MONA Abaza, ahli Mesir tentang Islam Indonesia, dalam beberapa tulisannya
dan yang terakhir More on the Shifting Worlds of Islam--Middle East and
Southeast Asia: A Troubled Relationship? (The Muslim World, Vol 97:3,
2007), berargumen hubungan akademik di antara Timur Tengah dan Indonesia
cenderung bersifat searah. Artinya, antara lain, arus mahasiswa
Indonesia lebih banyak yang belajar di Timur Tengah, khususnya di Universitas
al-Azhar, Kairo. Sementara di pihak lain, meskipun ini tidak dinyatakan Abaza
secara eksplisit, hampir tidak ada mahasiswa asal Timur Tengah yang belajar di
perguruan tinggi Indonesia.
Abaza benar
dalam batas tertentu. Khususnya pada tingkat universitas, mahasiswa Indonesia
sejak 1920-an memang telah datang ke Kairo dan belajar di Universitas al-Azhar.
Ini dimulai dengan generasi pertama, yakni
Fathurrahman Kafrawi dan Mahmud Yunus, seperti dicatat William Roff dalam
artikel pentingnya Indonesian and Malay Students in Cairo in the 1920
(Indonesia, 9: 1970). Meskipun Roff menyebut 'Malay', sesungguhnya mereka
praktis adalah mahasiswa-mahasiswa Indonesia, yang selain berkuliah juga
terlibat dalam aktivisme politik penggalangan nasionalisme Indonesia melawan
kolonialisme Belanda.
Ketika
Indonesia masih terus di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda dan di negeri ini
belum ada sepotong pun perguruan tinggi Islam, bisa dipahami mengapa banyak
mahasiswa Indonesia pergi menuntut ilmu, belajar tentang Islam di Timur Tengah.
Karena Universitas al-Azhar praktis adalah perguruan
tinggi Islam yang secara historis sangat terkemuka dan juga amat “accessible”
bagi para mahasiswa Muslim dari berbagai penjuru dunia, tidak heran kalau universitas ini menjadi tumpuan
para mahasiswa Indonesia yang terus meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu
hingga sekarang ini.
Aksesibilitas Universitas al-Azhar itu dapat dilihat dari kenyataan adanya beasiswa dalam jumlah cukup besar yang disediakan al-Azhar sendiri maupun Pemerintah Mesir. Bahkan, calon-calon mahasiswa yang tidak mendapat beasiswa yang disalurkan melalui Departemen Agama RI, misalnya, dapat melakukan 'terjun bebas' di Kairo. Artinya, tetap berangkat ke Mesir tanpa beasiswa dan mencarinya setelah diterima di Universitas al-Azhar; dan lazimnya tidak terlalu sulit mendapatkan beasiswa di Kairo setelah 'terjun bebas' tersebut.
Tentu saja
jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas al-Azhar hanyalah
'segelintir', jika dibanding dengan sangat banyaknya lulusan pesantren dan
madrasah aliyah yang ingin meneruskan pelajarannya dalam berbagai cabang ilmu
Islam ke perguruan tinggi Islam. Dan, mereka
ini karena berbagai alasan tidak dapat pergi ke Universitas al-Azhar. Di
sinilah kehadiran perguruan tinggi Islam, dalam hal ini PTAIN di Yogyakarta dan
ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) di Jakarta pada akhir 1950-an menjadi sangat
penting. Kedua perguruan tinggi Islam negeri ini yang kemudian berubah menjadi
IAIN di Yogyakarta dan di Jakarta, disusul berbagai IAIN di kota-kota
lain di Indonesia sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an yang menjadi tumpuan
untuk belajar berbagai ilmu Islam.
Dalam
perkembangannya, sejak pertengahan 1970-an, IAIN kian mapan dengan pendekatan
pembelajarannya yang khas terhadap ilmu-ilmu Islam. Sejak itu pula, apa yang
disebut Abaza sebagai 'arus satu arah' tadi perlahan, tapi pasti mulai berubah. Mahasiswa-mahasiswa asing dari Malaysia,
Singapura, Thailand, Filipina, Bangladesh, Nigeria, Tanzania, Madagaskar, dan
lain-lain kian banyak berdatangan untuk belajar Islam di Indonesia, dalam hal
ini di IAIN di berbagai kota.
Selanjutnya,
ketika program pascasarjana mulai dibuka di IAIN Jakarta dan Yogyakarta sejak
awal 1980-an, banyak mahasiswa asing yang melanjutkan pelajarannya tentang
Islam di Indonesia. Sejak akhir
1990-an, mereka bukan hanya berasal dari negara-negara yang disebutkan tadi,
melainkan juga dari beberapa negara Arab, seperti Arab Saudi, Syria, Maroko,
Oman, dan Aljazair. Mereka umumnya menempuh pendidikan untuk mendapatkan
gelar doktor. Salah satunya kemudian menjadi dubes Syria di PBB New York.
Kepada para diplomat Indonesia di PBB, doktor lulusan pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini menyatakan, ia beruntung dan bangga sekali dapat
belajar tentang Islam di Indonesia yang relatif berbeda dengan di tempat-tempat
lain, misalnya di Timur Tengah atau di Barat sekalipun.
Arus lebih berimbang untuk mempelajari Islam di
Indonesia itu kian jelas terlihat, ketika sekolah pascasarjana UIN Jakarta
baru-baru ini membuka satu kelas khusus bagi mahasiswa yang berasal dari sebuah
negara Arab, yang secara tradisional juga menjadi salah satu tumpuan mahasiswa
Indonesia untuk mempelajari Islam. Ini membuktikan, belajar tentang Islam di
Indonesia juga sangat sahih belaka.
Azymardi Azra
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar