“Anak SD bicara hamil, serius nih?” Kalimat di atas saya temukan di status
twitter. Menyusul keluhan yang dialamatkan ke satu stasiun televisi swasta yang
mengisi prime time dengan sinetron yang dianggap tidak cocok bagi anak.
Penasaran, saya mulai mencari data lebih banyak dan mencoba
mencermati keresahan para orang tua, ini. Berawal dari adegan dan dialog siswa
berseragam SD, dua anak (satu laki-laki, satu perempuan) dalam sinetron
tersebut dikisahkan tertidur di sekolah. Teman-teman mereka mencoret-coret
hidung si anak lelaki dengan spidol. Seorang anak lain lalu membangunkan
keduanya dan berkata, “Kata papaku, cowok hidung belang bisa bikin cewek jadi
hamil.”
Adegan tidak berhenti di sana. Mengetahui ibu guru mereka
yang sedang mengandung menolak makan nanas karena takut keguguran, si bocah
lelaki pun membawakan nanas dalam jumlah besar untuk anak perempuan yang
tertidur di sekolah tadi karena takut gadis cilik itu hamil akibat mereka
tertidur berdua.
Sampai di sini rasanya saya mulai menangkap mengapa sinetron
ini kemudian mendapat sorotan. Wajarkah
kalimat dan tindakan serupa lahir dari anak-anak sekolah dasar? Jika adegan
episode awal sudah demikian, masih mungkinkah berharap nilai dari tayangan
tersebut?
Ananda-ananda kita yang duduk di bangku sekolah dasar sedang
mendapatkan ujian. Selain sering terpaksa melihat tontonan yang tidak sesuai
usia, akhir-akhir ini mereka pun konon menjadi “sasaran” dari maraknya buku
yang diberitakan porno, yang mengisi perpustakaan sekolah.
Pertama mengetahui isu ini saya mengira anak-anak ini sedang
diserbu buku-buku yang secara moral bernilai murah. Ternyata tidak. Sebaliknya,
deret buku yang masuk dalam daftar buku bacaan untuk anak SD itu telah melalui
tim seleksi dan berada dalam Daftar Buku Lolos Penilaian Pusat Kurikulum dan
Perbukuan untuk SMA, jelas bukan buku porno. Lalu, bagaimana bisa sampai di
perpustakaan SD?
Melalui facebook-nya, Helvy Tiana Rosa, sastrawan dan dosen
Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, menyesalkan beberapa guru SD yang tidak membaca
betul dan langsung menyatakan buku-buku tersebut mengandung pornografi, juga
sebagian media yang mengutip tanpa mengecek lagi kebenaran hal ini. Padahal,
yang terjadi adalah salah peruntukan. Buku-buku yang disebutkan itu tidak cocok
untuk anak-anak SD, tetapi SMA.
Salah distribusi atau salah “kamar” ini harus diselidiki
tuntas oleh pihak-pihak terkait agar tidak terulang. Bayangkan jika sebuah buku
edukasi pernikahan kemudian “salah kamar” dan dibaca anak-anak SD.
Bicara tentang buku, sejak dulu saya percaya bahwa tidak
hanya makanan, tetapi buku juga media
lain perlu memiliki visi halalan thayyiban. Tak cuma baik, tetapi juga halal
bagi penikmatnya. Bukan berarti perlu sertifikasi MUI dan sebagainya, melainkan
kerangka halalan thayyiban ini menjadi rujukan bagi orang tua, pendidik,
mungkin penerbit/redaksi media, rumah produksi dan stasiun televisi sehingga
mereka bisa menyediakan bacaan maupun tontonan yang cocok dengan kadar usia
penikmatnya.
Hubungan antara suami istri adalah sesuatu yang baik dan
halal, tetapi tentu tidak halal jika dipublikasikan dan ditonton orang banyak.
Sebuah tayangan sinetron sekalipun tidak porno tetapi dengan jalan cerita dan
dialog konsumsi dewasa, menjadi tidak
tepat jika ditayangkan saat anak-anak kecil masih menikmati televisi.
Terkait ini, mungkin penerbit, rumah produksi film televisi
atau sinetron perlu mempertimbangkan pemberian label usia sebagaimana tercantum
pada mainan anak dan film layar lebar. Minimal sebagai pertanggungjawaban dan
menjadi rekomendasi bagi orang tua agar jelas mana konsumsi semua umur, remaja,
dan dewasa.
Di luar itu, ada hal lain yang lebih besar dan seharusnya
menjadi perhatian bersama, yaitu munculnya tayangan yang tergolong pornoaksi
dalam beberapa iklan di televisi yang berulang-ulang sehingga cukup mengganggu
banyak pemirsa TV. Juga masih adanya buku-buku yang—bahkan dengan standar moral
paling sederhana—jelas mengandung pornografi, beredar di toko buku dan cukup
mencolok perhatian. Tapi anehnya, baik media maupun orang per orang tak sedikit
pun mengusiknya apalagi berani memberi stigma porno.
Sementara itu, di toko-toko buku besar di Paris, saya
menemukan betapa negara yang menjunjung tinggi kebebasan itu meletakkan
buku-buku dengan muatan erotis dalam satu rak tersendiri, yang terpisah, dan
dengan label yang jelas.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar