Perilaku Keagamaan dan Filsafat Berbangsa


Tentang Perilaku Keagamaan
Perilaku keagamaan pada umumnya merupakan cerminan dari pemahaman seseorang terhadap agamanya. Jika seseorang memahami agama secara formal atau menekankan aspek lahiriahnya saja, seperti yang nampak dalam ritus-ritus keagamaan yang ada, maka sudah barang tentu juga akan melahirkan perilaku keagamaan yang lebih mengutamakan bentuk formalitas atau lahiriahnya juga. Padahal substansi agama sesungguhnya justru melewati batas-batas formal dan lahiriahnya itu. Dalam Islam, seperti yang ditegaskan kitab suci Alquran 107 yaitu surat al-ma'un tentang siapakah sesungguhnya pendusta agama? yaitu mereka yang menjalankan salat tetapi merela lalai dari makna hakiki salatnya, mereka melupakan makna sosial salatnya, untuk memberikan keselamatan dan memperhatikan nasib pada mereka yang ada di sekitarnya, yaitu mereka yang dalam salatnya melupakan nasib anak yatim dan tidak mau memberikan makanan kepada orang-orang miskin, suka pamer dan tidak mempunyai kepedulian sosial.

Problem kemiskinan dan konflik kekerasaan keagamaan serta komunalisme yang akhir-akhir ini merajalela dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, antara lain disebabkan oleh kuatnya pemahaman di kalangan umat beragama yang lebih menekankan formalisme keagamaannya. Dalam pandangan keagamaan yang formal, maka antara minna yaitu kita yang sekeyakinan agamanya, dengan minhum yaitu mereka yang berbeda keyakinan agama, ada dinding pembatas yang amat tegas yang memisahkannya, bahkan seringkali bermusuhan, sehingga adanya pandangan kesatuan kemanusiaan yang universal dalam agama, hampir tidak dimungkinkannya, karena satu kelompok agama dengan kelompok agama yang lainnya, bisa saling berebut wilayah keagamaan dan umat binaan yang seringkali menimbulkan konflik kekerasaan yang berdarah-darah.

Dalam realitas kehidupan sosial, pemahaman seseorang terhadap suatu agama sesungguhnya berlangsung secara gradual. Dalam Islam dikenal ada tiga tahapan pemahaman, yaitu:
1.      Tahapan iman, yaitu suatu tahapan pemahaman keagamaan yang berlandaskan pada logika teologis yang menetapkan perlunya suatu pandangan ketuhanan yang menjadi sumber bagi sikap dan pandangan hidupnya dalam menghadapi berbagai tantangan yang makin kompleks. Pandangan ini diperlukan sebagai landasan kebenaran dan pembenaran bagi perilakunya. Tanpa landasan kebenaran yang teologis, maka seseorang akan mengalami kebingungan dan kegoncangan dalam kehidupannya sehingga jatuh pada keyakinan anti Tuhan, atheisme. Hampir semua agama memulai pemahaman keagamaan yang dipeluknya dari logika teologis ini.
2.      Tahapan Islam, yaitu tahapan pemahaman keagamaan di mana seseorang telah mengikatkan dirinya pada pandangan etika dalam syariat yang mengatur ketat terhadap perilaku keagamaan yang dianutnya. Di sini aturan etika yang menjadi standar perilaku keagamaan ditetapkan secara jelas dan detail, yang menyangkut apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Konsep halam dan haram begitu jelasnya, sehingga batas perilaku yang boleh dan tidak boleh, menjadi standar penilaian untuk menetapkan siapa yang minna dan siapa pula yang minhum. Bahkan ini berlaku baik dalam kehidupan internal dari aliran-aliran keagamaannya sendiri, maupun bagi kehidupan keagamaan yang eksternal sifatnya. Dalam tahapan pemahaman terhadap etika keagamaan itu, maka perilaku keagamaan menjadi kaku dan rigid dan akibatnya seseorang terjebak pada aturan-aturan yang kaku, yang cenderung anti realitas, anti perubahan dan menolak pluralisme.
3.      Tahapan Ihsan yaitu tahapan pemahaman keagamaan yang telah mampu melewati batas-batas logika teologis dan etis, sehingga seseorang menemukan hakikat keagamaannya itu dalam kedalaman dirinya yang terbuka dengan realitas, dapat menerima dan memahami terhadap pluralitas dengan pandangan yang lebih substansial yang membuat dirinya menjadi lebih arif dan merasakan keindahan dari realitas yang beraneka-ragam, sehingga menjadi proses pengkayaan spiritual yang tidak pernah berakhir. Pada tahapan ihsan ini, maka agama telah membawa pemeluknya untuk menemukan dirinya kembali dalam kebebasan yang substansial berhadapan dengan Tuhan yang memuliakan dirinya melalui perilakunya dalam memuliakan makhluk Tuhan lainnya. Logika teologis dan etis itu bersemayam dalam kedalaman dirinya sendiri yang eksistensial dan aktual, bukan sesuatu yang ada di luar dirinya.

