Islamisasi Jawa



Islamisasi Jawa? Mengapa Islamisasi masyarakat Jawa merupakan subjek sangat penting? Pentingnya antara lain adalah karena suku Jawa merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di dunia Muslim. Dengan jumlah sekitar 100 juta dari hampir 250 juta penduduk Indonesia, etnis Jawa sekaligus merupakan suku terbesar di Indonesia. Karena kenyataan demografi ini, etnis Jawa memainkan peran penting dalam berbagai dinamika Indonesia sejak dari sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, dan seterusnya dalam periodisasi sejarah nusantara.
Meski demikian, pandangan stereotype(memberi bentuk tetap) yang dipercayai banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, adalah sebagian besar Muslim Jawa hanyalah abangan atau Muslim nominal atau `Islam KTP'. Istilah `abangan' yang sudah lama beredar dalam masyarakat Jawa sendiri kemudian dipopulerkan ke lingkungan akademik internasional oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam karya klasiknya "Religion of Java" (1960).
Dengan judul seperti ini, Geertz menekankan apa yang dia sebut sebagai `agama Jawa'
dan pada saat yang sama secara implisit menolak frasa semacam Javanese Islam
atau Islam in Java. Masihkah absah anggapan bahwa sebagian besar Muslim Jawa abangan?
Sejarawan terkemuka Merle Calvin Rick-lefs membantah anggapan itu secara meyakinkan dalam karya mutakhirnya "Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, and Religious History, c. 1930 to the Present" (Singapore: NUS Press, 2012, xxi 575 halaman). Karya ini merupakan sekuel ketiga atau terakhir dari dua karya sebelumnya, "Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries" (2006) dan "Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930" (2007). Tidak ragu lagi, ketiga karya ini secara komprehensif membahas Islamisasi Jawa sejak abad ke-14 sampai sekarang.
Islamisasi masyarakat Jawa merupakan proses yang terus berlanjut sejak kemunculan Islam dalam masyarakat Jawa pada abad ke- 14. Mengamati proses dan dinamika Islamisasi masyarakat Jawa selama berabad-abad hingga sekarang, Ricklefs menyimpulkan, masyarakat Muslim Jawa melewati masa sulit sejak awal penyebaran Islam, penjajahan kolonialisme Belanda dan Jepang, periode kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno yang kacau, totalitarianisme Presiden Soeharto, dan demokrasi kontemporer.
Menempuh berbagai perubahan, masyarakat Muslim Jawa kini menjadi contoh luar biasa dalam hal peningkatan religiositas keislaman. Kesimpulan Ricklefs ini senada dengan temuan para ahli sebelumnya, misal Harry J Benda dalam karyanya tentang Islam Indonesia di masa Jepang, "The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945" (1958).
Benda menyimpulkan, sejarah Islam Indonesia khususnya masyarakat Jawa, tidak lain adalah history of the expansion of santri culture.  Jelas karya Benda telah outdated-ketinggalan zaman. Bisa dipastikan, ketika Benda menerbitkan karyanya, kaum abangan dalam masyarakat Muslim Jawa masih amat domi- nan. Karena itu, "Islamisation and Its Opponents in Java" dan kedua karya Ricklefs sebe-lumnya jelas melampaui karya Benda dalam cakupan periodisasi dan proses sangat kompleks, yang menghasilkan `Islamisasi lebih dalam' (deeper Islamisation) masyarakat Jawa. Proses ini biasa saya sebut se- bagai `santrinisasi' sangat intens.
Tetapi, proses Islamisasi di Jawa, atau te pat nya `santrinisasi', yaitu kian menguatnya komitmen dan praktik keislaman masyarakat Muslim Jawa, tidak bergerak lurus (linear).
Awalnya, seperti diungkapkan Ricklefs dalam buku pertamanya, manuskrip lokal mengisyaratkan dua hal kontradiktif. Pada satu pihak ada yang mengisyaratkan, Islam yang mulai menyebar sejak abad ke-14 menemukan `sintesis mistik' dalam lingkungan budaya Jawa. Tetapi, sebagian naskah lain menyiratkan tidak terjadinya `sintesis mistik' tersebut.
Terlepas perbedaan perspektif naskah- naskah itu, jelas Islamisasi pada masa awal menampilkan adanya sinkretisme(perpaduan) antara Islam, agama lokal, dan budaya Jawa. Bahkan, ada semacam ketidakcocokan antara keraton dan lingkungan masyarakat yang kian banyak memeluk Islam. Barulah ketika Sultan Agung (berkuasa 1613-1646) menjadi penguasa Mataram terjadi rekonsiliasi(merujuk kembali) antara keraton dan tradisi Islam. 
Walau tetap setia pada Ratu Kidul, Sultan Agung membuat istananya lebih `Islami'. Ia rajin berziarah ke makam para wali, memperkenalkan literatur pokok tentang Islam semacam Kitab "al-Uslubiyah", dan mengirim utusan kepada penguasa Hijaz untuk mengakuinya sebagai `sultan' yang merupakan khalifatullah zhillullah fil ardhi.
Hasilnya pada tahap Islamisasi ini adalah apa yang disebut Ricklefs sebagai `sintesis mistik' pada tiga hal pokok. Pertama, mewujudkan identitas keislaman yang kuat, menjadi orang Jawa sekaligus menjadi Muslim. Kedua, melaksanakan lima rukun Islam, dan ketiga, menerima realitas tradisi keagamaan dan budaya lokal yang menyangkut Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan makhluk supranatural lainnya.
Islamisasi Jawa jelas tak berjalan linear. Jika sejak Islamisasi mulai berlangsung pada abad ke-14 sampai awal abad ke-19 terjadi apa yang disebut sejarawan MC Ricklefs sebagai “sintesa mistik” antara tradisi spiritualisme Jawa dengan Islam, periode selanjutnya (1830-1930) ditandai dengan meningkatnya polarisasi(perlawanan) masyarakat Jawa. Perkembangan ini tak lepas dari dinamika Islam di tingkat internasional, khususnya di Arabia, yang memengaruhi proses Islamisasi dan santrinisasi nusantara, termasuk di Jawa.

