Kafir itu luka. Banyak orang tak mau dirinya dikatai kafir.
Biar sekelam apapun iman atau akhlak seseorang, akan terluka bila diserapahi
sebagai kafir.
Tapi, buat Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, Wagub DKI,
kata-kata “kafir” tampil enjoy-enjoy saja, tidak menjadi istilah “seram” yang
patut dihindari. “Silakan cap saya ini sekuler, kafir nomor satu, paling
bejat,” begitu ungkapan yang meluncur saat seminar kesehatan di Rumah Sakit
Husada, Jakpus.
Ceritanya —maaf saya hanya membaca dari laman internet—
diberitakan beberapa waktu lalu, kata-kata Ahok ini mengemuka saat ia menanggapi
saran salah satu peserta seminar tentang perlunya prioritas memperbaiki moral
aparat birokrasi. Sontak, Ahok mengeluarkan “jurus” untuk menjawab kritikan
tersebut dengan menyatakan bahwa dia lebih mementingkan penyelamatan nyawa
seorang pasien daripada memperbaiki akhlak pejabat atau bawahannya di Pemda
DKI.
Pernyataan Ahok ini cukup mengejutkan dan bagi sebagian
orang akan memompa “denyut” keberagamaannya. Kata-kata ini dipandang bernuansa
emosional yang sebaiknya tidak perlu diungkapkan, apalagi oleh seorang pejabat
dan didengar banyak peserta acara seminar, lalu dilansir oleh media massa.
Begitukah? Jangan keburu menvonis dulu. Kita jadi merinding,
di negeri ini, kata-kata dan tulisan bisa menjadi bumerang yang bisa melahirkan
“fatwa heboh”. Kata-kata yang terungkap —mencuplik filsuf Ludwig Wittgeinstein—
selalu berada di arena language game (permainan bahasa). Ia bisa berwujud
bahasa berdoa, perintah, makian, atau lelucon.
Istilah kafir agaknya menarik untuk kembali dibincangkan.
Kata-kata kafir bisa dilihat dari sisi laten dan manifes. Secara laten, istilah
“kafir” memang termaktub dalam teks-teks keislaman. Ia menjadi instrumen
“pembacaan” untuk membedakan antara mereka yang mau mengimani ajaran agama dan mereka
yang ingkar atau mengabaikan ajaran agama.
Secara manifes, ungkapan “kafir” yang menyeruak lagi di
masyarakat, mewujud dalam label-label bid’ah, syirik, taghut, dan kafir itu
sendiri. Dalam hal ini, tentu saja secara khusus saya hanya mengamatinya di
kalangan umat Islam. Sebenarnya, jamaah-jamaah yang suka mengafirkan kelompok
lain (takfir) sudah lahir sedari dulu.
Yang awal-awal kita bisa contohkan, munculnya kelompok
Khawarij. Apa pula di Arab Saudi, seorang ulama dengan tandasnya mengafirkan
ulama lain hanya karena ulama yang dikafirkan itu membolehkan peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Di negeri kita pun nyaris sedang panen pengkafiran, lewat
ungkapan bid’ah dan syirik yang gampang sekali terlontar untuk menyebut
amalan-amalan sesat kelompok lain.
Masing-masing kelompok berpegang pada pendirian bahwa mereka
yang paling benar dan karenanya bebas dari sebutan kafir. Barangkali hanya
kelompok sufi saja yang enggan mengklaim kebenaran dan bahkan bersedia untuk
“dikafirkan”, terutama bagi sufi-sufi yang mengamalkan Tarekat Malamatiyah, yaitu
mereka lebih suka dicela daripada dipuji.
Ada ungkapan yang menggelitik dari filsuf Muslim asal
Pakistan, Muhammad Iqbal, bahwa kafir yang aktif lebih baik dari pada Muslim
yang hanya suka tidur. Dalam ungkapannya itu, istilah “kafir” menjadi “bermartabat”,
tanpa terpaku semata secara biner dan hitam-putih.
Namun, lagi-lagi penyebutan “kafir” tetaplah sebagai sesuatu
yang sensitif. Walaupun penelaahan hal ihwal “kafir” seperti terpapar dalam
kajian keislaman memiliki penafsiran yang tidak tunggal. Kalau toh dipandang
tafsir tunggal, hal ini terkait dengan makna baku dari istilah “kafir” yang
intinya mengingkari kebenaran.
Maksudnya, bahwa kandungan makna “kafir” telah diperluas.
Ada yang memaknai “kafir” sebagai bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Nisbahnya seperti pemaknaan istilah jihad yang tak hanya
dipersempit dengan makna angkat senjata, tetapi juga jihad dalam bentuk lain,
seperti menyantuni orang miskin dan banyak lainnya. Istilahnya sekarang,
humanist jihad dan eco political jihad.
Nah, lontaran kata-kata Ahok tak perlu ditafsir secara
berlebihan. Yang lebih menyentuh dan berharkat, kita hanya mendambakan perlunya
ucapan yang lebih “lembut” (qaulan layyinan) agar tidak terjadi bias tafsir dan
reaksi yang tak patut. Keterusterangan tak mesti diungkapkan melalui sikap yang
berkobar-kobar. Perbuatan nyata lebih baik daripada ucapan belaka. Urusan
membangun bangsa janganlah abai terhadap pembangunan agama dan moralitas.
Seiring itu, ungkapan Ahok pantas pula menjadi cambuk yang
menyayat-nyayat kesadaran kita, sehingga kita bersedia lapang dada, terbuka,
dan inklusif untuk selalu autokritik terhadap keberagamaan kita. Kita belajar
dari banyak fakta, mereka yang beragama, tapi korupsi dan bermoral rendahan.
Ini terus menjadi tanda tanya besar. Sejatinya, keberagamaan seseorang
seharusnya menjadikannya lebih disiplin, gigih dalam bekerja, amanah, dan
bertanggung jawab.
Kembali mengulang, “kafir” itu secara harfiah bermakna
sebagai sesuatu yang tertutup. Maka, tak berlebihan jika orang yang mengaku
beragama, tetapi tidak bermoral, tidak tanggap, tidak peduli, dan tidak
disinari niat tulus mengabdi demi kemaslahatan masyarakat luas, dianggap telah
“tertutup” kediriannya. Dan, lantaran itu, silakan cap dia “kafir”.
Oleh Prof Dr KH Said Aqiel Sirodj
0 komentar:
Posting Komentar