Membaca buku Rosihan Anwar
(1922-2011) berjudul Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia (1971), tidak
dapat dipungkiri, ada sejumlah gagasan “Islamisasi” pemahaman sejarah
Indonesia, yang menarik untuk disimak.
Simaklah sebagian kutipan buku yang
sebenarnya kumpulan nasehat Rosihan kepada putrinya tersebut:
“…Bahkan Rupert Emerson dan Fred
von der Mahden melihat adanya interrelasi antara hubungan agama dengan
nasionalisme di Burma dan Indonesia. Gerakan kebangsaan di Burma dipelopori
oleh Young Men’s Buddhist Association, begitu juga gerakan nasionalisme
Indonesia yang dipelopori oleh orang-orang Islam. Budi Utomo memang merupakan
sebuah gerakan nasionalis, sama seperti Nationale Indische Partij yang dipimin
Douwes Dekker alias Dr. Setia Budi, tetapi gerakan-gerakan itu kecil. Dan,
SI-lah gerakan kebangsaan-keagamaan yang pertama dengan anggota-anggotanya yang
mencapai 2 juta orang ada saat itu, dan mempunyai organisasi massa yang berakar
di kaum petani atau apa yang dinamakan George Kahin “the first peasant-based
mass organisation. Inilah yang harus kau ingat selalu, Aida Fathya, bahwa
pelopor gerakan nasionalisme yang menentang kolonialisme dan imperialisme
Belanda ialah Islam.”
Gambar Ilustrasi Raden Patah
Pesan penting Rosihan dalam buku
ini adalah, Islam sebagai pelopor kebangkitan nasional dan pelopor dalam
pembebasan Indonesia dari penjajahan. Tidak dapat
disangkal, para sejarawan dan tokoh-tokoh Islam telah banyak mengungkapkan
kejanggalan penulisan dan pengajaran sejarah di Indonesia, khususnya terkait
dengan Islam. Secara sistematis, ditemukan upaya untuk mengecilkan peran Islam
dalam sejarah kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia.
Buya Hamka, dalam Tafsir
al-Azhar, sudah menunjukkan kejanggalan pemahaman sejarah Indonesia yang
cenderung mengecilkan Islam. Kata Hamka, ini tak lepas dari strategi misionaris
Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam. Menurut Hamka, seperti tercantum
dalam Tafsir al-Azhar Juz VI, akibat strategi mereka, bangsa Indonesia lebih
mencintai Gajah Mada ketimbang Raden Patah.
Mari tanyakan kepada anak-anak
kita, apakah mereka mengenal Raden Patah, Raja Muslim Pertama di Tanah Jawa dan
putra Raja Majapahit, yang sekaligus santri dari Sunan Ampel?
Anak-anak kita dicekoki sebuah
dongeng bahwa Nusantara pernah disatukan oleh Gajah Mada. Bahwa Kerajaan Hindu itulah yang berhasil menyatukan Nusantara.
Lalu, setelah itu, datanglah Kerajaan Islam dengan Raja-nya Raden Patah dan
didukung para Wali Songo, untuk meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Opini yang
ingin disampaikan kepada anak-anak kita tampaknya: “Islam datang untuk
menghancurkan kejayaan Indonesia yang sudah berhasil dibangun oleh Majapahit!”
Setelah itu –sebagaimana
digambarkan dalam buku-buku pelajaran Sejarah– muncul kerajaan-kerajaan Islam
yang tidak pernah berhasil menjelma menjadi Kerajaan Nasional, sebagaimana
Sriwijaya dan Majapahit. Jadi, Islam digambarkan sebagai faktor yang tidak
kondusif sebagai ”pemersatu Indonesia.”
Padahal, coba tanyakan kepada
mereka, kapan Majapahit benar-benar berhasil menyatukan Nusantara? Dengan cara
apa Majapahit menyatukan Nusantara? Katanya, Gajah Mada pernah bersumpah,
namanya Sumpah Palapa! Apakah sumpah seseorang bisa dijadikan bukti bahwa dia
berhasil mewujudkan sumpahnya?
Prof C.C. Berg, termasuk
sejarawan yang mengkritik upaya pengkultusan dan pemitosan kebesaran Majapahit.
Ia menulis sebuah artikel di Jurnal Indonesiƫ, Maret
1952, No. 5, berjudul ”De Sadeng-oorlog en de mythe van Groot-Majapahit”
(Perang Sadeng dan Mitos Kebesaran Majapahit). Menurut CC Berg, wilayah
Majapahit sejatinya hanya mencakup Jawa Timur dan Madura.
Di tengah arus besar “penyingkiran”
Islam dari peta kebangkitan Indonesia, apa yang dilakukan oleh Rosihan dengan
bukunya ini, merupakan sesuatu yang cukup bermakna. * SUARA HIDAYATULLAH,
SEPTEMBER 2011
Oleh Adian Husaini*
0 komentar:
Posting Komentar