mami muncul, teringat ketika kecil saya sakit-sakitan, menghabiskan biaya besar dari penghasilan Papa yang minim.

Bilangan tahun yang saya lalui di rumah sakit pemerintah dengan pelayanan seadanya itu, tidak menjadi memori yang pucat karena Mami selalu di sisi. Beliau rajin membeli buku agar saya asyik membaca dan lupa lamanya menunggu. Beragam buku cerita yang ditebus dengan rasa lapar sebab dibeli dengan uang yang seharusnya digunakan Mami untuk makan siangnya.
Saya tidak pernah tahu itu hingga berkeluarga.

Cuplikan kenangan yang menyentakkan pada ke sadaran, saya bisa menjadi penulis karena suka membaca. Saya bisa membaca karena Mami mengorbankan makan siangnya hingga terkena penyakit mag akut.

Karena itu, perkenankan di momen hari ibu ini, saya kembali berterima kasih kepada Mami, juga ibu mertua yang telah membesarkan ayah dari anak-anak saya, dengan baik.

Terima kasih saya untuk setiap ibu yang telah melahirkan dan percaya apa pun kondisi anak- anaknya, mereka mampu berprestasi. Dan kepada ananda, yang tak menikmati sayap hangat ibunda, terima kasih saya sebab tetap berbuat baik kepada perempuan yang melahirkanmu.


Terakhir terima kasih untuk para ayah yang peduli dan terus berusaha meningkatkan kualitas istrinya, sebagai ibu dan madrasah pertama bagi anak-anak tercinta.
Asma Nadia

Fakta Menarik Seputar Tahun Hijriyah


Tidak ada terompet, tidak ada kembang api, pesta, atau acara khusus, ketika 1 Muharam tiba. Hanya hari libur seperti biasa. Kontras dengan suasana kemeriahan setiap tahun baru 1 Januari. Terasa benar, betapa tahun hijriah belum memiliki tempat berarti di kalangan sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Padahal banyak hal menarik dari tahun baru Islam ini.

Suatu hari Abu Musa Al-Asyári, salah satu gubernur di masa Khalifah Umar RA menulis surat kepada sang khalifah, menanyakan surat-surat sebelumnya khalifah yang tidak bertuliskan tahun, tapi hanya tertera tanggal dan bulan sehingga membingungkan. Amirul Mukminin kemudian mengumpulkan beberapa sahabat: Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Abdurrahman bin Auf ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Zubair bin Awwam ra, dan Thalhah bin Ubaidillah ra, untuk melakukan musyawarah pertama tentang penanggalan Islam.

Ada yang mengusulkan kalender Islam ditetapkan berdasarkan hari lahir Rasulullah Saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Nabi Muhammad Saw menjadi Rasul, atau tahun meninggalnya Rasulullah.

Setelah perbincangan, dimufakati usul Ali bin Abi Thalib ra untuk menetapkan tahun pertama dalam kalender Islam yakni berdasarkan momentum hijrah Rasulullah Saw, dari Makkah ke Madinah. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriah diambil dari nama-nama bulan yang telah ada, dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.

Saya melihat proses ini menarik. Pertama, perhitungan tahun pertama kalender hijriah diambil dari peristiwa ketika kaum Muslimin membuat satu keputusan besar untuk mengubah nasib, yaitu hijrah. Jika diambil dari tahun lahir atau tahun diangkatnya Nabi, maka tidak ada unsur tindakan manusia, sebab keduanya merupakan keputusan Allah. Sementara hijrah, upaya perubahan nasib, yang ditentukan oleh tangan kita sendiri.

Memilih momentum hijrah di luar banyak bahasan lain tentang hikmahnya, bagi saya juga menjadi obor semangat, yang mengingatkan kaum Muslimin untuk tidak diam dan selalu berusaha mencapai cita-cita. Mencoba melakukan lompatan untuk perubahan yang lebih baik. Sekalipun ikhtiar tersebut berat, berisiko, dan harus meninggalkan kebiasaan lama yang mungkin sulit.

Dengan memahami ini dalam kehidupan --jika tahun hijriah yang digunakan-- setiap kali umat Islam melihat tanggal, maka semangat untuk berubah, kekuatan tekad 'hijrah' insya Allah senantiasa terselip dalam ingatan. Berbeda dengan kalender masehi, yang menetapkan tahun kelahiran Yesus sebagai tahun permulaan (tahun 1). Karena itu dalam bahasa Indonesia disebut kata Masehi (disingkat M) dan Sebelum Masehi (disingkat SM) berasal dari bahasa Arab, yang berarti "yang membasuh", "pembaptis" atau "membelai."

Dalam bahasa Inggris penanggalan ini disebut "Anno Domini" AD (bahasa Latin yang berarti "Tahun Tuhan kita") untuk era Masehi, dan "Before Christ" BC (sebelum [kelahiran] Kristus). Di masa Khalifah Umar, tahun masehi sebenarnya telah lazim dipakai dan sudah lebih sistematis, tapi kaum Muslimin kemudian memilih untuk berani berbeda dan menunjukkan kebanggaan/izzah sebagai bagi kaum Muslimin dengan menggunakan tahun Qomariah.

Hal lain, ketika tahun masehi menghitung bergantinya hari sejak pukul 00.00, maka tahun hijriah memulainya sejak matahari terbenam.

Penggunaan tahun qomariyah juga sesuai firman Allah, "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)." (QS Yunus: 5).

Pesan lain tahun hijriah adalah agar umat Islam menjadi kaum yang produktif, karena tahun hijriah lebih pendek dari tahun masehi. Artinya, ketika seseorang berbicara akan menyelesaikan tugas dalam satu tahun (masehi), maka ia merujuk pada 365 hari. Sedangkan seorang Muslim ketika bicara target satu tahun, maka ia mengacu pada 354 hari atau lebih cepat 11 hari.

Dengan kalender hijriah, setiap tahun muncul diskusi terkait penetapan 1 Ramadhan, karena perhitungan bulan dalam tahun qamariah berkaitan dengan perubahan posisi Bulan terhadap Bumi. Situasi yang menuntut ketelitian, pengawasan, dan komunikasi. Perdebatan yang seharusnya melatih umat Islam teliti dan terbiasa untuk menghargai perbedaan serta mawas terhadap perubahan alam semesta. Selamat tahun baru!

Asma Nadia

Dongeng tentang Sebuah 'Bencana'


Seorang pemuda mencari makna dari sebuah bencana. Berawal dari kemunculan segerombolan serigala lapar yang membuat anak-anak kecil di desanya menjadi korban. Keluarga yang kehilangan berduka.

Kepala desa mengajak semua berdoa agar dijauhi dari bencana. Masyarakat diminta waspada dan siaga, tetapi serigala tak terlihat lagi.

Setelah kepala desa merujuk ke tetua, ternyata di hutan dekat desa tersebut kini tinggal sekelompok serigala buas yang suka menyerang desa-desa sekitar dan memangsa anak-anak kecil.

Waktu berlalu, berangsur desa mulai tenang. Kedukaan pelan-pelan pergi. Kaum ibu yang kehilangan anak kembali mengandung dan melahirkan. Tapi, tepat setahun kemudian gerombolan serigala yang sama menyerang desa, mengambil anak-anak bayi yang baru dilahirkan, dan menghilang dengan cepat.

Suasana gempar. Kepanikan dan duka berulang. Kesedihan akibat anak-anak yang menjadi korban rasanya sulit dilupakan.

Tetapi, hidup terus berjalan. Kecemasan yang menghinggapi para ibu, ketakutan untuk memiliki anak kecil, terlupakan. Janin yang kemudian lahir dirawat dengan cinta sempurna. Kebahagiaan yang teramat singkat, sebab setahun kemudian sekelompok serigala ganas kembali menyerang dan merenggut anak-anak. Tapi, kali ini penduduk desa mulai terbiasa.

Mereka tidak terlalu panik. Sebagian bertekad untuk tidak lagi memiliki anak. Keputusan ini merupakan bentuk penerimaan terhadap nasib bahwa suatu saat serigala yang sama akan datang dan hanya orang dewasa yang mampu menghadapi.

Begitulah, setiap tahun bencana serupa terjadi, hingga akhirnya anak-anak di desa mereka tak lagi tersisa. Benarkah sesuatu yang berulang layak disebut bencana dan tanpa reserve diterima dengan penuh kepasrahan? Pemuda itu berpikir seraya menatap desanya yang terasa mati.

Keresahan si pemuda membawanya berjalan ke desa terdekat. Suasana berbeda ia temukan. Anak-anak kecil terlihat riang bermain, celoteh segar mereka menuai senyum di wajah para orang tua. Padahal, seperti juga desa si pemuda, desa ini pun tak luput dari serangan serigala bengis.

Lalu, mengapa cahaya kebahagiaan tidak sirna di sini? Kepala desa bercerita, awalnya mereka juga kaget saat terjadi serangan. Segera, setelah itu pintu-pintu rumah penduduk diperkuat. Tapi, ketika serangan yang sama datang dan anak-anak yang berada di luar rumah menjadi korban, mereka mulai membuat semacam tanda peringatan. Jumlah korban berkurang, tetapi masih ada.

Akhirnya masyarakat membangun pagar pembatas tinggi di sekeliling desa dan sejak itu desa mereka tidak pernah diganggu serigala lagi. "Anak muda, bencana adalah kejadian alam yang tidak terduga. Tapi, jika musibah serupa berulang, itu merupakan rutinitas alam. Di desa ini, kami semua percaya kalau anak-anak menjadi korban keganasan serigala maka itu adalah kesalahan kami dalam mengelola pemerintahan desa. Karena itu, kami selalu berpikir cara memperbaikinya."

Pemuda itu tertunduk malu, ternyata selama ini penduduk di desanya terbuai dongeng tentang bencana serigala. Seolah tidak ada yang bisa disalahkan. Percaya bahwa yang terjadi murni bencana. Padahal, itu adalah akibat pemerintahan desa yang tidak bersungguh-sungguh mengatasi masalah dan justru menyalahkan keadaan alam.

Dalam perjalanan pulang, si pemuda berhadapan dengan sekelompok serigala yang siap menerkam. Ia berlari sejauh mungkin, tapi serigala terus mengejar. Tak ada jalan lain, si pemuda harus melompat ke dalam sumur sebagai harapan terakhir. Ia terjun dan terbawa arus unik yang mengantarnya ke sebuah kota modern yang sedang dilanda banjir. Kota yang jauh lebih kaya, tapi pola pikir dalam menghadapi bencana mirip aparat di desanya.

Di kota ini, banjir--seperti serigala di desanya--di sebut bencana. Padahal, semua tahu setiap tahun hujan deras selalu datang dengan berbagai kemungkinan akibatnya.

