Sejak Peristiwa 11 September 2001 di WTC New York dan
markas Pentagon Washington DC, pendidikan Islam menjadi sorotan banyak kalangan
Barat. Pendidikan Islam, khususnya madrasah
seperti di Afghanistan, Pakistan, dan Yaman, misalnya, mereka curigai sebagai tempat
persemaian radikalisme dan 'Talibanisme' yang berujung pada terorisme.
Bagaimana lembaga, para pemangku kepentingan, dan
pemerintah negara-negara Muslim merespons perkembangan tersebut? Apakah tekanan
dalam dan luar negeri itu mendorong perubahan dan pembaruan pendidikan Islam?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi topik
pembicaraan dalam Konferensi Reforms in Islamic Education yang
diselenggarakan Pusat Kajian Islam Universitas Cambridge dan Universitas
Edinburgh Inggris 9-10 April 2011.
Konferensi menghadirkan pembahasan tentang berbagai aspek pendidikan Islam,
baik di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan
Mesir, ataupun minoritas Muslim di Inggris, Jerman, Swiss, Belanda,
Bosnis-Hercegovina, Swedia, Amerika Serikat, dan Kanada.
Pendidikan Islam jelas tidak seragam di berbagai
kawasan dunia tersebut; dan sejarah pembaruan dalam pendidikan Islam sangatlah
panjang. Sebagian besar lembaga
pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim mengalami pembaruan jauh
sebelum terjadinya ketegangan antara Barat dan dunia Muslim. Tujuan
pembaruan tidak lain agar membuat peserta didik dan lulusan pendidikan Islam
dapat memiliki pandangan dunia keislaman yang kuat dan pada saat yang sama siap
menghadapi tantangan dunia modern dengan ilmu dan keahlian.
Di banyak kawasan Timur Tengah, pendidikan Islam
sepenuhnya dinasionalisasikan ke dalam sistem pendidikan umum sejak awal
1960-an. Pendidikan formal umum
sepenuhnya berada di bawah kontrol negara. Dengan begitu, tidak ada lagi
sistem dan kelembagaan yang secara khusus dapat disebut sebagai pendidikan
Islam. Jika ada lembaga pendidikan Islam; itu hanya dalam bentuk lembaga
pendidikan 'non-formal' semacam kuttab yang menjadi tempat anak-anak
untuk belajar membaca Alquran.
Sementara itu, di Pakistan dan Afghanistan, pendidikan
Islam-khususnya madrasah-tetap berada di luar sistem pendidikan nasional dengan
ideologi dan kurikulumnya sendiri. Usaha
negara mereformasi madrasah tidak pernah berhasil, sehingga ia tetap sepenuhnya
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama sesuai ideologi para pemilik dan pengasuhnya.
Karena itulah, madrasah semacam ini sangat rentan menjadi tempat bagi
sektarianisme keagamaan yang kian sulit terselesaikan.
Pada saat yang sama, pendidikan Islam yang terus
tumbuh di banyak negara Barat sejak di Eropa dan Amerika Utara berjuang untuk
mendapat pengakuan negara sehingga para lulusannya dapat melanjutkan mobilitas
pendidikan mereka. Untuk itu,
mereka harus mengadopsi kurikulum dan standar pendidikan negara Barat setempat.
Jika memenuhi syarat, lembaga pendidikan Islam tersebut bisa mendapat biaya
sepenuhnya atau setidaknya subsidi dari pemerintah bersangkutan seperti berlaku
di Inggris dan Belanda.
Sedangkan di Indonesia pendidikan Islam terintegrasi
ke dalam arus utama pendidikan nasional-menciptakan dua sistem paralel, di mana
pendidikan Islam berjalan sejajar dengan pendidikan umum. Sistem paralel ini membuat pendidikan Islam setara
dengan pendidikan umum, yang memungkinkan terjadinya mobilitas pendidikan lebih
luas bagi para peserta didiknya. Bahkan, lembaga pendidikan Islam formal ini
juga dilengkapi dengan lembaga pendidikan nonformal di luar waktu sekolah
semacam diniyah; memperkuat penanaman nilai-nilai Islam kepada generasi muda
Muslim.
Bagi saya yang berbicara dalam panel dengan Tariq
Ramadan, guru besar di Universitas Oxford dan Michael S Merry, guru besar
Universitas Amsterdam yang banyak meneliti pendidikan Islam di Eropa dan
Amerika Utara, pendidikan Islam Indonesia lebih menjanjikan dibanding
negara-negara lain, bahkan di dunia Arab sekalipun. Sistem pendidikan
Islam Indonesia bahkan bisa disebut sebagai terbesar di seluruh dunia sejak
dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Cakupan substansi dan kurikulumnya
hampir mencakup seluruh bidang ilmu keislaman, baik yang bersumber dari
ayat-ayat Qur'aniyyah maupun ayat-ayat kauniyah.
Tidak kurang pentingnya lebih dari 70 persen lembaga
pendidikan Islam tersebut berada di tangan komunitas dan yayasan umat Islam
sendiri. Sisanya ada di tangan pemerintah. Ini menunjukkan 'independensi' umat
baik dalam pendanaan dan penyelenggaran pendidikan Islam-meski banyak juga
lembaga pendidikan Islam swasta ini berjalan 'seadanya'. Tetapi pada pihak
lain, peningkatan kemampuan ekonomi umat, juga telah memungkinkan munculnya
madrasah, sekolah Islam, pesantren, dan perguruan tinggi Islam swasta yang
bermutu kian baik. Dengan begitu, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini kian
membaik pula citranya-dan bahkan tidak jarang menjadi simbol status sosial.
Azyumardi Azra
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar