Konon makna seseorang dalam hidup baru kita ketahui saat
kehilangan mereka. Seorang istri yang sering mengabaikan suami, tidak begitu
peduli dengan segala kebutuhannya karena sibuk dengan urusan sendiri, tiba-tiba
menangis dan berjanji akan merawat suami sebaik mungkin ketika lelaki yang
dicintai terbaring koma di rumah sakit.
Seorang suami yang mengabaikan peran istri dan merasa
hanya dirinya yang paling penting sebab menafkahi keluarga, baru sadar betapa
berat dan ruwetnya tugas istri saat sang pendamping sudah tak ada lagi di sisi.
Orang tua yang selalu tidak punya waktu untuk anak-anaknya, tiba tiba diliputi
penyesalan mengapa tidak memberikan semua waktunya untuk anak ketika si buah
hati telah terbaring kaku di pusara.
Ya, kisah-kisah penyesalan serupa dapat ditemukan
jejaknya da lam masyarakat kita. Dan beberapa pekan terakhir, membaca berbagai
berita kehilangan, saya seakan diantar pada satu perenungan tentang seberapa
berartinya kehidupan kita.
Indonesia begitu tersentak ketika mendengar berita Uje
(Ustaz Jefri Al Buchori) berpulang ke haribaan Allah di usia yang relatif muda.
Ribuan orang menshalati jenazahnya. Tidak puas hanya sekadar menshalati, mereka
berbondong-bondong mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir. Lebih dari
sepekan berbagai media di Tanah Air tetap memberitakan kepergian ustaz
tersebut.
Para pedagang asongan dan kaki lima meningkat omzet
penjualannya sampai dua kali lipat saat berjualan di sekitar tempat Uje
dimakamkan, seolah menjadi bukti bahkan setelah meninggal pun Uje masih bisa
memberi kontribusi kebaikan bagi hidup orang lain. Setelah Uje pergi,
masyarakat baru menyadari perasaan kehilangan mereka yang demikian besar.
Banyak pihak baru melihat betapa Uje telah menyentuh
banyak orang di Indonesia, ia menjadi salah satu ikon Islam (baca: ustaz muda)
yang bersahabat. Islam yang bisa diterima anak muda. Islam yang ramah. Saya
(meski belum sampai pada sebuah kesimpulan) akhirnya mengerti bahwa sering kali
kualitas hidup seseorang justru terlihat ketika dia telah tiada.
Satu pertanyaan kemudian menggugah batin. Jika saya
meninggal kelak, seberapa banyak yang akan merasa kehilangan? Seberapa banyak
dari keluarga, teman dekat, atau mereka yang sekadar mengenal akan rela
menyediakan waktu untuk menshalatkan? Pertanyaan-pertanyaan yang akan
ditentukan jawabannya oleh kualitas hidup saya sendiri. Seberapa saya atau kita
semua telah memberi manfaat untuk orang lain.
Namun, sebuah berita lain yang menyusul belakangan
membuat saya berpikir lebih jauh. Sir Alex Ferguson menyatakan resmi mundur
dari Manchaster United. Dunia sepak bola tersentak. Ya, semua tahu usia sang
pelatih sudah puluhan tahun melewati usia pensiun, tapi tetap saja hal ini
mengagetkan. Pencinta MU di seluruh dunia merasa kehilangan.
Hotel-hotel di-booking penuh untuk melihat sang maestro
pada pertanding an terakhirnya, tiket terjual ludes, semua berdesak-desakan
ingin melihat sang tokoh di akhir karier nya. Koran dan berbagai media masa
menjadikan berita tersebut sebagai head line.
Bahkan, ada yang berkomentar tidak pernah ada berita
pengunduran diri seheboh ini, yang hanya bisa disaingi oleh berita kematian
selebriti penting.
Reaksi dan pemberitaan sedemikian hebat bukan tanpa
alasan. Sir Alex Ferguson mengisi kehidupan dan kariernya dengan berbagai
prestasi. Ia berhasil mengangkat MU yang menghadapi jurang kebangkrutan menjadi
salah satu klub terkaya dan dihormati.
Sekali lagi kenyataan ini menunjukkan tak perlu menunggu
datangnya kematian untuk mengetahui kualitas hidup seseorang bagi pihak lain.
Cukup dengan berhenti sejenak dan melakukan kilas balik.
Kembali kepada perenungan. Mari sama-sama melihat
tahun-tahun yang terlewati. Apa pekerjaan kita saat ini? Pegawaikah?
Manajerkah? Politisikah? Gurukah? Sama-sama mencoba menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut.
Jika kita berhenti dari pekerjaan sekarang, apakah akan
dengan mudah kita tergantikan? Akankah ada banyak pihak yang merasa kehilangan?
Jawaban atas pertanyaan ini sedikit banyak menunjukkan kualitas kehidupan yang
telah kita bangun. Ada catatan lain bagi yang Muslim. Pencapaian dunia belum
tentu selaras dengan pencapaian akhirat. Di mana bukan popularitas, melainkan
berapa banyak jejak kebaikan yang diiringi keikhlasan telah kita tebar dan
menyentuh sesama.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar