Kalangan orientalis semacam Max Weber (Sociology of
Religion, 1963), Karl Wittfogell (Oriental Despotism, 1957), dan lebih akhir,
Samuel Huntington (Clash of Civilizations, 1996) dan Bernard Lewis (What Went
Wrong? 2002), mengecam Islam dan masyarakat Muslim yang dalam pandangan mereka
adalah antimodern dan antidemokrasi.
Persepsi atau mispersepsi semacam ini kembali menemukan tempatnya dalam
imajinasi kalangan pemerintah, media massa, dan publik di Barat setelah
peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Mispersepsi dan distorsi ini telah sering dibantah
para sarjana Muslim sendiri maupun kalangan Barat yang bisa melihat Islam dan
masyarakat Muslim secara lebih objektif dan jujur, jika tidak dengan empati.
Tentu saja sedikit banyak ada hasilnya, sehingga masyarakat Barat memiliki
pandangan yang tidak distortif terhadap Islam dan masyarakat Muslim; tetapi
masih banyak yang harus dilakukan untuk memberikan perspektif yang lebih benar
tentang Islam.
Dalam konteks memberikan perspektif yang lebih akurat
itu, saya mendapat kesempatan baik bersama Wayne Hudson, guru besar filsafat
pada Universitas Tasmania dan Profesor Riset pada Australian Centre for
Christianity and Culture, Charles Stuart University, Canberra, Australia,
menyunting buku Islam beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political
Theory (Aldershot, UK: Ashgate, 2008). Karya ini berusaha menunjukkan, Islam dan
masyarakat Muslim sama sekali tidak antimodern, dan antidemokrasi, dengan
mengangkat Indonesia sebagai showcase. Dan, ini tentu saja sangat penting,
karena pengalaman Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dengan demokrasi
sering diabaikan para peneliti asing khususnya.
Islam beyond Conflict dengan melihat pengalaman Muslim
Indonesia memperlihatkan kekeliruan memandang Islam dan masyarakat Islam
berkonflik dengan modernitas dan demokrasi. Islam dan masyarakat Muslim
Indonesia melewati konflik yang menguasai imajinasi para peneliti dan pengamat
tentang Islam. Buku ini berasal dari makalah-makalah enam kali lokakarya
'The Islamic-Western Dialogue on Governance Values' yang diselenggarakan
Key Centre for Ethics, Law Justice and Governance, Griffith University,
Brisbane, Australia, bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dialog yang menghasilkan karya ini
melibatkan tidak kurang dari tujuh pemikir Indonesia seperti Ahmad Syafii
Maarif, Adnan Buyung Nasution, Bahtiar Effendy, NA Fadhil Lubis, Saiful Mujani,
dan saya sendiri. Tulisan-tulisan mereka mendapat dampingan dari 12 ahli
Australia tentang Islam, khususnya dalam konteks teori politik Barat.
Bagian pertama Islam beyond Conflict membahas
konstitusionalisme dan rule of law. Fadhil
Lubis mengeksplorasi dasar-dasar konstitusionalisme dalam nilai dan ajaran
Islam dari perspektif Suni Indonesia. Dia berargumen, pembahasan fikih
yang rinci dan teknis memberikan peluang besar bagi asimilasi konsep politik
Barat ke dalam fikih siyasah modern. Pada pihak lain, Adnan Buyung
Nasution melihat potensi konflik di antara negara konstitusional modern dengan
negara yang berdasarkan Islam. Tetapi, ia juga melihat adanya peluang bagi
nilai-nilai Islam untuk menengahi konflik dan oposisi antara nilai demokrasi
dan hukum Tuhan yang mutlak.
Persoalan Islam dan demokrasi juga menjadi salah satu
tema pokok karya ini. Syafii Maarif dan Bahtiar Effendy membahas konsepsi
demokrasi dalam perspektif Islam; sementara Graham Maddox dan Haig
Patapan mengkaji tensi dalam pendekatan Timur dan Barat terhadap demokrasi dan
negara. Islam pada dasarnya kompatibel dengan demokrasi, karena terdapat
berbagai ajaran dan nilai yang sejalan dengan demokrasi. Tetapi, masalahnya
menjadi lebih kompleks, karena di kalangan Muslim sendiri terdapat berbagai
pemahaman dan penafsiran yang berbeda tidak hanya tentang masalah teologis dan
ritual, bahkan lebih-lebih lagi dalam hal sistem politik dan kenegaraan.
Sementara itu, hubungan Islam dan demokrasi juga
terkait dengan masalah kewarganegaraan; pluralisme keagamaan, sosial, budaya
dan politik; dan HAM dalam hubungannya dengan nilai-nilai tradisional dan
lokal; dan juga dengan civil society dan media massa. Dengan
kaitan-kaitan seperti itu, jelas terdapat kompleksitas yang rumit dalam
hubungan Islam dan demokrasi; tidak terkecuali di Indonesia.
Persoalan hubungan Islam dan demokrasi niscayalah
masih berlanjut. Penting dicatat, seperti dikemukakan sejarawan MC Ricklefs,
pertanyaan tentang apakah Islam dan demokrasi kompatibel, jelas menghendaki
kita untuk memahami keduanya secara lebih baik. Islam Beyond Conflict dapat memberikan sumbangan
ke arah pemahaman lebih baik terhadap Islam dan demokrasi, dengan belajar pada
pengalaman Indonesia.
Azyumardi Azra
0 komentar:
Posting Komentar