Compassion,
kepengasihan, yang dalam bahasa Arab dan Hebrew memiliki akar kata yang sama, rahman
dan rehem. Bahkan dalam Islam, ketika Muslim hendak melakukan perbuatan
dan amal baik selalu menyebut Bismillahir-rahmanir-rahim-dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
"Tapi sedihnya, kita jarang mendengar tentang compassion
hari-hari ini," tulis Karen Armstrong dalam karya terakhirnya Twelve
Steps to a Compassionate Life (London: Bodley Head, 2011).
Menawarkan 12 langkah menuju hidup yang penuh kepengasihan,
Armstrong--mantan biarawati dan kini berprofesi sebagai penulis sejumlah buku best-seller
dalam bidang agama--memandang, kinilah saatnya di mana suara agama yang penuh
kepengasihan kembali sangat dibutuhkan.
Alasannya sudah sangat jelas. Dunia kita sekarang
adalah dunia yang masih penuh kekerasan. Lihatlah apa yang tengah terjadi di
Libya, Bahrain, Yaman; dan juga di Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan
bahkan di tempat-tempat tertentu di Indonesia.
"Kita kini terlibat dalam berbagai perang yang kelihatannya
sulit diakhiri ataupun dimenangi. Kekerasan yang semula bersifat 'sekuler'
seperti Arab versus Israel terus dibiarkan berlangsung dan bahkan menjadi
'perang suci' yang membuat kian sulitnya mendapatkan penyelesaian
pragmatis," tulis Armstrong.
Kekerasan dalam bentuk-bentuk lain juga sedang
berlangsung secara lebih subtil seperti ketidakseimbangan kekuatan dan kekayaan
di antara berbagai masyarakat, baik secara internasional maupun internal sebuah
negara.
Kelaparan dan penderitaan bukan berkurang di banyak
bagian dunia, tetapi kelihatan terus bertahan, jika tidak meningkat. Semua ini
menimbulkan kemarahan dan kekerasan di antara umat manusia yang kian
meminggirkan kepengasihan sesama manusia dan bahkan dengan lingkungan hidupnya.
Maka, Armstrong kembali mengingatkan masyarakat dunia
tentang 'hukum mas' (golden rule) kepengasihan. "Jangan perlakukan
orang-orang lain seperti Anda juga tidak ingin diperlakukan mereka seperti
itu." Atau dengan kalimat lain, "Selalulah perlakukan orang-orang
lain seperti Anda sendiri ingin diperlakukan." Karena itu, kepengasihan
adalah sesuatu yang esensial bagi kemanusiaan; setiap orang mempunyai kebutuhan
biologis dan psikologis untuk mendapat kepengasihan dari orang lain bagi
dirinya, dan sekaligus juga ingin membagi kepengasihan itu kepada orang di luar
dirinya sendiri.
Maka, Armstrong memprakarsai perumusan 'Piagam untuk
Kepengasihan' (Charter for Compassion) yang kemudian disepakati para
pemuka agama Yahudi, Kristianitas, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu pada
Februari 2009. Piagam ini antara lain menyatakan: "Prinsip kepengasihan
terletak pada jantung semua agama, etika, dan tradisi spiritualitas; memanggil
kita semua untuk selalu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin
diperlakukan mereka. Kepengasihan mendorong kita untuk berusaha tanpa kenal
lelah menghilangkan penderitaan sesama makhluk; menurunkan diri sendiri dari
takhta pusat dunia dan menghormati kesucian yang tak bisa dilanggar dari setiap
anak manusia, tanpa pengecualian, dengan penuh keadilan, kesetaraan, dan
kehormatan."
"Juga perlu menahan diri secara konsisten dan
mutlak, baik dalam kehidupan pribadi maupun umum, daripada menyakiti [orang
lain]; atau bertindak dan berbicara secara kekerasan atas dasar chauvinisme dan
kepentingan sendiri untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau menolak hak-hak
dasar orang lain; atau memprovokasi kebencian dengan menghinakan orang
lain-termasuk musuh sekalipun; [semua ini] merupakan penolakan terhadap
kemanusiaan kita bersama."
"Kami semua mengakui, kita telah gagal untuk
hidup dengan kepengasihan; dan bahkan sebagian orang telah menambah penderitaan
sesama umat manusia atas nama agama."
"Karena itu, kami mengimbau seluruh lelaki dan
perempuan: memulihkan kepengasihan ke pusat moralitas dan agama; kembali kepada
prinsip kuno, bahwa setiap penafsiran kitab suci yang membiakkan kekerasan,
kebencian, atau ketidaksukaan adalah tidak sah; *memastikan agar anak-anak muda
diberi informasi akurat dan berharkat tentang tradisi, agama, dan kebudayaan
lain; mendorong apresiasi positif pada keragaman agama dan kebudayaan;
menumbuhkan empati terhadap penderitaan sesama umat manusia-sekalipun mereka
yang dianggap musuh.
Pesan kepengasihan sudah jelas. Jika kepengasihan
dapat ditumbuhkan kembali, ia menjadi kekuatan dinamik dalam dunia yang
terpolarisasi dan penuh kekerasan; ia sangat dibutuhkan bagi penciptaan ekonomi
yang berkeadilan dan masyarakat global yang damai.
Sekali lagi, kepengasihan sangat mendasar bagi
hubungan antarmanusia menuju ke arah pemenuhan kemanusiaan. Ia adalah jalan
menuju pencerahan kehidupan dan peradaban.
Azyumardi Azra
0 komentar:
Posting Komentar