Sebuah Dunia Tanpa Islam



Bayangkan bagaimana sebuah dunia tanpa Islam. Imajinasi dan pengandaian liar ini mungkin ada di benak sementara orang, khususnya di Barat, setelah ketegangan antara apa yang disebut sebagai Barat dan Islam meningkat sejak peristiwa 11 September 2001. Meski ketegangan itu kini dalam batas tertentu sudah mulai menyurut-khususnya menyangkut perang melawan terror ala Presiden George W Bush, ironisnya orang menyaksikan meningkatnya sikap anti-Islam dan anti-Muslim di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara Eropa. Pada saat yang sama, gambaran dan referensi kepada Islam membanjiri media, baik cetak maupun elektronik Barat. Karena itu, boleh jadi kalangan seperti ini membayangkan sebuah dunia tanpa Islam dan kaum Muslim sehingga mereka merasa lebih nyaman.
Sebuah dunia tanpa Islam. Pengandaian yang menjadi judul buku terbaru karya Graham Fuller, A World Without Islam (New York: Little & Brown, 2010). Fuller, mantan wakil kepala Dewan Intelijen Nasional CIA yang kini guru besar ilmu politik di Simon Fraser University, Vancouver, Kanada, meski mengambil judul yang bisa membuat kaum Muslimin khususnya bertanya, justru memberikan jawaban atas imajinasi dan pengandaian tersebut. Bahkan, Fuller memberikan argumen bertolak belakang. Jika ada orang yang membayangkan sebuah dunia yang bakal berbeda tanpa Islam sejak dulu sampai sekarang, menurut Fuller, sesungguhnya keadaannya tidak akan banyak berbeda, khususnya menyangkut hubungan antara Dunia Barat dan Timur.
Dalam pandangan Fuller adalah absurd mengandaikan sebuah dunia tanpa Islam. Agama ini beserta para pengikutnya telah menjadi realitas sejak abad 7 Masehi. Jarum sejarah tidak pernah bisa dimundurkan dan sejarah tidak bisa ditulis ulang untuk membuat Islam dan kaum Muslim terhapus dari sejarah. Namun, menurut Fuller, pengandaian itu dapat mendorong orang untuk melihat kembali sejumlah peristiwa dan perkembangan kunci sepanjang sejarah, tidak hanya menyangkut Islam dan kaum Muslim-khususnya di Timur Tengah, tetapi juga mengenai Eropa, hubungan di antara agama-agama yang berbeda, dan juga peradaban yang berkembang.
Memang, ketika Fuller menggunakan istilah Islam, ia mengacu kepada Islam Timur Tengah dan tidak secara eksplisit merujuk kepada kaum Muslim di kawasan ini. Dengan begitu, dia memperlakukan Islam secara monolitik. Ia juga tidak memedulikan kesenjangan antara citra ideal Islam dan living Islam di kawasan ini dengan mengabaikan realitas sosial, budaya, dan politik kaum Muslim yang tidak selalu mengaktualisasikan Islam sesuai prinsip, ajaran, dan nilainya.
Karena itu, yang terutama dimaksudkan Fuller dengan Islam pada dasarnya adalah aktualisasi agama ini oleh para penganutnya di Timur Tengah. Jelas Fuller tidak membahas pengandaian jika tidak ada Islam. Minat dan perhatian utama karya ini adalah hubungan-hubungan yang terjadi sepanjang sejarah antara masyarakat-masyarakat Muslim Timur Tengah dan komunitas-komunitas agama lain di Eropa dan juga pada masa kontemporer dengan AS. Dan, jika dalam episode-episode sejarah tertentu hubungan itu bisa jadi sangat memburuk, menurut Fuller, Islam bukanlah penyebab utama atau bahkan tidak juga penyebab kedua.
Dalam konteks itu, bagi Fuller, Islam Timur Tengah tidak berdiri sendiri. Ia terkait erat dan berkesinambungan dengan potret keagamaan yang berkembang sebelum datangnya Islam. Sebab itu, Islam terkait dan terpengaruh kekuatan-kekuatan yang telah ada sebelumnya. Islam tidak spesial di tengah berbagai perkembangan agama dan juga politik sehingga ia masuk ke dalam arus perkembangan umum di kawasan-kawasan tersebut.
Karena itu, jika ada ketegangan di antara komunitas-komunitas Kristiani Eropa dan masyarakat Muslim, hal itu sudah mendapatkan preseden dalam ketegangan dan konflik di antara Kristiani Ortodok Timur (Bizantium) dan Kristiani Katolik Roma. Jika Islam tidak menancapkan eksistensinya di kebanyakan wilayah Timur Tengah, besar kemungkinan kawasan ini masih berada di bawah pengaruh Gereja Ortodok Timur. Dan, hubungan antara kedua gereja ini telah diwarnai kecurigaan timbal balik dan penuh racun selama hampir dua milenium-meski sebenarnya mereka berbagi banyak tradisi yang sama. Bagaimanapun, kehadiran Islam sebagai sebuah kekuatan agama, sosial, budaya, dan politik menambah kompleksitas ketegangan yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, tidak mungkin ada sebuah dunia tanpa Islam. Jika ada ketegangan di antara Islam dan Barat, yang perlu dilakukan bukan mengandaikan ketiadaan Islam, sebaliknya berusaha menyelesaikan faktor-faktor yang penyebab ketegangan dan hubungan buruk tersebut.
Sebuah dunia (yang tidak mungkin) tanpa Islam, sebagaimana substansi dari judul buku Graham Fuller, A World Without Islam (New York: Little & Brown, 2010). Meski demikian, Fuller sesuai judul bukunya, Washington (pemerintah AS dan Barat lainnya) dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya di Timur Tengah harus berlaku seolah-olah 'tidak ada' Islam di Timur Tengah. Sebagian besar masalah di kawasan ini bisa ditangani dan diselesaikan tanpa melibatkan Islam sebagai sebuah penjelasan dan faktor yang memengaruhi terciptanya berbagai masalah.
Menurut Fuller, melibatkan Islam sebaliknya dapat mengaburkan pemahaman tentang hakikat masalah-masalah yang ada di kawasan ini; meski tentu saja banyak masalah itu terbungkus simbol dan retorik Islam. Dengan begitu, AS dan Barat tidak lagi dengan cepat selalu dapat menyalahkan Islam atas segala masalah di Timur Tengah; sama dengan kaum Muslim yang tidak bisa menyalahkan Barat atas masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dalam konteks itu, menarik sekali rekomendasi yang diajukan Fuller untuk mengurangi ketegangan yang masih ada sekarang ini antara Dunia Muslim dan AS. Pertama, Barat harus menghentikan intervensi politik dan militer di kawasan-kawasan Muslim karena sangat provokatif bagi kaum Muslimin. Dengan begitu, kawasan-kawasan Muslim yang bermasalah atau potensial bermasalah dapat kembali tenang. Ini berarti, AS dan Barat harus menarik seluruh kekuatan militernya dari bumi kaum Muslim.
Kedua, upaya mengidentifikasi para pelaku aksi terorisme harus melalui intelijen dan polisi. Penangkapan mereka yang dicurigai sebagai teroris harus menjadi hak prerogatif badan internasional atau negara bersangkutan; bukan oleh AS yang suka menjalankan operasi ekstrateritorial-melanggar kedaulatan negara orang lain-dan membunuh orang-orang tertentu semaunya.
Selanjutnya, ketiga, AS harus menarik dukungan khususnya kepada diktator-diktator (di sejumlah negara Muslim). Karena para diktator ini sebenarnya mencemarkan nama baik AS, khususnya dalam penumbuhan demokrasi di Dunia Muslim. Dukungan AS kepada para diktator itu hanya kian menumbuhsuburkan lingkungan politik yang eksplosif dan anti-Amerika. Keempat, demokrasi harus dibiarkan tumbuh di Dunia Islam, tetapi AS harus tidak menjadi alat implementasinya. AS harus tidak campur tangan dalam penumbuhan demokrasi karena dapat mencemarkan konsep dan praktik demokrasi itu sendiri.
Lebih jauh, kelima, AS harus menerima partai-partai Islam yang menang dalam proses-proses politik demokratis. AS hendaknya memberikan kesempatan kepada mereka mewujudkan janji-janji mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah sangat urgen dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Keenam, AS harus segera menemukan penyelesaian masalah Palestina. Karena masalah ini dipandang banyak bagian Dunia Muslim sebagai bentuk telanjang imperialisme, yang membuat banyak rakyat Palestina tewas dan terbuang ke kamp pengungsian dan mengalami berbagai bentuk penderitaan lain. AS harus membalikkan usaha-usaha kolonisasi yang terus-menerus dilakukan Israel.
Fuller juga menawarkan rekomendasi ketujuh; bahwa jika AS menggunakan sepersepuluh saja dari satu triliun dolar yang dihabiskan kepentingan militer di Timur Tengah untuk membangun sekolah, universitas, rumah sakit, klinik, dan balai latihan kerja, citra Amerika dapat menjadi lebih baik. Selain itu, lingkungan hidup di Timur Tengah dapat diperbaiki. Kedelapan, kebijakan-kebijakan AS yang 'tercerahkan' agaknya dapat segera mengakhiri sumber-sumber kekerasan yang bersifat internasional dan trans-nasional. Terakhir, hanyalah kaum Muslim sendiri yang dapat menemukan pemecahan masalah radikalisme dan karena itu AS harus tidak campur tangan.
Rekomendasi-rekomendasi Fuller itu pada dasarnya tidaklah baru; banyak kalangan Muslim telah berulang kali mengajukan rekomendasi bernada dan bersubstansi sama. Namun, rekomendasi-rekomendasi itu tidak pernah mendapatkan perhatian serius para perumus dan pelaksana kebijakan AS dan banyak negara Barat lainnya. Akibatnya, berbagai masalah yang menjadi sumber ketegangan antara AS dan Barat dengan Dunia Islam tetap tidak terselesaikan; dan terus membuat ketegangan tersebut bertahan. Apakah rekomendasi Fuller bakal mereka pedulikan; hanya sejarah yang bakal membuktikan.
Pada saat yang sama, rekomendasi Fuller juga menegaskan adanya PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan kaum Muslimin sendiri, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di tempat-tempat lain. Kaum Muslimin harus menyelesaikan masalah-masalah di antara mereka secara damai; tidak dengan cara-cara kekerasan, yang lazimnya membuat AS dan negara-negara Barat lainnya terdorong campur tangan. Apalagi, jika ada pihak tertentu di kalangan Muslim yang bertikai mengundang campur tangan dan intervensi AS dan sekutu-sekutunya. Sekali intervensi itu terjadi, sulit mengakhirinya; dan pada saat yang sama menciptakan situasi konflik dan kenestapaan berkepanjangan di kalangan kaum Muslimin.

Prof Dr Azyumardi Azra MA
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar