Belakangan ini, kita kerap disuguhi adegan penggerebekan
dan penggusuran. Dua kata tersebut kini telah menjadi ”momok” buat sebagian
masyarakat terutama mereka yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial,
maupun agama.
Para pedagang kali lima, gelandangan, pengemis, WTS,
waria, serta sejumlah ”identitas” masyarakat lainnya kerap jadi obyek tindakan
”main undang-undang” dan juga ”main hakim sendiri”. Nasib mereka seolah-olah
jadi bulan-bulanan pihak aparat ataupun kelompok-kelompok tertentu di negeri yang
konon menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi ini.
Menjamurlah fakta adanya perlakuan sekelompok masyarakat
berpayung ormas keagamaan yang melarang kelompok lain untuk mengekspresikan
diri.
Aksi main gerebek sekelompok umat Islam jelas bukan
representasi sikap umat Islam secara keseluruhan. NU prihatin atas aksi main
hakim sendiri.
Organisasi apa pun di luar kepolisian tak berhak
membubarkan kegiatan yang dinilai menyalahi aturan. Ormas keagamaan mestinya
lebih bijaksana bersikap dan bertindak agar tak terjadi benturan, lebih-lebih
penilaian negatif terhadap agama tertentu. Agaknya ada sesuatu yang ”tidak
beres” di negeri ini menyangkut jaminan keselamatan warga negara dan semangat
tenggang rasa termasuk di lingkungan keagamaan. Tak heran, tindakan penggerebekan
sering menggema atas nama agama sehingga massa mudah tersulut secara herois dan
militan.
Dulu muncul gegeran akibat tesis Huntington tentang
”benturan peradaban”. Namun, benturan ternyata tak hanya seputar arena politik
dan demokrasi. Seturut waktu, ia meluas pada soal kemanusiaan yang lebih
kompleks, seperti perceraian, aborsi, persamaan jender, hak kaum homoseks, dan
prostitusi. Terjadi garis pemisah yang menebal antara nilai modernitas dan
globalisasi dengan sikap keagamaan. Ketegangan ini lazim dirumuskan sebagai
musykilah al-ashalah wa al-hadatsah, ketegangan antara keotentikan dengan
modernitas, yang terlimpah antara desa lawan kota, buta huruf lawan pendidikan,
kepasrahan lawan ambisi, atau kesalehan lawan kemungkaran.
Versi kesalehan kemudian disifati dengan sikap selektif
dan reaktif, didesain untuk memberlakukan kembali nilai dan norma yang
dihubungkan dengan tradisi tak bercacat yang diyakini berlaku pada masa lalu.
Mentalitas kesalehan ini adalah antipermisif dan memperhadapkan secara keras
segala asusila. Ia terpancung untuk melakukan aksi sapu bersih dalam segala hal
termasuk terhadap apa yang disebut penyakit sosial. Yang terjadi kemudian, tak
ada pemisahan antara yang diny (ajaran keagamaan) dan mana yang tarikhi atau
tsaqafi (historis-kultural). Diktum amar ma’ruf nahy munkar lebih ditafsir
sebagai upaya mencari kebenaran dengan kekerasan. Suatu tindakan yang
mengingatkan kembali pada kelompok Khawarij yang muncul pada awal-awal sejarah
Islam.
Fikih Penggerebekan
Apakah boleh menggerebek dan merusak lokasi-lokasi
kemungkaran? Syeikh Ibrahim bin Amir al-Ruhaili dengan tandas mengatakan, tidak
boleh! Bahkan ini termasuk kemungkaran tersendiri. Mengubah kemungkaran dengan
kekuatan tangan merupakan hak waliyul amr (pemerintah). Tindakan melampaui
batas yang dilakukan sebagian orang terhadap tempat maksiat dengan
menghancurkan dan membakar, atau juga pemukulan, merupakan kemungkaran
tersendiri, dan tidak boleh dilakukan.
Para ulama telah sepakat masalah mengingkari dengan
kekuatan tangan merupakan hak penguasa. Sabda Nabi Muhammad, ”Barangsiapa
melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia
tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya.”
Makna kemampuan dalam hadits ini, bukan seperti yang
dibayangkan kebanyakan orang, yaitu kemampuan fisik untuk memukul atau
membunuh, tetapi kemampuan syar’iyah. Yang berhak melakukan, orang yang punya
kemampuan syar’iyah. Yaitu, pengingkaran terhadap mereka tak akan menimbulkan
kemungkaran lain. Orang yang melihat pelaku kemungkaran hendaknya lapor ke
polisi, atau para ulama, atau dai, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang
memiliki wewenang. Dengan penyelidikan saksama akan dapat diatasi dengan cara
yuridis.
Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam
kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’’l Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama
Al-Balad Al-Haram, kekerasan yang tak membuahkan kemaslahatan dan hanya
melahirkan yang lebih buruk tak boleh digunakan karena yang harus dilakukan
adalah dengan hikmah. Penghukuman hanya boleh dilakukan para penguasa. Manusia
biasa hanya bertugas menjelaskan kebenaran dan mengingkari kemungkaran.
Mengubah kemungkaran, lebih-lebih dengan tangan, ini dibebankan kepada para
penguasa. Merekalah yang berkewajiban mengubah kemungkaran sejauh kemampuan
karena mereka yang bertanggung jawab terhadap perkara ini.
Jika seseorang ingin mengubah kemungkaran dengan
tangannya setiap kali melihat kemungkaran, ini akan melahirkan kerusakan. Yang
tepat, harus mengikuti hikmah dalam perkara ini. Kata Syeikh Utsaimin, ”Anda
bisa mengubah kemungkaran di rumah yang di bawah kekuasaan Anda, tetapi
mengubah kemungkaran di pasar dengan tangan, bisa menimbulkan hal yang lebih
buruk daripada kemungkaran tersebut. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya Anda
menyampaikan kepada yang mempunyai kemampuan untuk mengubah kemungkaran di
pasar.”
Hukum yang benar—menyitir Muhammad al-Ghazali, tokoh
Ikhwanul Muslimin Mesir—mesti jadi sarana dakwah Islam, bukan sebagai penopang
fatwa-fatwa parsial yang justru membuat orang-orang Islam sendiri yang berbuat
dosa dan maksiat lari dari tobat dan hidayah. Fatwa sebagai salah satu produk
hukum sesungguhnya tidak mempunyai kekuatan yang mengikat (ghairu mulzimah).
Apalagi, fatwa yang menyeru pada terorisme, kekerasan atau pula aksi gerebek
dan main hakim sendiri jelas akan berbenturan dengan nilai-nilai universal
Islam (al-mashalih al’ammah) yang menjadi tujuan ideal syariat Islam (maqashid
al-syari’ah).
Walhasil, jelaslah hukum Islam telah mengatur segala
tindakan secara bijak dan elok. Prinsipnya, Islam melarang sikap semena-mena.
Pada zaman globalisasi ini, agama sudah sepatutnya mau hidup berdampingan
dengan realitas lain, dan Islam bisa menjadi agama yang ikut menegakkan kemanusiaan
di masa depan.
Said Aqiel Siradj Ketua Umum PBNU
0 komentar:
Posting Komentar