Masa depan anak-anak banyak yang terenggut karena banjir. Segala upaya menyejahterakan keluarga hancur ketika rumah-rumah dan isinya ditenggelamkan genangan air. Penduduk harus bekerja keras menabung dan membeli berbagai kelengkapan hidup yang mungkin akan hancur lagi tahun berikutnya. Mirip para ibu di desanya yang hamil, membesarkan anak, lalu kehilangan lagi.

Ada sedikit perbedaan. Di kota banjir ini, memang ada usaha, tapi selalu tidak sebanding dengan rutinitas alam yang ada. Tidak seperti desa yang ia kunjungi yang setiap tahun terus mengadakan evaluasi dan perbaikan hingga akhirnya benar-benar terbebas menjadi korban.


Sang pemuda bangkit dari perenungan, bergegas mencari pemimpin kota dan pemimpin negeri tempatnya terdampar. Tak sabar ingin bercerita tentang desanya yang pelan-pelan mati. "Jangan salahkan alam," batinnya, sambil terus melangkah. "Ini bukan bencana. Sejatinya ini merupakan kesalahan menejemen pemerintahan dalam menyikapi apa yang terjadi."
Asma Nadia

Cahaya Hidayah


Saya percaya hidayah. Bagi saya, ia serupa cahaya yang tiba-tiba hadir dan membuat segala sesuatu tampak lebih jelas. Arah yang harus diambil, juga tujuan hidup setelahnya. Tak ada samar-samar. Tak ada keraguan.

Seorang teman pernah memberi perumpamaan menarik tentang ini. Menurutnya, pancaran  hidayah bukan seperti lampu bohlam yang diam menerangi siapa saja yang ada di sekitar, tetapi lebih tepat dianalogikan sebagai sebuah senter yang bergerak menunjukkan arah dan yang bisa dirasakan manfaatnya hanya jika kita berusaha mendekat. Semakin dekat, semakin terang.

Dan, sebagaimana sinar senter yang mengikuti terus, mereka yang menyertai terangnya akan sampai tujuan sedangkan yang kemudian berhenti akan tertinggal. Hidayah atau petunjuk-Nya luas, namun tidak berarti bertahan selamanya. Tetapi, bisa datang, juga pergi jika tak dijaga.  Tidak juga lantas selesai setelah seseorang menyatakan diri sebagai Muslim.

Sebagaimana fenomena yang terjadi di masyarakat ketika seorang Muslim yang di KTP-nya tercantum sebagai penganut agama Islam, tidak menjaga ibadah shalat dan puasanya dengan baik. Muslim yang shalat, namun tetap melakukan hal yang mudarat, seperti merokok, beramal, atau pergi haji dengan uang korupsi.

Bahkan, masih ada Muslim yang belum merdeka dari minuman keras, judi, zina, dan perbuatan lain meski termasuk dalam dosa besar. Sekalipun, kehadiran hidayah sepenuhnya misteri. Akan tetapi, Allah dan Rasul telah memberikan beberapa pembelajaran agar kita bisa meraihnya. Satu hal, petunjuk-Nya terbuka bagi mereka yang menyediakan hati untuk menerimanya. Mereka yang tak keras menolak ketika muncul dorongan untuk mengimplementasikan nilai kebaikan dalam hidup.

Dan, hidayah tidak selalu menyentuh perkara-perkara besar, tetapi mungkin hanya percikan dorongan kebaikan. Perasaan tidak nyaman sewaktu memilih menghabiskan uang untuk rokok dan kesia-siaan lain. Keinginan sangat kuat untuk menjaga shalat lima waktu. Rasa bersalah ketika mau atau telah korupsi. Setiap hari, beragam momen di mana Allah sedang mengulurkan cinta yang tak layak ditepis hamba-Nya.

Hal lain, pintu hidayah bisa terbuka oleh doa. Seorang Muslim, dalam shalat lima waktunya,   minimal 17 kali membaca al-Fatihah dan meminta agar ditunjukkan jalan yang lurus. Mereka yang meninggalkan shalat otomatis terlepas dari ikhtiar ini. Tak hanya untuk diri sendiri, kehadiran petunjuk Allah juga dapat kita mohonkan bagi orang lain dalam doa agar terbuka hati untuk mendekat kepada-Nya.

Sebab, mereka yang lalai atau kelompok yang gemar mengklaim bahwa sebuah kebenaran harus berdasarkan asumsi atau interpretasi versinya, akan lebih sulit terlintas pikiran untuk meminta atau sekadar menyadari bahwa ia memerlukan hidayah.

Dialog suatu sore dengan (alm) Gito Rollies, bagi saya pribadi, menjadi catatan lain. “Jangan hanya berdoa bagi diri sendiri, Asma. Doakan orang-orang di sekitar kita, pemimpin-pemimpin dunia, mintakan agar mereka beroleh hidayah.”

Ya, mengapa tidak? Selain berupaya meluruskan, juga mulai menyertakan doa untuk mereka yang gemar menebar keburukan agar beroleh petunjuk. Nasihat sederhana tersebut kemudian sering menjadi penyeimbang untuk rasa kesal, kecewa, marah, dan sedih saya pada pihak-pihak yang melakukan penindasan dan ketidakadilan.

Rasulullah pernah berdoa supaya Allah menurunkan hidayah di antara dua Umar, Sayyidina Umar al-Khattab atau Umar ibnu Hisyam (Abu Jahal). “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Dan, Allah menurunkan hidayah-Nya pada Umar.