Logika teologis dan etika keagamaan yang formal telah menemukan puncaknya pada pembebasan dirinya dalam pengalaman estetika keagamaan yang substansial. Keanekaragaman dan kemanusiaan universal telah mengantarkan seseorang menjadi lebih arif dalam memandang kebenaran, kemanusiaan dan keanekaragaman, bukan sebagai sesuatu yang terpisah-pisah dan terpecah-pecah, tetapi merupakan kesatuan yang estetik. Pendidikan agama seharusnya tidak boleh berhenti pada suatu tahapan tertentu saja, tetapi dikembangkan sehingga dapat mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan dirinya dalam puncak pengkayaan spiritualitas yang kreatif untuk berhadapan dengan Tuhan yang Maha Kreatif, sehingga terjadi dialektika kreatif dalam menciptakan karya kemanusiaan dan penguasaan sain dan teknologi yang tinggi untuk memajukan suatu peradaban suatu bangsa.

Tentang Filsafat Berbangsa
Berbangsa adalah kesadaran dari suatu individu untuk berada dalam realitas kehidupan sosial dari suatu bangsa, yang di dalamnya selalu ada pluralitas, konflik dan perubahan. Suatu bangsa di mana pun di dunia ini, di dalamnya selalu ada pluralitas yang bertumpu pada adanya keanekaragam dalam setiap individu itu sendiri yang ada di dalamnya. Hakikat suatu bangsa adalah adanya realitas individu-individu, dan hakikat individu itu unik, sehingga satu individu dengan individu lainnya selalu berbeda, baik dalam berpikir, berperilaku maupun dalam pengalaman hidupnya. Pada dasarnya dalam setiap individu itu semuanya berbeda dan tidak pernah seragam. Bahkan individu yang kembar dan keluar dari ibu dan ayah yang sama, sehingguhnya juga berbeda, meskipun mempunyai akar sejarah yang sama yang menunjuk pada ibu dan ayah yang sama pula.

Berbangsa adalah penegasan kesadaran individu terhadap adanya pluralitas dalam realitas kehidupan bangsa. Hal ini disebabkan karena kenyataan kehidupan sosial selalu menunjukkan adanya pluralitas sebagai suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolaknya. Adanya pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara otomatis akan melahirkan adanya konflik, sehingga konflik adalah menjadi keniscayaan dalam pluralitas yang selalu ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, konflik tidak bisa dihindari, tetapi harus dimenej dan dikelola sebagai pendorong bagi lahirnya bentuk-bentuk sintetik baru yang lebih baik, lebih cerdas dan lebih manusawi. Konflik dalam berbagai bentuknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, tidak boleh menjadi proses penghancuran terhadap eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi harus menjadi kekuatan perekat yang bersifat dialektik bagi lahirnya kreatifitas bangsa dalam menemukan bentuk-bentuk sintetik baru.

Konflik adalah fenomena permanen yang memerlukan adanya kemampuan bangsa dalam mengelolanya. Karena itu, diperlukan tingkat kematangan pemikiran yang memadai dan kemampuan intelektual yang matang untuk menerima berbagai ragaman pluralitas, sehingga konflik menjadi kekuatan yang positif dan konstruktif, bukan kekuatan yang negatif dan destruktif . Di sini peranan pendidikan menjadi amat penting, karena tanpa pendidikan yang memadai, konflik cenderung destruktif. Di samping itu, dalam mengelola konflik juga diperlukan tingkat kesejaheraan hidup yang cukup, sehingga konflik bukan karena disebabkan alasan kebutuhan untuk makan dan mencari uang, tetapi menjadi kekuatan peradaban yang akan meneguhkan eksistensi bangsa di tengah-tengah peradaban dunia.

