RAMADHAN kembali menjelang kita. Betapa bahagianya orang-orang beriman yang kembali
bersua dengan Ramadhan. Berapa banyak sanak saudara, karib kerabat, dan handai
tolan kita yang tidak berkesempatan lagi menjalani Ramadhan karena sudah
dipanggil Yang Mahakuasa ke hadirat-Nya. Karena itu, berbahagialah mereka
yang masih dapat kesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan guna menjalankan
ibadah puasa dan sekaligus meningkatkan amal ibadah lainnya untuk mencapai
derajat takwa, yang merupakan tujuan ibadah puasa.
Kedatangan Ramadhan, boleh jadi sekadar perjalanan
sirkular waktu yang memang sebagai salah satu sunatullah yang selalu datang,
pergi, dan datang kembali selama alam raya ini masih beredar. Dan karena itu, dalam perspektif ini, datangnya
Ramadhan merupakan sebuah kerutinan perjalanan masa belaka; yang pada
gilirannya juga menciptakan siklus kerutinan dalam kehidupan mereka yang
berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Pada tahap ini, rutinitas mengandung
banyak jebakan dan dampak, yang boleh jadi membuat mereka yang berpuasa
kehilangan greget dalam mengambil manfaat sebesar-besarnya dari ibadah puasa.
Rutinitas dalam hal apa pun, termasuk ibadah,
khususnya ibadah puasa, bisa memunculkan dampak-dampak yang tidak diharapkan. Ibadah sangat boleh jadi bakal kehilangan
kesyahduan, makna, dan fungsinya bagi si pelaku jika ia mengerjakannya sebagai
sebuah rutinitas belaka. Bahkan, ibadah yang dikerjakan bisa menjadi
sekadar memenuhi kenyamanan psikologis karena telah melaksanakannya sebagai
kewajiban fiqh. Tidak lebih daripada itu, yang di dalam hadits Rasulullah
SAW tentang puasa; bahwa mereka yang berpuasa boleh jadi tidak
memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.
Jika ini yang terjadi, ibadah yang dikerjakan bisa
kehilangan fungsinya bagi pelakunya; dalam konteks puasa, tidak membawanya kepada taqwa,
yang berarti 'terpeliharanya diri dari berbagai perbuatan yang tidak sesuai
dengan ajaran agama'. Ibadah puasa yang setiap tahun dikerjakan seolah-olah
tidak menghasilkan dampak positif apa-apa; sepertinya tidak meninggalkan bekas
apa pun.
Ini bisa dilihat dari kenyataan; begitu banyak orang
yang puasa, tetapi tetap saja menjalankan perilaku dan tindakan koruptif dalam berbagai bentuknya, baik pada tingkatan
pribadi, masyarakat, bahkan pada tingkatan berbangsa dan bernegara. Dalam
praktiknya, puasa bahkan cenderung diperlakukan sebagian Muslim hanya sebagai
kesempatan untuk melakukan sin loundering (penyucian dosa), akibat
perilaku dan tindakan koruptif mereka masing-masing selama 11 bulan di luar
Ramadhan. Dalam kerangka ini, mereka beranggapan dosa-dosa bakal tercuci
dengan melakukan puasa; jika seseorang melakukan dosa sebagai hasil perilaku
koruptif, toh puasa Ramadhan datang lagi dan datang lagi memberikan kesempatan
untuk menghapus dosa.
Sebab itulah, Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya
yang lain menyatakan puasa
mestinya dilakukan tidak hanya atas dasar iman, tetapi ihtisaba, perhitungan,
evaluasi, dan penilaian yang jujur dan cermat. Artinya, melakukannya dengan
penuh kesadaran dan perhitungan, bukan hanya untuk memenuhi ketentuan-ketentuan
fiqhiyyah tentang puasa, mengenai makna, implikasi, dan fungsi ibadah puasa itu
dalam kehidupan sehari-hari, baik pada waktu berpuasa Ramadhan maupun pada
pascaRamadhan. Bahwa berpuasa dengan ihtisaba bakal menghapuskan dosa-dosa
sebelumnya hanyalah sebagai konsekuensi logis saja, bukan sebagai tujuan akhir
dari puasa itu sendiri.
Puasa yang dilakukan secara ihtisaba itu bakal
menghasilkan apa yang dapat kita sebut sebagai 'puasa transformatif', yaitu
puasa yang mentransformasi atau mengubah para pelakunya ke dalam tingkatan
pengalaman dan kehidupan spiritual yang lebih tinggi, lebih tinggi, dan terus
lebih tinggi. Karena itulah,
mereka yang ingin mentransformasikan diri ke tingkatan rohaniah lebih tinggi
selalu menjadikan ibadah puasa wajib Ramadhan dan berbagai macam puasa sunnah
sebagai salah satu medium terpenting yang harus mereka kerjakan dengan
sebaik-baiknya. Mereka yang memiliki keinginan mencapai derajat kerohanian
setinggi-tingginya yakin, pengalaman dalam berpuasa menuntun mereka ke arah
kesempurnaan rohaniah demikian luas, yang nyaris tanpa tepi.
Puasa transformatif. Inilah puasa yang bakal
meninggalkan bekas dan dampaknya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Mereka yang telah mengalami transformasi diri melalui
puasa dan ibadah-ibadah lain menjadi sadar bahwa ibadah-ibadah diamalkan bukan
sekadar untuk kepentingan di dalam dirinya sendiri, melainkan juga sekaligus
guna mencapai tujuan-tujuan lebih tinggi dan lebih mulia.
Jadi, jika kita ingin dampak puasa ke arah kehidupan
lebih baik, puasa transformatif memberikan peluang sangat besar. Namun,
tantangan ke arah ini tidak mudah; kita perlu memiliki perspektif transformatif
dalam menjalankan ibadah puasa, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan
transformasi pula dalam berbagai aspek kehidupan.
Azyumardi Azra
0 komentar:
Posting Komentar