Meski, mungkin secara kalkulasi pikiran manusia, lelaki yang terkenal kasar—bahkan pernah membunuh darah dagingnya sendiri pada masa jahiliah—dan sangat tinggi kebenciannya kepada Islam, kelak menjadi satu dari pembela Islam di barisan terdepan, bahkan menjabat khalifah. Hidayah. Hidayah. Tidak ada hal yang tidak mungkin jika Dia berkehendak. Dan, berdoa adalah satu ikhtiar untuk mengetuk kehendak-Nya.
Asma Nadia

Bahaya Kemapanan


Ketika pertama kali mendengar petuah “Kemapanan adalah musuh besar kesuksesan”, saya membutuhkan waktu untuk mencerna. Akan tetapi, apa yang dialami seorang teman, kemudian memperjelas arti kalimat tersebut.

Laki-laki yang akan saya ceritakan ini merupakan lulusan universitas negeri ternama. Selesai kuliah, tidak seperti sarjana baru lain yang masih berjuang mencari pekerjaan, dia justru langsung memegang posisi strategis dan diangkat sebagai satu-satunya staf perwakilan perusahaan asing yang sedang merintis bisnis di Indonesia. Singkat kata ia merupakan manager, negosiator, researcher, dan melakukan berbagai fungsi yang dibutuhkan perusahaan yang belum memiliki kantor resmi di Indonesia itu.

Untuk memenuhi mobilitas yang tinggi, perusahaan memberinya fasilitas gaji lumayan besar, mobil operasional, kantor, dan segala kelengkapannya. Pendeknya, hidup sang teman dan keluarga terbilang sangat nyaman.

Suatu hari, setelah belasan tahun bekerja membangun jaringan kantor nyaris sendirian, perusahaan akhirnya memutuskan untuk membuka kantor di Indonesia. Awalnya teman saya menganggap ini sebagai berita baik, sebab kini ia tidak perlu melakukan banyak hal sendiri.

Namun, ternyata keputusan tersebut justru menjadi awal kehancuran. Setelah staf asing datang, peran sang teman berkurang. Melihat hal ini perusahaan juga mengurangi fasilitas yang diberikan kepadanya. Ruang bagi si teman semakin lama semakin sempit. Beberapa waktu menimbang-nimbang, dia kemudian mengundurkan diri dari perusahaan. Keputusan yang mengakibatkan seluruh fasilitas kantor yang tersisa, ditarik.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, teman saya tersadar. Selama ini dia mengira memiliki segala, ternyata tidak. Hampir seluruh fasilitas yang mempermudah hidupnya dan keluarga adalah semu. Belasan tahun bekerja, rumah, kendaraan, dan lain-lain belum mereka miliki, sebab selama ini merasa telah tercukupi fasilitas yang diberikan perusahaan. Berbagai kemudahan yang ternyata dengan amat cepat terampas ketika situasi berubah. Zona kemapanan yang nyaman, namun tak nyata. Keluarga mereka kini harus memulai segala sesuatu dari awal lagi. Dan ini sama sekali tidak mudah.

Untuk mencari pekerjaan, akan sulit menemukan perusahaan yang mampu memberi gaji sebesar yang diterimanya dulu. Persoalan lain, rata-rata perusahaan memilih wajah-wajah muda dibanding mereka yang sudah berusia di atas tiga puluh apalagi empat puluh tahun.

Apa yang harus dilakukan? Apalagi kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak-anak mustahil dihentikan. Hanya dalam hitungan bulan, sedikit simpanan keluarga pun habis.

Pintu keluar yang akan menyelamatkan mereka sekeluarga, kemudian justru terlihat dari peluang untuk menjadi pekerja migran gelap di Amerika. Benar hanya sebagai buruh, yang di mata sebagian orang merupakan pekerjaan kasar, namun di negeri Paman Sam bisa menghasilkan pendapatan sekelas manajer di Tanah Air.

Dan teman saya tak sendiri. Ada cukup banyak profesional dan manajer lain yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Terlambat menyadari bahwa mereka tak punya apa-apa dan telah terlena kemapanan yang semu. Musibah, ujian dari Allah. Siapa yang sanggup menjamin tidak akan menghampiri?

Saat sang teman bercerita, dengan niat berbagi pelajaran, dalam hati saya mencatat banyak hal. Betapa penting untuk tidak terbius kehidupan mapan yang selama ini mungkin dinikmati. Apalagi jika hanya pinjaman atau fasilitas terkait pekerjaan atau posisi. Di lain pihak, sikap cepat puas dengan apa yang terhampar di depan mata harus dihilangkan.

Tak ada yang abadi. Demi anak-anak yang terus tumbuh dan membutuhkan banyak dukungan orang tua, persiapan untuk menghadapi berbagai ‘skenario buruk’ yang akan merebut kehidupan nyaman dan mapan yang dinikmati harus dilakukan sedini mungkin. Sebagaimana belasan abad lalu, Rasulullah telah berpesan, "Gunakanlah (carilah keberuntungan) pada yang lima sebelum datang yang lima, yaitu masa hidupmu sebelum datang kematianmu: masa sehatmu sebelum datang waktu sakitmu; waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu; masa mudamu sebelum datang masa tuamu; dan masa kayamu sebelum jatuh miskin." (HR al-Hakim).

 Asma Nadia

Antara Haji dan Penghasilan


Benar haji adalah panggilan Allah. Tetapi, ikhtiar maksimal seseorang semoga memudahkan keridhaan yang berujung undangan ke Tanah Suci.