Kebangkitan gerakan Wahabiyah yang dinisbahkan
(hubungan keluarga) pada Muhammad bin 'Abd al-Wahhab (masa hidup 1703-79) sejak pertengahan abad ke-18 mengubah arah gerakan pembaruan di kalangan pengikut Tarekat Syatariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau yang mulai menemukan momentum pada 1870-an. Gerakan yang semula damai berubah menjadi gerakan Padri radikal-dengan paham dan praksis amat mirip Wahabi-setelah kembalinya tiga haji dari Tanah Suci pada awal abad ke-19.

Konflik atau tepatnya “perang saudara” di antara barisan pendukung pembaruan damai dengan kelompok pemurnian radikal ala Wahabi berubah menjadi Perang Padri (1821-37) ketika Belanda campur tangan atas permintaan kaum adat. Di Jawa, pada waktu hampir bersamaan terjadi Perang Jawa yang dikenal sebagai Perang Diponegoro (1925-30). Selain karena kebijakan yang merugikan pribumi, perang ini terkait transformasi dan intensifikasi keislaman Pangeran Diponegoro.

Seperti terungkap dalam penelitian Peter Carey, sejarawan Oxford University, Pangeran Diponegoro lewat lingkungan tarekat dan pesantren menempuh pengalaman keberagamaan sangat intens membuatnya tidak lagi bisa menerima kolonialisme Belanda kafir. Intensifikasi keislaman atau santrinisasi masyarakat Muslim Jawa selanjutnya terkait pertumbuhan jamaah haji dari kalangan kelas menengah Muslim yang mulai tumbuh.

Meski statistik kolonial abad ke-19 tidak bisa terlalu dipercaya, menurut Ricklefs, sebagai gambaran pada 1850 hanya 48 pribumi Jawa pergi naik haji. Tetapi, pada 1858 meningkat menjadi 2.283 orang dan pada tahun-tahun akhir abad ke-19 berfluktuasi antara 1.500 sampai 5.000 orang. Dalam waktu bersamaan, jumlah pesantren meningkat: sebagian didirikan para haji yang kembali dari Tanah Suci.

Memang pesantren sudah ada sejak masa awal penyebaran Islam di Jawa, tetapi baru pada abad ke-19 lembaga pendidikan ini menjadi salah satu “fenomena” utama Islam Jawa. Pada 1863, pemerintah kolonial mencatat hampir 65 ribu fungsionaris “profesional” keagamaan Islam (pengurus masjid dan guru agama) dan 94 ribu murid “sekolah agama” (pesantren). Menjelang 1872, jumlahnya masing-masing menjadi 90 ribu dan 162 ribu dan pada 1893 ada 10.800 pesantren di Jawa dan Madura dengan santri lebih dari 272 ribu.

