Islamisme. Ini sebenarnya bukan istilah baru di
Indonesia, meski dalam masa lebih setengah abad terakhir jarang terdengar.
Lepas dari itu, secara historis kemunculan istilah 'Islamisme' di Tanah Air
bisa dilacak sejak masa perdebatan di antara Soekarno, bermula dengan
tulisannya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme". Tulisan yang
mengandung substansi eklektik ini tak ayal memicu perdebatan antara Bung Karno
dan Mohammad Natsir, dan juga Haji Agus Salim. Tidak ragu lagi, tulisan
Soekarno itu terkait dengan subjek politik, dan dia juga menggunakan istilah
Islamisme dengan konotasi Islam sebagai ideologi dan praksis politik untuk
mewujudkan negara Islam.
Jelas Bung Karno mendapatkan istilah tersebut dari
bacaannya yang luas atas literatur berbahasa Belanda dan Inggris, khususnya
yang mulai menggunakan Islamisme sejak abad 18. Adalah Voltaire yang pertama
kali menggunakan Islamisme dalam bahasa Prancis, yang kemudian secara
berangsur-angsur menggantikan istilah Mahomatisme. Hampir tidak ada konotasi
ideologis dan politis terkandung dalam Islamisme pada masa awal ini. Istilah
itu lebih mengacu kepada Islam sebagai sebuah agama. Perlahan tapi pasti,
istilah ini kian ditinggalkan untuk menyebut agama Islam. Namun, prasangka
dan bias terhadap Islam terus berlanjut.
Kini istilah Islamisme kembali meluas penggunaannya di
lingkungan masyarakat Barat dengan konotasi politik, kekerasan, dan bahkan
terorisme. Dengan konotasi seperti itu, tidak heran kalau kemudian juga timbul
perdebatan di kalangan para pengkaji dan peneliti Islam, baik non-Muslim maupun
Muslim, tentang keabsahan dan justifikasi penggunaannya. Ini terlihat,
misalnya, dalam buku yang baru saya terima dari Donald Emmerson, guru besar
ilmu politik, Stanford University AS. Disunting Richard C. Martin dan Abbas Barzegar,
buku Islamism: Contested Perspective on Political Islam (Stanford: Stanford
University Press, 2010) menampilkan perdebatan yang hangat di antara para ahli
non-Muslim, seperti Richard Martin, Don Anderson, dan Bruce Lawrence, maupun
Muslim, semacam Hassan Hanafi, Imam Feisal Abdur Rauf, dan Syed Farid Alatas.
Menguatnya penggunaan istilah Islamisme dalam
dasawarsa terakhir terkait erat dengan peristiwa 11 September 2001. Sejak saat
itu, istilah ini menjadi salah satu kosakata dan terminologi di lingkungan
elite politik, akademisi, dan media massa Amerika; dan dengan segera pula
menyebar ke berbagai wilayah Barat lain. Islamisme di dalam banyak kalangan
masyarakat non-Muslim Barat mengacu pada gerakan, tindak kekerasan, dan
terorisme atas nama Islam dan kaum Muslim. Referensi seperti ini jelas
menyesatkan dan membuat kian tercemarnya Islam dan juga mayoritas terbesar
pengikutnya yang tidak ada kaitan dengan kekerasan dan terorisme, dan
sebaliknya mereka adalah orang-orang beriman yang berusaha menjalani kehidupan
mereka secara baik-baik dan damai.
Juga ada kalangan akademisi Amerika yang menolak
pengertian Islamisme yang merupakan semacam padanan bagi istilah lain, seperti
'Islamo-fascism' atau 'fundamentalisme'. Contohnya Daniel Varisco, guru besar
Universitas Hoffstra, yang memandang istilah tersebut tidak dapat diterima
karena mengandung bias khusus kepada Islam. Menurut Varisco, kalau ada
Islamisme, mengapa tidak ada Kristianisme. Karena agama terakhir ini dalam
sejarahnya juga bukan tidak sering terlibat dalam berbagai bentuk kekerasan.
Imam Feisal Abdul Rauf, penggagas masjid di Lower
Manhattan yang dianggap terlalu dekat dengan lokasi 'Ground Zero' 9/11, memandang
istilah ini tidak menolong bagi terciptanya pemahaman lebih baik terhadap
Islam. Sebaliknya, dapat membuat dan meningkatnya ketegangan di antara
masyarakat Barat dan kaum Muslim.
Karena keberatan-keberatan itu sebagian akademisi lain
memberikan beberapa kualifikasi, meski tidak selalu memadai. James
Piscatori, ahli tentang politik Islam, secara hati-hati mengartikan Islamisme
sebagai ideologi yang dipegang Muslimin yang memiliki komitmen pada aksi
politik untuk mengimplementasikan apa yang mereka pandang sebagai agenda Islam.
Don Emmerson menambahkan, Islamisme adalah komitmen dan isi dari agenda Islam
tersebut.
Hemat saya, pengertian ini masih perlu penjelasan
lebih lanjut karena umumnya Islamisme tetap dipahami secara pejoratif, yakni
ideologi kekerasan yang dipegang dan diimplementasikan individu-individu dan
kelompok Muslim dalam upaya mencapai agenda-agenda mereka, seperti pembentukan
negara Islam dan penegakan syari'ah. Padahal, jelas ada orang-orang dan
kelompok Muslimin yang juga memiliki komitmen pada ideologi Islamisme berusaha
mencapai agenda Islam dengan cara-cara damai melalui proses-proses politik
demokratis konstitusional.
Azyumardi Azra
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar