Bulan puasa ini di kita berada di tengah krisis bangsa
yang belum sepenuhnya pulih, karena fenomena penggerusan karakter bangsa, masih
saja terjadi di mana-mana, antara lain merajalelanya korupsi, tindakan
kekerasan dan pemujaan pada kekuasaan dan kekayaan yang semakin tinggi, dan
dalam kehidupan yang semakin materialistis dan hedonis itu, maka kekuasaan dan
kekayaan telah menjadi tujuan hidupnya.
Dalam kehidupan di dunia ini, kita memang membutuhkan
kekuasaan dan kekayaan, karenanya keduanya memang diperlukan untuk mewujudkan
cita-citanya dalam kehidupan yang lebih baik, tetapi dalam prakteknya tidak
selalu demikian, karena kekuasaan dan kekayaan seringkali menjerumuskan
seseorang dalam perbuatan yang tidak terpuji. Karena itu, kekuasaan dan
kekayaan di samping untuk tujuan kebaikan, juga harus diperoleh dengan
cara-cara yang baik pula. Kekuasaan dan kekayaan yang diperoleh dengan
cara-cara yang tidak baik, akan cenderung melahirkan sesuatu yang tidak baik
pula.
Untuk itu, diperlukan kesadaran moral yang tinggi dan
kesadaran moral ini tidak datang dengan sendirinya. Kesadaran moral itu
dibentuk oleh proses pendidikan yang sistematik dan pelatihan yang panjang.
Pendidikan kita sering kali hanya ditekankan pada pembentukan kekuatan
intelektual saja. Akibatnya banyak kaum terpelajar yang dilahirkan dari dunia
pendidikan kita, justru ikut melahirkan orang-orang yang korup dan
menyalahgunakan kekuasaannya, seperti yang terlihat akhir-akhir ini di mana
sebagian pejabat dan politisi kita yang terlibat korupsi adalah mereka yang
berpendidikan tinggi.
Di sisi lain, kehidupan masyarakat kita semakin permisif
sehingga kontrol masyarakat terhadap perbuatan yang tidak baik cenderung
melemah. Hal ini disebabkan beban hidup yang dirasakan masyarakat kita makin
berat, sehingga tidak mempunyai kekuatan lagi untuk melakukannya, karena
energinya sudah terkuras habis untuk mengatasi persoalan hidup dirinya yang
semakin sulit dan kompleks. Untuk mengatasi persoalan dirinya saja susahnya
setengah mati, apalagi untuk mengurusi orang lain. Akibatnya dari elite hingga
rakyat kecil semuanya menjadi egois, hanya mementingkan dirinya sendiri dan
sangat individualistik.
Puasa seperti yang difirmankan Allah dalam Alquran 2:183
menegaskan yang artinya :“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”. Puasa adalah ketakwaan, puasa yang tidak membuat sesorang makin
bertakwa adalah sebuah kesia-siaan belaka, karena mereka hanya mendapatkan haus
dan laparnya puasa saja, tetapi tidak mendapatkan hikmahnya, tidak mendapatkan
berkah, rahmat dan ampunan yang seharusnya didapatkan dengan menjalankan ibadah
puasa.
Sedangkan takwa adalah kemampuan seseorang untuk
mengendalikan dirinya sehingga dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan yang
tidak terpuji, perbuatan kemungkaran, perbuatan yang dibenci Allah, semuanya
itu dapat dilakukan dengan baik semata-mata karena ketakutannya kepada Allah,
karena Allah selalu melihatnya, meskipun dia tidak melihat-Nya. Jadi ketakwaan adalah
karakter seorang yang beriman kepada Allah secara benar. Ketakwaan adalah buah
dari iman dan iman yang tidak melahirkan ketakwaan adalah iman yang dusta dan
sia-sia.
Ketakwaan bagi kita bahkan telah dinyatakan sebagai
salah satu persyaratan untuk kepemimpinan bangsa, di mana seorang pemimpin
bangsa dan pejabat tinggi diharuskan untuk beriman dan bertakwa. Jika seorang
pemimpin bangsa atau pejabat tinggi melakukan korupsi dan penyelewengan
kekuasaan lainnya, maka sebenarnya persyaratan ketakwaan itu hanya formalitas
belaka, tidak ada realitasnya dalam kebijakan dan perbuatannya. Iman dan takwa
adalah persyaratan formal saja, bukan dalam tindakan nyata.
Formalitas persyaratan ini barangkali karena kebanyakan
umat beragama di masyarakat kita sebagian besar hanya bersifat formal dan hanya
menyentuh pada dataran formalisme saja, dengan menjalankan ritual keagamaan
tetapi tidak diikuti dengan perbuatan kesalihan yang konkret. Formalitas
keagamaan ini adalah realitas sosial keberagamaan masyarakat kita pada umumnya.
Tidak heran kalau masyarakat yang dikenal beragama ini, ternyata dapat
melakukan kekerasan atas nama agama, bahkan pengadaan kitab suci pun dikorupnya
pula.
Padahal Alquran memberikan isyarat bahwa formalisme
keagamaan yang tidak menimbulkan kesadaran untuk melakukan pembelaan konkret
terhadap realitas kemiskinan, karena hanya menyentuh aspek luarnya saja, serta
suka pamer kekayaan, maka dapat dikategorikan sebagai pendustaan atas agama
yang dipeluknya. Alquran 107:1-7
menegaskan yang artinya :“tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka
itulah orang-orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong untuk
memberikan makan orang miskin. Maka celakalah
orang yang salatnya melalaikan dan berbuat riya’ dan enggan memberikan
bantuan.
Di tengah bangsa yang sedang dilanda oleh peluruhan
karakter dan penggerusan moralitas dengan maraknya kekerasan dan korupsi, maka
puasa yang dilakukan dengan baik dan benar, sesungguhnya dapat menjadi bekal
dan landasan bagi usaha untuk membangun kembali karaker dalam mengatasi krisis
bangsa. Karena itu, janganlah kita berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan
dahaganya saja, yang lebih penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah
mencapai derajat ketakwaan, sehingga negeri ini mendapatkan berkah dari ibadah
dari puasa kita semua, para pemimpin dan rakyatnya sehingga menjadi negeri yang
aman, adil dan makmur. Semoga kita masih dipertemukan kembali dengan puasa
tahun depan.
setuju
BalasHapus