Dengan adanya pluralitas dan konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan sendirinya akan selalu terjadi perubahan yang terus menerus. Ada pergerakan untuk maju dan melampui batas-batas kapasitasnya terus menerus. Perubahan pada hakikatnya adalah jalan untuk mempertahankan eksistensi berbangsa dan bernegara. Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, menolak perubahan pada hakikatnya menolak kehidupan itu sendiri, sehingga adanya kekuatan status quo yang menolak suatu perubahan atau anti perubahan, pada akhirnya akan berhadapan dengan hukum kehidupan yang tidak mungkin ditolaknya. Filsafat berbangsa adalah filsafat yang menegaskan bahwa eksistensi suatu bangsa terletak pada adanya penghormatan yang tinggi terhadap pluralitas, konflik dan perubahan. Tanpa adanya penghormatan terhadap pluralitas, konflik dan perubahan, maka sesungguhnya tidak ada kesediaan untuk berbangsa.
Perilaku Agama Bagi Bangsa
Perilaku keagamaan yang dapat memperkuat eksistensi bangsa adalah perilaku keagamaan yang dapat mendidik umat beragama untuk dapat menghormati adanya pluralitas, konflik dan perubahan, bukan perilaku keagamaan yang tidak mampu menghormati pluralitas, sehingga konflik berkembang ke arah yang destruktif dan menjadi kekuatan yang anti perubahan.

Dalam tahapan ini, maka institusi agama seharusnya dibebaskan dari belenggu politik praktis yang bertujuan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan bagi-bagi kekuasaan yang ujung-ujung adalah bagi-bagi uang yang cenderung korup, dan pada akhirnya akan menjadi proses pembusukan bagi institusi agama itu sendiri. Institusi agama akan jatuh di bawah kekuasaan politik praktis. Fenomena ini terlihat ketika para tokoh agama terseret dalam tindakan politik praktis, mendirikan partai politik untuk ikut memperebutkan kekuasaan, dan menjadi kepentingan dari kekuasaan, dan akhirnya menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri.

Konflik kekerasaan yang menyeret agama, sesungguhnya terjadi karena adanya konflik politik dan ekonomi, yang kemudian memanipulasi agama untuk menjadi alat legitimasinya. Akibatnya konflik terjadi dengan memanipulasi konsep keagamaan yang memberikan batas yang tegas antara minna dan minhum. Konsep minna dan minhum ini dipertegas dan dipertajam oleh logika telologis dan etis, sehingga dapat memainkan psikologi massa dan dapat mengaduk-aduk emosi massa untuk bertindak brutal.

Dalam situasi Indonesia seperti yang sekarang ini, dimana kehadiran pemerintah tidak terlalu kuat dan efektif, dengan demokrasi yang dikontrol kekuatan kapital, maka telah memungkinkan komunalisme bergerak atas nama faham keagamaan tertentu dengan mempertajam adanya kesenjangan sosial, kemiskinan dan pengangguran yang makin meluas, serta ketidak-adilan hukum yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil, maka dipastikan terjadi konflik kekerasaan yang berdarah-darah atas nama faham keagamaan.

Situasi sosial dan politik akan mengantarkan kehidupan bangsa ke dalam jurang kekacauan dan anomali nilai-nilai dan perilaku semakin merajalela, ketika insitusi keagamaan juga telah jatuh dan dikuasai oleh kekuatan kapital, sehingga pelaksanaan demokrasi justru mempertajaman kesenjangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya dan agama, sehingga akan menjadi proses pembusukan kehidupan bangsa oleh demoralisasi politik kekuasaan, dan akhirnya akan berujung adanya revolusi sosial sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, baik di Yunani, di dunia Islam, bahkan di Barat ketika dikuasai oleg kekuasaan gereja di abad pertengahan.

Jika fenomena sosial di atas ini terus terjadi, maka akibatnya eksistensi bangsa akan mengalami peluruhan dan penghancuran, karena eksistensi bangsa itu akan tercabik-cabik oleh konflik kekerasaan atas nama faham keagamaan. Penyelesaiannya tentu tidak bisa hanya dengan pendekatan militer dan kekuasaan, tetapi harus disertai dengan kemampuan untuk menyelesaikan akar masalahnya, yaitu mengatasi kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, ketidak-sejahteraan dan pendidikan.

Karena itu, harus ada kesediaan bangsa ini untuk berani memikirkan ulang terhadap tata kehidupannya sendiri secara fundamental, apakah demokrasi yang telah disandera oleh kekuatan kapital yang terjadi sekarang ini akan diteruskan sehingga akan melahirkan revolusi sosial? Apakah kesediaan untuk menghormati pluralitas kebangsaan masih cukup kuat untuk dapat menjaga keutuhan eksistensi bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? Akankan kita biarkan pendidikan aliran keagamaan yang cenderung menolak pluralisme dan multi-kulturalisme yang menjadi pilar penyangga utama bagi kehidupan bangsa akan mencabik-cabik persatuan bangsa? Akan mampukah kita mempertahankan NKRI di tengah proses pemiskinan bangsa dalam berbagai aspeknya disertai adanya ketidak-adilan sosial di mana-mana?

0 komentar:

Posting Komentar