"Kalau sampai besok tukang susu nggak datang juga,
jangan-jangan dia teroris!"
Kalimat 'si Mbak' yang sudah mendampingi keluarga selama 12
tahun itu sontak membuat kami yang sedang menyantap sarapan pagi tercengang.
Pengantar susu langganan memang tinggal di Beji, lokasi yang belum lama ini,
terjadi ledakan hebat di rumah warga terduga teroris di daerah itu. Satu orang
yang berada paling dekat dengan ledakan--belakangan diketahui sebagai peracik
bom tersebut--meninggal dunia beberapa hari kemudian.
Dan yang mencengangkan adalah betapa mudah asisten rumah
tangga kami membuat kesimpulan. Hanya karena di Beji ditemukan terduga teroris,
ia menganggap semua orang di sana sebagai tersangka teroris, termasuk
mencurigai tukang susu langganan.
Dugaan itu bertahan. Apalagi setelah satu hari berlalu dan
sosok pengantar susu sapi dan susu kedelai itu tidak juga terlihat. Prasangka
yang kemudian menulari anak-anak. "Benar tukang susu kita teroris,
Bunda?"
Saya dengan segera membantah. Terlalu dini, bahkan cenderung
menjurus ke fitnah, membuat tuduhan tanpa landasan serupa itu. Memasuki hari
kedua, tukang susu belum juga muncul. Si Mbak makin yakin dengan dugaannya.
Di hari ketiga, bel rumah berbunyi. Seperti biasa Mbak kami
keluar dan melihat siapa yang datang. Tak lama perempuan berusia tiga puluhan
asal Tegal itu muncul dengan wajah sumringah, "Ternyata bukan teroris,
Bunda. Nih tukang susunya datang."
Si Mbak mengangkat tinggi-tinggi dua plastik berisi cairan
berwarna putih dan berlalu. Ungkapan Mbak di rumah kami, sepintas terkesan
sederhana dan lugu. Tetapi, justru cara berpikir seperti itu yang kemudian
dilakukan sebuah stasiun TV swasta dengan narasumbernya.
Hanya karena meyakini satu atau dua teroris pernah menjadi
anggota Rohis ketika sekolah, lalu mengasumsikan Rohis sebagai salah satu
tempat perekrutan teroris.
Pertama, mengetahui tayangan yang menuai banyak protes
masyarakat itu, benak saya langsung berhitung. Bayangkan, jika di setiap satu
sekolah, ada 50 hingga seratus anggota Rohis, jika dikalikan jumlah 20 ribuan
SMP dan 10 ribuan SMA di Indonesia, jumlah anggota Rohis bisa mencapai ratusan
ribu, bahkan jutaan dengan para alumninya. Lalu, bagaimana mungkin hanya karena
diasumsikan ada satu-dua orang di antaranya terekrut jaringan teroris, kita
lantas menyimpulkan organisasi yang memiliki ratusan ribu orang itu sebagai
satu media perekrutan dan kaderisasi teroris.
Saya tidak bisa mengerti metode apa yang digunakan untuk
membuat kesimpulan dangkal seperti itu. Apakah ada metode yang membenarkan jika
satu orang Jawa jadi teroris, kita boleh mengatakan Jawa adalah tempat lahirnya
generasi teroris? Pemikiran yang menganggap semua tak ada bedanya seperti ini,
teramat sangat berbahaya. Ini yang mengakibatkan banyak muslim menjadi korban
penganiayaan--ditambah pula sikap paranoid akut dari orang atau kelompok
tertentu yang memang alergi terhadap Islam--hanya karena perilaku segelintir
muslim lainnya.
Mengapa ketika seorang mahasiswa Korea di Amerika secara
brutal menembak hingga menimbulkan banyak korban, tidak ada yang menuduh Korea
sebagai tempatnya psikopat? Atau sewaktu warga lokal Norwegia membantai puluhan
orang, tidak seorang pun mengatakan bangsa tersebut suka membantai. Terakhir
penembakan brutal di gedung bioskop di Amerika, pun pada titik itu kita bisa
dengan adil melihat bahwa peristiwa tragis itu merupakan aksi individu.
Perlu kehati-hatian untuk membedakan aksi perseorangan
dengan kelompok dan tidak mudah mengaitkan dengan kelompok lainnya. Apalagi
kemudian memublikasikannya secara luas. Akibat tayangan itu, BlackBerry
Messenger (BBM) penuh dengan imbauan protes, juga ajakan melaporkan ke KPI. Belum
jumlah mention di Twitter maupun tag di Facebook untuk menggalang aksi bersama
menuntut media tersebut meminta maaf, bahkan dibubarkan.
Tetapi, saya baru-baru ini bertemu dengan sekelompok anak
muda--mantan aktivis Rohis--yang uniknya memberi respons berbeda. Mereka tidak
menghujat atau memaki, tetapi memilih untuk melawan dengan lagu. Melodinya
mudah diingat. Liriknya sederhana, tapi mengembalikan senyum di wajah saya.
Senyum yang jika boleh, ingin saya bagi kepada semua aktivis dan alumni Rohis
yang kemarin sempat terlukai, juga kepada siapa saja:
Aku anak Rohis
Selalu optimis
Bukannya sok narsis
Kami memang manis.
Kami aktivis, benci anarkis
Walau kantungku tipis, bukan teroris.
Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar