Pancasila, Persepsi, dan Ketuhanan



Ketika firman Tuhan diturunkan melalui seseorang yang dipilih-Nya, kemudian diikuti sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat, firman itu melembaga menjadi agama. Ia kemudian berkembang menjadi institusi sosial yang hidupnya bertumpu pada kekuatan solidaritas sosial para pemeluknya.

Pada saat agama telah menjadi  institusi sosial, dengan sendirinya melibatkan diri dalam dinamika pluralitas,  konflik dan perubahan yang terus menerus. Akibatnya agama sebagai institusi sosial terlibat dalam konflik kepentingan politik dan kekuasaan yang seringkali mengambil bentuk kekerasan, baik secara internal dalam kehidupan agamanya sendiri, maupun secara eksternal  dalam kehidupan berbagai agama yang ada dalam masyarakat.

Karena itu, dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai kemiskinan, ketidak-adilan dan kesenjangan yang tajam, radikalisme keagamaan sebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial melawan kesenjangan  ekonomi dan politik yang ada. Di sinilah kemutlakan agama dijadikan landasan melakukan perlawanan sosial terhadap kesenjangan ekonomi dan politik yang memicu kekerasan sosial.

Teologi dan Kekerasan
Tuhan fundamental dalam kehidupan agama. Agama tanpa Tuhan bukan agama lagi, tetapi Tuhan bukan agama itu sendiri, karena Tuhan tidak pernah beragama yang mana pun.  Tuhan menjadi sumber agama yang mana pun juga.

Dalam konteks kebertuhanan, peranan persepsi sangat besar, karena setiap orang yang beragama akan selalu mempersepsikan tentang Tuhannya yang jadi sandaran dari agama yang dianut. Jikalau persepsi orang itu berbeda-beda tentang Tuhan, apakah bisa diartikan bahwa Tuhan itu berbeda-beda, dan dengan demikian dapatkah dikatakan bahwa apakah Tuhan itu banyak?

Meskipun suatu keniscayaan, persepsi sebenarnya relatif, karena sangat subyektif: tergantung dari mana melihatnya dan kapan. Persepsi seseorang terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Hanya realitas artifisial yang dikonstruksikan. Maka ada dua realitas:  realitas itu sendiri yang otonom, dan realitas yang dibangun  dalam persepsi seseorang terhadap realitas.

Dalam realitas kehidupan sosial keagamaan, persepsi tentang Tuhan itu, telah menjadi realitas fenomenal yang meluas. Setiap orang beragama dan komunitas agama memersepsikan Tuhannya sendiri-sendiri. Akibatnya persepsi tentang Tuhannya berbeda-beda. Nama Tuhan-nya bisa sama, tetapi isi kesadaran yang dibentuk oleh persepsinya tentang Tuhan sebenarnya berbeda satu sama lain.
Adanya persepsi tentang Tuhan boleh dan sangat wajar. Namun, menganggap bahwa persepsinya tentang tuhan itu patut dipertanyakan kebenarannya. Tuhan sesungguhnya berbeda dengan tuhan yang dipersepsikannya. Persepsi tentang tuhan  bukan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan itu tidak terbatas, sedangkan persepsi bersifat terbatas. Keterbatasan persepsi seseorang membuat keterbatasan menkonstruksi ketidak terbatasan menjadi terbatas.

Yang kemudian menjadi masalah:  ketika persepsi seseorang tentang Tuhan itu dianggap Tuhan dan dimutlakkan kebenarannya. Sesungguhnya Tuhan tidak bisa dimonopoli oleh siapa pun:  kyai, pendeta, pastur atau siapa pun. Dalam kenyataan sejarah, perang dan kekerasan dalam kehidupan internal agama atau pun dalam kehidupan eksternal agama terjadi karena masing-masing memperebutkan tuhan persepsi yang ia mutlakkan. Mereka sesungguhnya berperang bukan untuk Tuhan, melainkan untuk persepsi mereka saja.

Dalam Pancasila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya berada di atas Tuhan Persepsi, karena Tuhan Yang Maha Esa telah melintasi batas-batas Tuhan dalam suatu agama. Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan yang ada dalam semua agama dan diakui oleh semua agama. Bukan lagi Tuhan persepsi, tetapi sudah menjadi pengalaman kebertuhanan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa itu kehilangan makna dan kekuatannya, ketiga terjatuh dalam Tuhan Persepsi. Itulah yang lalu memengaruhi  dan membentuk perilaku keagamaan seseorang dalam hidup berbangsa dan bernegara: orang lain yang berbeda persepsi tentang Tuhan dianggap salah dan sesat.

Radikalisme keagamaan yang memicu dan memacu konflik kekerasan  melawan kesenjangan ekonomi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesungguhnya bermula dari Tuhan persepsi ini. Harus ada ketegasan Negara meletakkan sila pertama Pancasila  bukan sebagai Tuhan persepsi, tetapi sebagai Tuhan Persepsi, melainkan sebagai Tuhan empirik yang menjadi praktek hidup nyata dalam berkemanusiaan yang adil dan beradab, mewujudkan persatuan Indonesia, dan melaksanakan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan serta dalam perilaku berkeadilan sosial.

Jika tak mampu tegas, Negara akan terseret dalam konflik Tuhan persepsi yang berdarah-darah dan  kian sulit untuk menjadikan sila-sila berikutnya dalam praktek hidup berbangsa dan bernegara secara aktual dan konkret.


Musa As'arie

0 komentar:

Posting Komentar