Pada 12 November 2010 dahulu, PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI
INDONESIA (PGI) dan KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI), mengeluarkan PESAN NATAL BERSAMA, yang
mengangkat tema: “Terang yang sesungguhnya sedang datang ke dalam dunia.” ((bdk. Yoh. 1:9).
Sebagian Pesan Natal Bersama itu bisa kita simak sebagai
berikut:
“Pada saat ini kita semua sedang berada di dalam suasana
merayakan kedatangan Dia, yang mengatakan: “Akulah terang dunia; barangsiapa
mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan
mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Dalam merenungkan peristiwa ini, rasul
Yohanes dengan tepat mengungkapkan: “Terang yang sesungguhnya itu sedang datang
ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya,
tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi
orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Lih. Yoh.1:9-11). Suasana
yang sama juga meliputi perayaan Natal kita yang terjalin dan dikemas untuk
merenungkan harapan itu dengan tema: “Terang yang sesungguhnya sedang datang ke
dalam dunia”.
Berikutnya, dikatakan dalam Pesan tersebut:
“Terang yang sesungguhnya, yaitu Yesus Kristus yang
menjelma menjadi manusia, sudah datang ke dalam dunia. Walaupun banyak orang
menolak Terang itu, namun Terang yang sesung-guhnya ini membawa pengharapan
sejati bagi umat manusia.”…
“Natal adalah tindakan nyata Allah untuk mempersatukan
kembali di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu yang telah
diciptakan-Nya (Lih. Ef. 1:10). Semua yang dilihat-Nya baik adanya itu (Lih.
Kej. 1:10), yang telah dirusakkan dan diceraiberaikan oleh kejahatan manusia,
menemukan dirinya di dalam Terang itu. Oleh karena itu, dengan menyambut dan
merayakan Natal sebaik-baiknya, kita menerima kembali, ─ dan demikian juga menyatukan
diri kita dengan ─ karya penyelamatan Allah yang baik bagi semua orang.”
Menyimak Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tersebut,
jelaslah bahwa Peringatan Natal adalah peringatan keagamaan bagi kaum Kristen.
Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya.
Kaum Kristen meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan yang menjelma menjadi
manusia, suatu keyakinan yang secara diametral bertentangan dengan keyakinan
kaum Muslim.
Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen
Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di
Roma, disebutkan: ”Karena satu-satunya
Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di
dalam Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan
orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah
dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak
mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr.
J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Sementara itu, dalam Islam, kepercayaan bahwa Yesus
adalah Tuhan atau anak Tuhan dipandang sebagai satu kekeliruan yang amat sangat
serius -- satu kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157;
19:89-91, dsb). Sebab, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah, bukan Tuhan dan
bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah
punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman
dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir
langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya
mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Karena itu, Prof. Hamka menyebut tradisi
mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan
kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan
kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya
diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa
Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi
orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang,
padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi,
melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan
Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik
orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang
disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan
satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan
tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi.
Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan
yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak,
tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw
adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan
mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima
kita tidak Kristen lagi. Dalam hal
kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan
bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan
manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta
dalam Yesus.”
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul:
“Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke
Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa
“Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama”,
Hamka menulis kolom berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” di rubrik “Dari Hati ke Hati” Majalah Panji
Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tulisan
Hamka tersebut:
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan
Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin
bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula
hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang
Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut
kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari
TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya,
bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam
yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.
Ketika orang merayakan Natal, dilakukanlah beberapa
upacara (rituil) yang di dalam bahasa Islam disebut ibadat. Membakar lilin,
memakan roti yang dianggap bahwa ketika itu roti tersebut adalah daging Yesus,
dan meminum air yang dianggap sebagai darah Yesus.
Ketika terjadi Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI
dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada
pengikut-pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah
lama hal ini diperbincangkan dalam kalangan kaum Muslimin. Tidak ada orang yang
menyadari kehidupan beragama yang tidak meragukan halalnya orang Islam turut
bersama orang Kristen menghadiri hari Natal, meskipun tidak ada pula orang
Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun
belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya ’Idul Fitri dan ’Idul Adha ke tanah
lapang atau mesjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang
Kristen) tidak hidup rukun dengan orang Islam.
Sebab itu dapatlah kita fahami bahwa Menteri-menteri
Agama sejak Indonesia Merdeka menyuruhkan saja pegawai-pegawai Tinggi yang
beragama Kristen menghadiri secara resmi hari-hari peribadatan Kristen,
Natalnya, Paskahnya dan lain-lain, pegawai tinggi Katolik untuk menghadiri hari
Ibadat Katolik, dan pegawai tinggi Protestant untuk menghadiri hari ibadat
Protestant, dan demikian pula dengan pegawai tinggi dari kalangan yang beragama
Budha. Dan dengan demikian sekali-kali tidak berkurang rukunnya kita hidup
beragama.
Sejak Juli 1975 MUI berdiri dianjurkan kerukunan hidup
beragama. Pihak Islam menerima anjuran
itu dengan baik. Tetapi terus terang kita katakan bahwa bagaimana
batas-batas kerukunan itu, belum lagi kita perkatakan secara konkrit!
Maka terjadilah di Jawa Timur, adanya larangan dari
Kanwil P dan K menyiarkan satu karangan yang menerangkan ’aqidah orang Islam,
bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Arti ayat Lam yalid walam
yuulad ini dilarang beredar, dengan alasan bahwa karangan ini berisi satu ayat
yang bertentangan dengan kerukunan hidup beragama.
Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari
Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya,
bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam
pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam
perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen,
menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami,
bahwa hadir di sana ialah menyatakan
persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin,
sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi
daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang
menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka,
termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau
bukan haram?
Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama
Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat
itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!”
Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat
Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah,
tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para
ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Yth Menteri Agama mengetahui
hal ini. Beliau meminta supaya hasil fatwa
dikirim kepada beliau untuk menjadi pegangan. Tetapi karena memandang
fatwa ini adalah menyinggung tanggung jawab Majelis Ulama seluruhnya, keputusan
tersebut dikirim kepada cabang-cabang tingkat I (Propinsi) seluruh Indonesia.
Di sinilah timbul kesalahpahaman diantara Pimpinan
Majelis Ulama dengan Yth Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas,
padahal mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja....
Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai
didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa
sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari
Majelis Ulama?
Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita
pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi
munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa
yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi
juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak
kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang
lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”
Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka yang
tampaknya dituangkan dengan sepenuh hati dalam Majalah yang dipimpinnya
tersebut.
Disamping adanya usaha pencampuradukan Perayaan Hari
Besar antar Agama, di Indonesia dan di berbagai belahan dunia juga telah mulai
digalakkan upaya doa bersama lintas agama. Terhadap masalah semacam ini, ada
baiknya kita simak Keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar
XXX NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 21-27 Nop. 1999, tentang “Doa Bersama Antar Umat Beragama”. Berikut
ini sebagian kutipan isinya:
Deskripsi Masalah: Adanya Krisis (moneter, kepercayaan,
keimanan) yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini, menuntut bangsa Indonesia
untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan. Diantara usaha-usaha yang dilakukan
adalah mengadakan doa bersama antar berbagai umat beragama (Islam, Katholik,
Kristen, Hindu, Budha).
Soal: Bagaimana hukum doa bersama antar berbagai umat
beragama yang sering dilakukan di Indonesia?
Jawab: Tidak boleh, kecuali cara dan isinya tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Dasar Pengambilan: (1) Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fathil
Wahhab Juz V, hlm. 226: Wa’ibaratuhu: walazimanaa man’uhum idhhaarun minkum
baynanaa ka-ismaa’ihim iyyaana qaulahum lillaahi tsaalitsu tsalaatsah.
(“Menjadi keharusan kita untuk mencegah mereka menampilkan hal tersebut di
kalangan kita, semisal mereka memperdengarkan syiar mereka; Allah adalah
trinitas.”)
Dasar Pengambilan: (2) Hasyiyah al-Jamal Juz II, hlm.
119: Wa’ibaaratuhu: Laa yajuuzu at-ta’miinu ‘alaa du’aail kaafiri li-annahu
ghairu maqbuulin liqaulihi Ta’aalaa: Wa maa du’aaul kafiriina illaa fii
dhalaalin. (Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya tidak
diterima dengan firman Allah SWT: Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu,
hanyalah sia-sia belaka” (ar-Ra’du: 14).
Dasar Pengambilan: (3) al-Bujairimi ‘alal Khathib juz
IV, hlm. 235: (yang artinya): “Haram mencintai orang kafir, yakni adanya rasa
suka dan kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir
saja, hukumnya makruh… adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya
sesuatu mudharat yang tidak diinginkan yang mungkin dilakukan oleh mereka, ataupun
mengambil sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak haram.”
Dasar Pengambilan: (4) Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232,
yang juga menegaskan, bahwa haram hukumnya mengamini doa orang-orang kafir,
sebab doa orang kafir tidak maqbul. (Wa laa yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aaihim
kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri ghairul maqbuuli…)
(Sumber: buku Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004),
penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534).
Pada tanggal 7 Mei 1981, Prof. Dr. Hamka sebagai ketua
umum MUI, membuat surat edaran, yang antara lain menyatakan bahwa fatwa “Haram
Ikut Merayakan Natal Bersama” :
“dipandang perlu untuk dikeluarkan sebagai tanggung
jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban
mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah, tanpa mengabaikan kerukunan hidup
beragama. Dan sebagai Ketua Umum MUI saya menyerukan supaya kita sama-sama
menjaga ketenangan, kerukunan hidup beragama dan memelihara kemurnian aqidah.”
Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya
terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum
MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di
Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka:
“Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya
telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai
menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.”
Adian Husaini
0 komentar:
Posting Komentar