Hermeneutika yang semula lahir akibat polemik teks Bible
yang dianggap banyak masalah, kini, secara latah dicoba untuk mengkritik
Al-Qur’an dan meragukan mushaf Usmani. Baca CAP Adian Husaini ke-48 Majalah
Gatra, edisi 3 April 2004 menurunkan laporan cukup panjang tentang fenomena
kajian hermeneutika di kalangan perguruan Islam di Indonesia. Disebutkan, dua
perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Islam Negeri Jakarta dan IAIN
Yogyakarta sudah mengajarkan mata kuliah Hermenutika untuk mahasiswanya. Laporan
Gatra itu menarik untuk dicermati, di tengah-tengah hingar bingar pemilu 2004.
Mengapa? Sebab, fenomena ini menunjukkan, betapa lemahnya pertahanan kaum
Muslim dalam aspek yang sangat strategis, yakni cara pemahaman (epistemologis)
terhadap sumber utama Islam, yakni al-Quran.
Laporan Gatra mengulas terbitnya satu majalah pemikiran
dan peradaban Islam, ISLAMIA, awal Maret 2004, yang nomor perdananya mengulas
secara mendalam masalah hermeneutika.
Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bible,
yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat
menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim,
kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai
alternatif dari metode pemahaman al-Quran yang dikenal sebagai “ilmu tafsir”.
Jika metode atau cara pemahaman al-Quran sudah mengikuti
metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan,
bagaimanakah masa depan kaum Muslim di Indonesia? Pertanyaan ini perlu disampaikan,
kepada kita semua, termasuk kepada para politisi Muslim, yang sedang aktif
menggalang dukungan suara untuk partai dan dirinya. Bahwa, ada kanker ganas
yang sedang bekerja sangat cepat menggeregoti organ-organ vital kaum Muslimin.
Apakah hermeneutika dapat diadopsi untuk menggantikan
tafsir al-Quran? Sebuah ulasan ringkas dan komprehensif tentang hermeneutika
dan al-Quran disusun oleh Syamsuddin Arif, kandidat doktor bidang pemikiran
Islam di ISTAC-IIUM, yang sedang melakukan penelitian di Johann Wolfgang
Goethe-Universitet, Frankfurt am Main, Jerman. Syamsuddin Arif termasuk salah
satu cendekiawan Muslim langka yang kini dimiliki kaum Muslim. Selain menguasai
bahasa Arab dan Inggris dengan fasih, lisan dan tulisan, alumnus Pondok Gontor
ini juga menguasai bahasa Latin dan Yunani. Di Jerman, di tengah-tengah
kesibukan penelitiannya, sedang menekuni bahasa Hebrew dan Syriac.
Catatan Syamsuddin Arief yang dikirimkan kepada saya
berikut ini sangat menarik dan penting untuk dicermati, mengingat, bahwa biasanya,
banyak pemikir dan tokoh Islam, sangat peduli dengan wacana pemikiran Islam
yang terkait dengan aspek fiqih dan politik, seperti isu perkawinan antar agama
atau masalah penerapan syariat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tetapi, jarang sekali yang peduli atau memahami masalah-masalah
kajian metodologis atau epistemologis yang sebenarnya lebih mendasar dan
berdampak besar dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia di masa depan.
Contohnya masalah hermeneutika. Tampak, bagaimana banyak
ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia, terlambat memahami masalah yang
sangat fundamental tersebut. Padahal, beberapa institusi pendidikan Islam sudah
mengajarkan hermeneutika sebagai alternatif bagi metode penafsiran al-Quran
yang selama ini dikenal olen umat Islam pada umumnya. Bahkan, sekarang sudah
banyak muncul cendekiawan dan tokoh-tokoh organisasi Islam, yang begitu
bersemangat menyebarkan dan mengajarkan hermeneutika, dengan menyerukan agar
metode tafsir ‘klasik’ al-Quran tidak digunakan lagi.
Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim
dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau
menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah
ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab
setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.
Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala
umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi
pemahaman al-Quran dan al-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban
asing. Gerakan ‘impor pemikiran’ semakin gencar dilakukan, terutama oleh
kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki
sikap ‘teliti sebelum membeli’ gagasan-gagasan impor yang sebenarnya
bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang
Muslim. Salah satu produk asing tersebut adalah “hermeneutika”, yang belum lama
ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional “Hermeneutika al-Qur’an:
Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci” di sebuah perguruan Tinggi. Konon
tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al-Qur’an’
yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di
Indonesia khususnya. Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat
(everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene Muslim itu
menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika
dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional
yang dituduh ‘ahistoris’ (mengabaikan konteks sejarah) dan ‘uncritical’ (tidak
kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat
dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis
yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan
Kristen.
Istilah dan Sejarahnya
Secara etimologi, istilah “hermeneutics” berasal dari
bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang
berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan.
Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata “Hermes”, yang dalam mitologi
Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan
pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata
“hermeneias” berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari
itu.
Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih
sering menggunakan istilah ‘interpretatio’ untuk tafsir, bukan ‘hermeneusis’.
Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul “De optimo genere interpretandi”
(Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium
menulis “De interpretatione divinae scripturae” (Tentang Penafsiran Kitab
Suci). Adapun pembakuan istilah ‘hermeneutics’ sebagai suatu ilmu, metode dan
teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad
ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, ‘hermeneutics’ biasanya dikontraskan
dengan ‘exegesis’, sebagaimana ‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’.
Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang
konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik
penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi ‘hermeneutika umum’
(General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan
terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks.
Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk
“membebaskan tafsir dari dogma”, ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam
perspektif hermeneutika umum, “semua teks diperlakukan sama,” tidak ada yang
perlu di-istimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia
biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan ‘historisitas teks’ dan
pentingnya ‘kesadaran sejarah’ (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca
teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks
sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati
‘jarak sejarah’ antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu
teks ditentukan oleh kemampuan kita ‘mengalami kembali’ (Nacherleben) dan
menghayati isi teks tersebut.
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat
filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang
Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger.
Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic
circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks,
praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula
rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah
dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur
jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman.
Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah
relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas
pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif
tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks.
Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai
manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang
mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.
Asumsi dan Implikasinya
Dengan latarbelakang seperti itu, hermeneutika jelas
tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama,
hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya
manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang
semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan
manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata
didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah
kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur’an, hermeneutika
otomatis akan menolak status al-Qur‘an sebagai Kalamullah, mempertanyakan
otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai
‘produk sejarah’---sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat
sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang
kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan
pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas).
Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap
skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus
terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana
makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang
telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu
Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption
and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses
transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk
menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar,
semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang
lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat)
tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan
melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali
(liar).
Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran
Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran
satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu
agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu,
dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor
juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth
claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebanaran. Pada tataran fiqih, semakin
gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang
qath’iy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki
non-Muslim, dan sebagainya.
Jika metodologi pemahaman al-Quran sudah dirusak oleh
para ulama, cendekiawan, dan tokoh Islam, yang semestinya menjaga umat, maka
keadaan ini bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Pekerjaaan merusak pemikiran
Islam semacam ini dulu hanya diakukan oleh para misionaris Kristen dan
Orientalis. Karena itu, tentunya kaum Muslimin sangat perlu mencermati dan
melakukan tindakan pencegahan dan penyembuhan terhadap serbuan penyakit yang
sudah begitu jauh mencengkeram dan merusak tubuh umat Islam. Wallahu a’lam.
Oleh: Dr Adian Husaini
0 komentar:
Posting Komentar