Wajahnya selalu cerah. Kata-katanya lantang dan bersemangat.
Sementara, senyuman tak pernah lupa tersungging. Ya, memandang perempuan ramah
yang dekat dan disukai anak anak itu selalu mengalirkan keriangan. Sungguh
sesuai dengan profesinya sebagai guru taman bermain, pikir saya. Tetapi,
keluhan sang suami suatu hari mengantar saya pada cerita berbeda.
“Saya tidak mengerti mengapa ia begitu mudah marah. Kasihan
anak-anak yang tertekan karena sikap kasar ibunya.” Hingga suatu kali saat
pasangan tersebut bertengkar hebat, terlontar kalimat lelaki itu, “Berapa gaji
Ibu sebagai guru taman bermain? Berapa pun saya akan bayar agar Ibu bisa riang
di rumah dan disukai anak-anak!”
Kalimat terakhir memukul batin sang istri dan membawanya
pada sebuah dialog panjang ketika kami akhirnya bertemu. Berbagai persoalan dan
beban hidup, kelelahan, serta banyak hal telah menguras energi perempuan itu
seolah tak bersisa, hingga “kenyamanan” bagai menguap saat anak-anak berhadapan
dengannya.
Fenomena serupa cukup banyak terjadi di masyarakat. Saya pun
tak bersih dari kekhilafan itu. Orang tua yang sanggup bersikap profesional
dalam profesinya, namun justru gagal saat berhadapan dengan anak-anaknya
sendiri. Seorang customer servis pernah kehabisan senyum. Bahkan, ketika
berhadapan dengan pelanggan yang paling menyebalkan, ia akan berjuang untuk
tetap menjaga kata-kata dan sikap sebagaimana layaknya seorang profesional.
Seorang entertainer sejati (penyanyi, pemain musik,
komedian, dan lain-lain) walaupun sedang mengalami tekanan perasaan, akan tetap
memberikan pertunjukan terbaik bagi penonton atau penggemarnya. Bersikap
profesional bukan sekadar menjalankan tugas. Saat ini, istilah profesional
sering dikaitkan dengan uang.
Padahal, yang membedakannya bukan terletak pada soal menerima
imbalan materi atau tidak, tapi apakah hal itu diwujudkan—dalam bahasa
sederhana—dengan tindakan dan juga dengan hati. Lalu, bagaimana membawa
profesionalitas ini dalam kewajiban sebagai orang tua? Sudahkah kita menjadi
orang tua yang sekalipun tidak mendapatkan bayaran secara materi, namun
bersikap profesional?
Diam-diam saya mulai berhitung, berapa kali saya marah dalam
sehari atau sepekan. Orang tua profesional bukan mereka yang tidak pernah marah
namun mengerti kapan harus menunjukkan sikap tegas. Bukan semata-mata karena
dorongan emosi melainkan ketika marah—dengan proporsi yang tepat—memang
diperlukan sebagai pembelajaran.
Orang tua yang profesional tidak akan marah karena terbebani
banyaknya pekerjaan kantor dan kesal karena menganggap orang rumah tidak
bersikap toleransi, lalu dengan mudah menemukan alasan untuk meluapkannya.
Sebaliknya, ayah-bunda profesional akan bersikap tegas dan berbuat semestinya
saat anak melakukan tindakan yang dianggap kriminal atau melanggar norma sosial
lainnya.
Sebab, tindak kriminal sekecil apa pun jelas memiliki
konsekuensi hukum. Menjadi orang tua profesional berarti bersikap dan
memberikan respons sebagaimana kebutuhan anak. Sekalipun ayah atau ibu memiliki
karakter yang cen derung pasif, namun saat berhadapan de ngan balita yang
membutuhkan ekspresivitas maka orang tua akan mencari cara untuk bersikap
ekspresif.
Profesional sebagai orang tua juga berarti selalu siap
mendengar, berkomentar, dan mengapresiasi juga siap memberikan respons positif
yang membangun kepercayaan diri anak. Seperti ketika ananda menunjukkan gambar
sederhana mereka. Betapa pun lelah, ayah-bunda profesional akan menyulap wajah
letih mereka menjadi antusias, lalu dengan nada paling bersemangat
mengungkapkan betapa membanggakannya karya ananda.
Orang tua adalah payung bagi anak-anak. Maka, bentangkanlah
payung itu seluas mungkin agar anak-anak merasa teduh dan nyaman. Tentu,
memerlukan perjalanan panjang dan tidak mudah frustrasi untuk menjadi orang tua
yang lebih profesional. Saya pun masih berjuang dan jauh dari sempurna. Tetapi,
bintang di mata anak-anak, senyum, serta pelukan di leher yang mereka berikan
semoga menjadi penyemangat bagi setiap kita untuk mempersembahkan cinta dan
apresiasi sebaik mungkin hingga anak-anak merasa penting dan tak ragu bahwa
mereka dicintai.
Asma Nadia