Seorang teman yang bekerja di research and developmentsatu media mengadakan riset sederhana dengan kelompok haji yang ditemuinya untuk mengetahui latar belakang pekerjaan jamaah.
Hasilnya cukup mengejutkan. Tujuh puluh persen yang mampu pergi haji adalah pedagang atau pengusaha dan bukan pegawai.

Hanya sekitar 30 persen jamaah merupakan pejabat tinggi di perusahaan atau instansi dengan pendidikan S2 dan S3 atau pendeknya kelompok masyarakat yang mempunyai posisi strategis dan berpendidikan tinggi. Sementara, 70 persen sisanya adalah petani, pemilik ke bun, pedagang, atau pengusaha kecil menengah yang tidak memiliki pendidikan tinggi, yang mungkin jika mela- mar kerja di tempat golongan yang masuk 30 pesen di atas, hanya akan mendapatkan posisi rendah.

Jika demikian, bagaimana mereka yang relatif kurang pendidikan dan intelektual secara akademis lebih berdaya secara ekonomi di bandingkan masyarakat yang berada di kelompok 30 persen di atas? Pertama, sejak lama Rasulullah SAW telah berpesan melalui berbagai hadis kepada kaum Muslimin untuk menjadi pedagang atau pengusaha jika ingin sejahtera. "Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan (usaha)." "Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual- beli yang mabrur."

Kedua, sebagian besar masyarakat di perkampungan belum tercemari sistem finansial modern, yang walaupun menggunakan istilah modern, jauh lebih merugikan dari sistem konvensional. Mereka terbiasa menabung dengan emas, sementara masyarakat perkotaan (baca: pendidikan tinggi) banyak yang merasa menabung di bank, deposito, dan lain-lain, jauh lebih menguntungkan dari emas walaupun kenyataannya tidak.

Saya teringat cerita Endy J Kurniawan, penulis buku Think Dinar, sarjana ekonomi yang merasa malu sebab ilmu yang dipelajarinya kalah dibanding teori sederhana Rasulullah yang dikembangkan Umar bin Khattab, yaitu kon sep "Dinar Emas"--mata uang berbasis emas yang satu dinarnya setara 4,25 gr emas (jangan tersaru dengan mata uang dinar saat ini).  Satu dinar pada masa Rasulullah cukup untuk membeli seekor kambing dan setelah lewat 1.400 tahun masih punya daya beli yang sama.

Emas adalah alat bayar bebas inflasi sepanjang zaman. Sesuatu yang tidak masuk akal dalam teori ekonomi yang pernah dipelajari Endy, tapi terbukti kekuatannya.

Sejak itu, setiap bertemu dengan eksekutif dan profesional muda, ia aktif berbicara tentang dinar. Banyak dari mereka yang takjub dan memutuskan mengalihkan deposito dan lain- lain ke emas. Hal yang menarik ketika ia bertemu kalangan mapan di pelosok desa. Mereka tertawa kecil sambil mengatakan bahwa hal itu sudah sejak lama mereka lakukan, memulai dari satu, bahkan setengah gram emas.

Karena awam teori ekonomi, masyarakat perdesaan yang menabung dengan emas tidak terkena inflasi, bahkan makin sejahtera. Dengan menabung dalam dinar emas, biaya haji justru semakin `turun'. Jika dulu seseorang harus memiliki 30 keping dinar untuk pergi haji, kini 18 keping dinar sudah cukup membayar biaya ke Tanah Suci.

Perbedaan ketiga terletak pada gaya hidup. Cara menghasilkan uang para pegawai dan pengusaha yang tidak sama membuat gaya hidup mere ka ikut berbeda. Ketika pengusaha dan pedagang dilatih bertahan dan berjuang serta bertanggung jawab terhadap nasib usahanya sendiri, kebanyakan pegawai tidak peduli perusahaan untung ataupun rugi. Sebab, pendapatan bulanan mereka sama saja. Karena merasa hidup stabil, mental pegawai dalam mem persiapkan diri untuk berjuang atau meningkatkan kekuatan mereka lebih kecil.

Beberapa profesi, sekalipun memiliki penghasilan besar, menuntut gaya hidup yang mahal. Tidak jarang para eksekutif harus nongkrongdi kafe bukan sekadar gengsi, melainkan demi bertemu klien. Hasilnya, gaji yang diperoleh terkuras gaya hidup karena tuntutan profesi ini.

Haji adalah ibadah paling mahal bagi umat Islam. Karena itu, kewajibannya hanya "jika mampu". Di sini ada pembelajaran berharga bagi umat, yakni motivasi untuk menyempurnakan seluruh rukun Islam dengan menguatkan kemampuan finansial. Dan, Rasulullah telah berabad lalu menyampaikan bahwa menjadi pengusaha adalah jalan keluar. Berpikir dinar dan emas menjadi cara menabung dan investasi.


Mereka yang saat ini masih menjadi pegawai harus mulai berpikir untuk membuka usaha tertentu, mengurangi gaya hidup konsumtif, dan mengganti orientasi menabung dengan dinar dan emas sebagai ikhtiar memperpendek jarak ke Tanah Suci. Selain itu, untuk mempersiapkan masa depan lebih sejahtera bagi keluarga dan cita-cita lebih berdaya bagi sesama.
Asma Nadia

Annisa dan Topeng Kekerasan


Annisa tak lagi tersenyum. Gadis kecil berkulit putih yang menjadi sumber kebahagiaan keluarga itu kini tampak murung. Bibir mungilnya kehilangan kata-kata. Annisa 'mogok' makan, dan sudah sepekan menolak masuk sekolah. Padahal, beberapa waktu lalu dia begitu antusias memasuki hari-hari dengan seragam putih biru. Ada apa dengan Annisa? Berbagai cara ditempuh untuk membongkar kediamannya.

Saya memahami keresahan orang tua yang berangsur menjelma kepanikan. Sebab, Annisa kemudian meninggalkan rumah, memilih tinggal bersama neneknya, setelah permintaannya untuk operasi wajah tidak dikabulkan.

Permintaan aneh yang tak seharusnya lahir dari anak-anak itu, baru saya mengerti ketika kami berhadapan dan Annisa mulai bercerita. “Buku-buku Nisa dibuang ke tempat sampah, Bunda. Mereka melempar penghapus, juga pasir ke kepalaku. Di loker, mereka menulis nama Nisa dan menggandengkan dengan nama binatang.”

Noktah di wajah Annisa menjadi sumber celaan dan tindakan bully yang dilakukan beberapa teman laki-laki dan perempuan di kelasnya. Julukan terkait tanda lahir di wajahnya terdengar puluhan kali, setiap hari. Membuat kuping dan wajah Annisa panas. Meski bahkan dengan tanda lahir pun sebenarnya kecantikan Annisa jauh di atas rata-rata, gadis itu tak lagi memercayai cermin. Annisa kehilangan kepercayaan diri.

Anak-anak kita, batin saya, sosok yang menjadi sumber keriangan orang tua, bagaimana mungkin memiliki topeng kekerasan sekaligus? Remaja yang seharusnya penuh empati kini mahir merendahkan. Kebahagiaan apa yang mereka peroleh dengan mengejek, serta melakukan kekerasan terhadap anak lain? Lalu bagaimana generasi masa depan bisa diharapkan?

Curhat kali ini mengentak batin lebih dari biasanya. Sebab ,tidak lahir dari para ibu rumah tangga yang berbagi kisah dan permasalahan keluarga, melainkan berasal dari ananda yang masih belasan tahun. “Apakah Nisa pernah melaporkan ke guru?”

Pelan-pelan Nisa mengangguk. Kedua orang tua gadis cilik itu membenarkan. Mereka sempat meminta Annisa pindah kelas. Tetapi wali kelas menolak dengan alasan hal itu akan membuat namanya tercoreng di depan kepala sekolah.

Ini baru cerita sepihak. Tetapi jika benar, sungguh menyedihkan. Bagaimana bisa seorang pendidik—ketika muridnya tersiksa dan kehilangan keinginan belajar—malah memikirkan karier ketimbang merasa bertanggung jawab terhadap kegagalan meniadakan kekerasan di kelasnya. Anak-anak yang berangsur kehilangan nurani. Tak mampu lagi berempati. Lalu wali kelas yang tak melindungi kecuali dirinya sendiri.
Saya mungkin masih bisa sedikit memahami jika kasus ini terjadi di sekolah yang minim fasilitas, di mana guru-guru dibayar tidak manusiawi, sehingga kurang motivasi untuk memerhatikan anak-anak, lalu murid-murid yang tertinggal. Tetapi apa yang dialami Annisa terjadi di sekolah percontohan di bilangan Cibubur, yang masuk kategori sangat mahal.

“Jadi, Nisa harus bagaimana, Bunda?” Saya menarik napas, mengelus kepala gadis cilik itu.
Operasi, bukan jalan keluar setidaknya untuk saat ini. Sebab dengan semangat mengerjai seseorang, bahkan jika noktah itu hilang, anak-anak tetap bisa menemukan celah lain untuk “memamerkan” kekerasan.

Sedikitnya, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama berharap siswa siswi yang suka mengolok-olok itu sadar dan berubah. Seharusnya pihak sekolah peka dan bersikap tegas terhadap kekerasan di lingkungan sekolah. Sebab, membiarkan berarti melegitimasi kekerasan, yang secara fisik atau psikis, atas nama apa pun dan di dunia manapun kita berada, tidak bisa dibenarkan.

Kedua, meningkatkan daya tahan pribadi, dalam hal ini Annisa. Menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Menebalkan telinga dan hati agar tidak terpancing atau merasa kesal terhadap ulah orang lain. “Kebahagiaan kita, kita sendiri yang menentukan, Annisa. Mereka yang tidak penting tidak boleh merusak kebahagiaan dan mimpi-mimpi kita.”

Saya mengajak Annisa fokus pada kelebihan dan hal-hal yang membuatnya tersenyum. Bukan kepada kekurangan dan berbagai persoalan yang hanya menimbulkan perasaan sedih berkepanjangan. Sepasang mata bening Annisa yang sempat redup, mulai bercahaya ketika saya bercerita tentang tokoh dan selebriti dunia yang mengalami kekerasan semasa sekolah. Pada akhirnya, justru mereka yang mencetak sejarah, bukan pihak yang melakukan bully.

Saya berharap Annisa dan anak-anak lain yang mengalami hal serupa berani menegakkan wajah menatap dunia. Perkataan dan perlakuan orang lain yang tidak mengenakkan, tidak boleh mengurangi semangat siapa pun menjalani kehidupan.


Di pihak lain, ingin sekali saya mengajak para pendidik, dan orang tua untuk sama-sama menelisik lebih dalam ke dalam relung hati anak-anak kita. Memastikan bahwa di balik celoteh, segudang prestasi dan kepolosan yang mereka tampakkan, tak ada topeng kekerasan, yang tersenyum bahagia saat menyengsarakan orang lain.
Asma Nadia

Jilbab Rani


"Saya ingin ganti nama!" Seorang perempuan muda mendatangi saya. Wajah manisnya terlihat bersih dan bersahaja. Tetapi, jilbab warna cerah yang dikenakan tak bisa menghapus mendung di rautnya.

"Mengapa?" Sepasang mata agak sipit menatap, ada genangan air membayang di sana.

"Saya tak nyaman lagi. Nama itu mendadak dibicarakan di mana-mana."

Saya merayapi parasnya. Menjadi buah bibir, tenar, populer, bukankah impian banyak orang?

Beberapa alumnus workshop menulis yang saya adakan, ada yang dengan sungguh-sungguh menyebutkan ‘pengen terkenal’ sebagai alasan mereka ingin menjadi penulis. Konon, sekarang penulis bisa digolongkan selebritas. Lebih mudah karena tidak mensyaratkan tampang, tinggi, dan proporsi tubuh tertentu. Ingin terkenal tapi tidak mau jadi bulan-bulanan infotaintment, jadi penulis saja, kata mereka lagi.

Tetapi, gadis di depan saya justru terganggu karena namanya menjadi buah bibir. "Mbak, saya memakai jilbab sejak kelas tiga SMP. Sudah lebih dari sepuluh tahun. Selama ini, saya jaga benar tingkah laku sebab tak ingin citra jilbab rusak gara-gara saya."

Ah, saya makin tak mengerti. Pertama tentang nama, lalu sekarang jilbab. Kemana kira-kira arah percakapan ini? Saya sabarkan diri dan membiarkan perempuan muda itu terus berbicara. "Dan seseorang membuat saya kesal karena ia tidak hanya merusak nama saya, juga citra kerudung sekaligus, dengan mengenakannya sebagai topeng."

Seseorang? Sebagai Muslimah berjilbab saya bisa memahami keresahannya. Dulu, di awal saya berjilbab, beredar isu jilbab beracun. Perasaan saya juga sempat terganggu ketika ada berita miring soal PSK berjilbab.

Memang, persoalan jilbab dulu dan sekarang berbeda. Tetapi, tetap jadi fenomena seperti sinetron-sinetron televisi menjelang bulan Ramadhan. Jilbab juga sering mendadak dipakai perempuan-perempuan yang tersandung hukum. Saya tidak pernah menghitung persisnya, tetapi terbilang cukup banyak pelaku kriminalitas, baik selebritas maupun masyarakat biasa saat meminta maaf di depan publik atau mengikuti persidangan membalut wajah dengan kerudung, baik disampirkan atau benar-benar dipakai. Inikah maksudnya? "Saya mualaf, Mbak. Itu saja sudah menimbulkan kemarahan keluarga karena mereka tak mengerti. Terlebih ketika saya berjilbab."

Si Muslimah bercerita bagaimana dia ditinggalkan teman-teman, dimusuhi, dan diancam dikeluarkan pihak sekolah. Sementara, keluarganya seringkali menarik dan merenggut paksa, bahkan membakar jilbab yang ia pakai. Ujian serupa juga beberapa kali saya dengar dialami teman yang berlatar keluarga Muslim.

Seorang sahabat sampai sekarang masih berjuang untuk berjilbab sebab terhadang keberatan suami yang menganggap jilbab itu kampungan. Kepada sahabat tersebut sempat saya sampaikan ada baiknya si suami lebih sering menonton televisi atau melihat majalah agar tahu bahwa jumlah jilbaber atau hijabers berprestasi dari kalangan masyarakat sampai selebritas sudah sedemikian banyak saat ini.

Namun, pikiran orang memang macam-macam. Di saat ayah-bunda seharusnya bangga ketika anak mereka memilih menutup daripada memamerkan aurat, masih ada yang menentang habis-habisan keinginan si anak menjaga diri dari tarikan lingkungan yang kian bebas.

Atau, para suami yang tidak merasa lega memiliki istri berjilbab yang menunjukkan komitmen ketaatan kepada Allah. Padahal, begitu banyak perempuan Muslim masih berkelit dan mengatakannya sebagai budaya Arab, meski jelas-jelas Alquran diturunkan untuk seluruh alam.

Anehnya, kadang sesama Muslimah--prasangka baik saya bahwa mereka belum mengerti--ada yang justru mengolok-olok Muslimah berjilbab. Berkata lebih baik tidak usah berjilbab daripada tidak bisa menjaga kelakuan, bukan justru termotivasi untuk menjadi Muslimah yang lebih baik dari potret sekitar, menjaga akhlak, dan berjilbab. Setidaknya, keputusan orang lain untuk berpakaian sopan haruslah dihormati. "Jadi, haruskah saya mengganti nama?"

Perempuan di hadapan saya menunggu jawaban setelah bercerita panjang lebar. Saya akhirnya mengerti keresahannya. Dia tentu saja berbeda dengan perempuan yang dikabarkan ditemukan di kamar hotel dengan laki-laki yang sudah memiliki empat atau lima istri dan satu diantaranya sedang hamil.

Dia juga bukan perempuan yang sama dengan perempuan di hotel yang menerima saja uang sepuluh juta sebagai uang pertemanan dari lelaki yang nyaris tidak dikenal sambil berkilah, siapa yang tidak mau dikasih uang sebanyak itu?

Nama perempuan dengan wajah manis bersahaja, tanpa polesan make up yang tepekur di hadapan saya boleh sama dengan nama yang saat ini menjadi pembicaraan di Tanah Air. Tetapi, bukan nama yang menentukan kualitas diri seseorang. Ada iman yang dengannya tidak ada uang sebesar apa pun bisa membeli pertemanan, apalagi kehormatan seorang perempuan.