Proses santrinisasi juga didorong penguatan reorientasi syariah penganut tarekat, khususnya Naqsyabandiyah Khalidiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang diikuti tarekat lain.
Perkembangan ini mengikuti kecenderungan sama yang terjadi pada tarekat-tarekat di Aceh, Palembang, dan Banjarmasin sepanjang abad ke-17 sampai abad ke-18. Tarekat-tarekat ini selain menekankan kesetiaan kepada syariah dan menolak kecenderungan antinomian dalam tarekat juga amat anti-Belanda dan terjun berjihad melawan kolonial-dan selanjutnya, seperti ditegaskan Ricklefs-bersikap anti-Kristen.

Polarisasi dalam masyarakat Jawa dengan demikian terjadi tidak hanya di antara kelompok Muslim yang kian menjadi santri dengan golongan masyarakat Muslim yang tetap mempertahankan “sintesa mistik”, tetapi juga dengan kalangan warga Jawa yang beralih masuk Kristen. Seperti diungkapkan Ricklefs, untuk pertama kali, seusai Perang Jawa, misi Kristen mencapai sukses. Beberapa tokoh Jawa masuk Kristen, seperti Ky Ibrahim Tunggu Wulung dan Ky Sadrach.

Hasilnya, menjelang akhir abad ke-19 terdapat sekitar 20 ribuan Kristen Jawa plus sejumlah “Kristen Londo” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan polarisasi terakhir ini, meminjam kerangka sejarawan terkemuka lainnya, Anthony Reid, terciptalah batas keagamaan lebih jelas dan tegas, baik di antara pemeluk Islam maupun penganut Kristen maupun di antara Muslim santri dengan Muslim pemegang sintesa mistik-atau “abangan”.

Di tengah polarisasi itu, Islam secara keseluruhan terus menemukan momentum-menciptakan proses Islamisasi lebih intens karena berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang mendorong Kristenisasi. Perlawanan dengan motif Islam juga meningkat. Contoh terbaik adalah KH Ahmad Rifa'i (1786-1876) yang setelah kembali ke Kali Salak, Batang, Jawa Tengah, dari belajar di Makkah, Madinah, dan Kairo menolak tunduk kepada otoritas kolonial Belada.

Ia tidak mengakui keabsahan pernikahan yang dilakukan penghulu fungsionaris masjid yang diangkat Belanda. Ia menolak percampuran antara ajaran Islam dan tradisi Jawa dan mendorong penerapan Islam puritan dalam masyarakat Muslim Jawa.

Islamisasi Jawa mulai menemukan momentum berkelanjutan sejak masa-masa sekitar 1930-an sampai sekarang. Polarisasi antara kaum santri dengan abangan yang mulai tercipta sepanjang periode 1830-1930 kian mengeras sejak 1930-an.

Perkembangan politik, keagamaan, sosial dan budaya dalam negeri Indonesia mempengaruhi dinamika Islamisasi dan juga santrinisasi masyarakat Jawa secara keseluruhan.

Dalam keseluruhan proses yang relatif panjang itu pula satu hal bisa dipastikan; kaum santri terus menguat, yang akhirnya membuat kaum abangan kian berada dalam posisi defensif yang kian defenseless.
Salah satu faktor terpenting meningkatnya santrinisasi Jawa itu adalah kebangkitan berbagai organisasi modern di kalangan Muslim sepanjang dasawarsa kedua dan ketiga abad 20.

Pertama yang muncul adalah organisasi ‘modernis’ dalam kadar yang berbeda-beda sejak dari SDI, SI, Jami’at Khair, Muhammadiyah dan seterusnya. Selanjutnya, sebagiannya sebagai respons dan reaksi terhadap ‘tantangan’ kaum modernis itu adalah kemunculan NU pada 1926 yang dulu sering disebut sebagai ‘kaum tradisionalis’.