Asma Nadia

Hari-hari Tanpa Alasan di Ramadhan


Ada apa dengan bulan Ramadhan? Seorang pelajar berjuang untuk jujur selama ujian sekolah, dengan alasan merasa kurang enak jika mencontek di bulan Ramadhan. Seorang ibu mengingatkan dirinya, juga ibu-ibu di lingkungannya yang sedang bergosip, untuk tidak 'ngomongin' orang karena mereka sedang puasa. Beberapa pemuda bertekad untuk khatam Quran pada Ramadhan ini. Begitu banyak kebaikan diagendakan, begitu banyak ikhtiar kita untuk mengurangi dan menjauh dari keburukan, selama Ramadhan.

Siapa pun, tak ada yang ingin puasanya masuk dalam kategori sia-sia sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya melainkan hanya rasa lapar dan dahaga.'' Pemahaman bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan juga hawa nafsu telah dipahami oleh banyak kaum Muslimin. Hal-hal di atas sedikit banyak menyatakan itu.

Ramadhan adalah bulan pembuktian. Pembuktian bahwa setiap pribadi Muslim sebenarnya memiliki kemampuan jauh lebih besar dari perkiraannya, selama ada kemauan. Teman-teman yang tak pernah bisa melepaskan batang rokok dari jarinya, ternyata sanggup tidak merokok selama belasan jam ketika berpuasa. Deret alasan yang pernah dikemukakan bahwa mereka tidak bisa berhenti merokok, mulut terasa asam atau tidak bisa berpikir tanpa rokok, hanya excuse atau alasan yang diada-adakan.

Hari-hari Ramadhan adalah saksi berhentinya para perokok kelas berat dari aktivitas sia-sia tersebut. Tak hanya fenomena rokok. Para pekerja kantoran, wanita karier, dan pejabat yang selama ini sangat sibuk ternyata bisa menyempatkan shalat tarawih dan shalat fardhu lebih tepat waktu, tanpa terganggu ritme kerja di kantor. Tetapi, mengapa hanya pada Ramadhan? Mengapa di luar itu begitu sulit shalat tanpa menunda?

Mengapa kegigihan untuk menyempatkan shalat berjamaah, baik di masjid atau bersama keluarga tidak muncul pada bulan-bulan lain? Ramadhan karim, entah bagaimana umat Islam tanpa Ramadhan. Di bulan mulia ini, kaum Muslimin didorong kembali kepada fitrah. Betapa pun diri telah jauh terperosoknya ke dalam aktivitas sia-sia bahkan berdosa selama setahun terakhir.

Patuh, tunduk berpuasa, menjaga diri dari semua yang membatalkan, meski kecuali anak-anak, tidak ada orang tua, guru, atau ustaz yang mengawal puasa kita. Tidak ada yang berteriak-teriak agar ibadah sunah ditambah, agar giat ke masjid atau supaya setiap Muslim memperbanyak infak dan sedekah. Sebagaimana tidak ada manusia lain yang memaksa para perokok mematikan kepulan asap mereka sejak fajar sampai bedug maghrib terdengar.

Berkah Ramadhan. Rasa malu dan sungkan dalam mengerjakan hal-hal yang salah dan berdosa menyala lebih kuat, menghinggapi Muslim segala usia. Bagai dikomando nyaris semua membuang sikap cuek juga ego terhadap keinginan pribadi, yang selama ini padahal diperjuangkan dengan dalih 'hak asasi'. Bergeming meski jika itu memberi mudharat bagi hamba Allah yang lain. Nyaris tak ada rasanya hamba keras kepala yang memaksa bertahan dalam keburukan pada bulan ini.

Hampir seluruhnya bersikap patuh dan taat, dengan alasan murni mencari ridha-Nya, sampai sekadar toleransi dengan lingkungan sekitar sebab ini Ramadhan. Sederhananya, jika direnungkan, seorang pelajar yang lebih memilih belajar sendiri dan malu mencontek di bulan Ramadhan, sebenarnya mereka mampu melakukan hal itu pada hari-hari di luar Ramadhan.

Seorang ibu yang suka bergosip, memiliki kemampuan menahan lisan tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi juga sepanjang bulan lainnya, jika saja ia benar-benar tidak menoleransi kebiasaan buruk tersebut. Dan, mereka yang telah membuktikan bebas rokok selama Ramadhan, sebenarnya memiliki kekuatan untuk benar-benar berpisah dari jeratan asap tembakau yang mereka isap. No excuse! Jika saja kemauan berhenti merokok ini terus dihidupkan seusai Ramadhan.


Termasuk para "tukang tilep" dari berbagai lapisan atau koruptor yang selama puasa sempat terselip enggan untuk mengambil yang bukan menjadi haknya--alih-alih panik mengejar setoran karena sebentar lagi Lebaran--mudah-mudahan bisa meneruskan kebiasaan baik ini pada hari-hari setelah Ramadhan. Alangkah indah dan membahagiakan jika pembuktian diri tak berhenti setelah Ramadhan. Jika deret kebaikan yang telah dihidupkan, benar-benar menjadi milik diri. Jika ragam kesalahan dan dosa selamanya menjauh dan tak pernah dilakukan lagi. Jika setiap Muslim bisa bertahan menjadi pemenang meski Ramadhan telah lama menghilang.
Asma Nadia