Terlepas dari perbedaan paham dan praktik keagamaan yang tak jarang menimbulkan ketegangan dan konflik di antara kedua golongan santri ini, seperti dicatat Ricklefs, organisasi mereka masing-masing sangat aktif dalam modernisasi pendidikan dan penyantunan sosial. Di tengah kebijakan kolonial Belanda yang pada dasarnya menjaga jarak dengan urusan-urusan menyangkut Islam, organisasi-organisasi santri ini tak bisa lain kian memperkuat posisi keagamaan dan sosial mereka vis-à-vis
(kekuatan) kaum abangan.

Meski kian menguat secara keagamaan, sosial dan budaya, kaum satri tetap marginal dalam kancah politik menuju ke arah kemerdekaan. Kesempatan datang dalam masa penjajahan Jepang ketika para penguasa dari negeri ‘matahari terbit’ ini mengikutsertakan kalangan pemimpin ‘bulan sabit’ baik modernis maupun tradisionalis untuk terlibat dalam persiapan menjelang kemerdekaan.

Tetapi seperti dicatat banyak sejarawan tentang Indonesia, kaum santri akhirnya menerima UUD 1945 dengan Pancasila yang tidak mencakup ‘Piagam Jakarta’ hanya sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemerdekaan tidak membuat hilangnya polarisasi santri-abangan.

Menurut Ricklefs, bahkan masa pemerintahan Presiden Soekarno menyaksikan puncak polarisasi itu dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Adalah PKI dan PNI yang umumnya dipandang sebagai representasi kaum abangan yang terus berusaha keras menghalangi momentum Islamisasi dan penguatan kaum santri.
Polarisasi yang juga memunculkan apa yang disebut sebagai ‘politik aliran’ itu mencapai puncak kembali dengan pemberontakan PKI pada 30 September 1965. Tumpasnya PKI dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai penguasa baru memberikan harapan besar bagi kaum santri untuk memainkan peran lebih besar dalam kancah politik Indonesia.

Totalitarianisme Soeharto sebaliknya berujung pada apa yang disebut sebagian ahli dan kalangan santri sendiri sebagai ‘depolitisasi Islam’.
Berlainan dengan pandangan ini, menarik argumen Ricklefs yang menyatakan, dengan berbagai kebijakannya terhadap Islam dan kaum santri, rezim Soeharto justru membangun atau menegakkan kembali tradisi integrasi negara dengan agama.
Di tengah perkembangan lenyapnya partai-partai Islam dalam fusi pada PPP, kaum santri tetap memiliki banyak struktur institusional untuk memajukan Islam dan umat Muslimin. Institusi itu sangat beragam sejak dari MUI, Muhammadiyah, NU beserta sejumlah ormas Islam lain; masjid; pesantren, madrasah dan sekolah Islam.

Pada saat yang sama juga terus kegiatan dakwah dan penyantunan sosial juga kian giat. Selain itu, pemerintahan Soeharto juga memperluas jaringan IAIN baik di ibu kota provinsi dan fakultas-fakultas cabangnya di berbagai kota. Lembaga pendidikan tinggi Islam negeri ini, dalam catatan Ricklefs, paling produktif menghasilkan kaum inteligensia dan intelektual Muslim progresif yang menjadi agen terdepan dalam modernisasi berbagai kelembagaan Islam; menjelang 1990-an, dampak kaum terpelajar santri ini kian terlihat jelas pada masyarakat akar rumput.

Menurut Ricklefs, sejak 1990-an pula wacana dan gerakan ‘revivalist
’(gerakan kembali ke agama yg utuh) mulai menyebar di Jawa—atau tempat lain di Indonesia. Mereka turut merambah ke dalam masyarakat abangan akar rumput melalui lembaga dakwah dan pendidikan Salafi yang menekankan keutamaan ‘Islam murni’ seperti dipraktikkan kaum Salaf di masa pasca-Nabi Muhammad.

Semua perkembangan ini, dalam kesimpulan Ricklefs memperkuat gelombang religiusitas atau tepatnya Islamisitas. “Religion seemed more and more to be a part of modernity to many Javanese...At grass-roots level, Javanese society was visibly more Islamic in beliefs, rituals, entertainments, social life, discourse, presumptions and expectatiions”.

Masa pasca-Soeharto terbukti menjadi tahap sangat menentukan dalam Islamisasi Jawa—dan Indonesia secara keseluruhan. “...it is difficult [now] to imagine that the deepening influence of Islam among Javanese can be stopped or reversed by any remaining opponent”, tulis Ricklefs.

Prof Dr Azyumardi Azra MA
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar