Sejak kemunculan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw, Islam sudah harus berhadapan dengan berbagai agama yang eksis sebelumnya.
Salah satunya adalah agama Kristen, yang saat itu sudah menyebar di berbagai
wilayah di Jazirah Arab. Al-Quran juga memberikan banyak penjelasan tentang
agama ini. Nabi Muhammad saw mengirimkan delegasi pengungsi Muslim, hijrah dari
Mekkah ke Habsyah (Ethiopia) untuk mencari suaka pada Raja Najasyi yang kala
itu masih beragama Kristen.
Kaum Quraisy yang tidak rela dengan kepergian kaum
Muslim segera mengirimkan utusan khusus kepada Najasyi agar mengusir kembali
kaum Muslim tersebut. Raja Najasyi diprovokasi. Kepada Najasyi dan para pendeta
Kristen, Amr bin Ash dan Amarah – dua utusan Quraisy -- menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak
akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja,
mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”. Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak
bersujud kecuali kepada Allah semata.”
Memang, dalam pandangan Islam, tugas terpenting dari
misi kenabian adalah menegakkan kalimah tauhid (QS 16:36), dan memberantas
kesyirikan. Dalam al-Quran disebutkan, Lukmanul Hakim mengajarkan anaknya agar
jangan melaksanakan dosa syirik, sebab syirik adalah kezaliman yang besar. (QS
31:13). Menyekutukan Allah adalah tindakan yang tidak terampuni dan tidak
beradab. Allah adalah al-Khaliq dan manusia adalah makhluk. Manusia tidak patut
disetarakan dengan Allah. Di antara manusia saja – antara pejabat dan rakyat –
misalnya, dibeda-bedakan status dan perlakuannya. Apalagi, antara makhluk
dengan al-Khaliq, tentulah ada status yang sangat berbeda.
Salah satu titik sentral dari penjelasan al-Quran
tentang agama Kristen terletak pada status Nabi Isa a.s., yang dalam Islam
diakui sebagai Nabi dan Rasul; bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Bahkan,
Al-Quran menyebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak.
(QS 19:88-91). Polemik soal ini sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad
saw, saat Nabi saw melayani diskusi dan debat dengan delegasi Kristen Najran.
Toleransi
Meskipun secara tegas mengoreksi berbagai dasar-dasar
kepercayaan Kristen, umat Islam tidak menolak kehadiran dan keberadaan kaum
Kristen. Sejarah Islam diwarnai dengan berbagai bentuk interaksi antara pemeluk
kedua agama ini. Al-Quran tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik
terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima
kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al
Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada
mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung
halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa
menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa
menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang
unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh
Umar bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum
Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak
menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji
sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem,
yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong
mencatat:
“Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari
penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem
lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai
dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang
sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah,
tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada
pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambialihan,
dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap
respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan
sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya
untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen
Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper
Collins Publishers, 1997)
Studi Kristologi
Disamping catatan-catatan indah tentang sejarah
toleransi antar umat beragama, sejarah Islam juga dipenuhi dengan munculnya
ribuan ilmuwan dalam studi agama-agama lain, khususnya studi Kristen (Kristologi)
di berbagai penjuru dunia. Penjelasan yang cukup melimpah tentang Kristen dan
kaum Nasrani dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw, telah mendorong
banyak ilmuwan Muslim menekuni secara serius studi Kristologi. Imam
Syahrastani, Abul Qahir al-Baghdadi, Ibn Hazm, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi,
Ibn Taimiyah, dan sebagainya adalah sebagian kecil dari ulama Islam yang
’bertungkus lumus’ dalam mengkaji bidang Kristologi.
Uniknya, dalam mengkaji berbagai agama, para ulama Islam
tetap mengacu kepada perspektif Tauhid, bukan pada perspektif humanisme sekuler
yang netral agama. Dalam perspektif ini, unsur subjektif dan objektif dipadukan
sekaligus. Para ulama Islam, tetap melakukan studi agama-agama secara objektif,
yakni mengkaji fakta dengan seobjektif mungkin. Tetapi, ketika menilai fakta
itu, maka mereka menggunakan posisi (cara pandang) Islam, bukan cara pandang
netral agama.
Contoh yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh
ilmuwan ’ensiklopedik’ Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni (362/973-443/1051),
yang lebih dikenal dengan nama al-Biruni. Dalam disertasi doktornya di
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala
Lumpur, yang berjudul Early Muslim Scholarship in Religionswissenschaft, Dr.
Kamaroniah Kamaruzaman menyatakan, bahwa metode studi agama yang digunakan oleh
al-Biruni dalam studi agama-agama masih sangat relevan digunakan sampai saat
ini. Studi agama-agama model al-Biruni – dan para ulama Islam lainnya – mampu
memadukan antara objektivitas dan akurasi dengan keyakinan akan kebenaran Islam
itu sendiri. Dengan kata lain, al-Biruni mengkaji berbagai agama, tanpa harus
meninggalkan keyakinannya sebagai Muslim.
Perlu dicatat, al-Biruni adalah ilmuwan multi-disiplin
ilmu. Prof. Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam,
(2003), mencatat, bahwa pada abad ke-11 itu al-Biruni, dengan menggunakan
rumus-rumus matematika, sudah mampu
menghitung keliling bumi sebesar 24.778,5 mil. Ilmu pengetahuan modern sekarang
mencatat, keliling bumi adalah 24.585 mil. Sedangkan diameter bumi diukurnya
sebesar 7.878 mil. Kini, ilmuwan modern menemukan diameter bumi adalah 7.902
mil.
Di tengah berbagai kegiatan penelitian ilmiahnya di
bidang sains, al-Biruni juga menyempatkan diri menekuni bidang studi agama-agama
selama bertahun-tahun dan menulis kitab yang monumental di bidang ini, yakni
Kitab al-Hind dan Kitab al-Atsar. Dalam
Kitab al-Hind, al-Biruni menegaskan, bahwa
agama yang haq hanya satu, yakni ad-Dinul Islam. Kata al-Biruni: ”Fainna
maa ‘adaa al-haqq zaaigh wa al-kufru millah wahidah min al-inhiraaf ‘anhu.”
Di Indonesia, studi Kristologi sudah berlangsung
berabad-abad lalu. Salah satu karya monumental di bidang ini adalah kitab
Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan, karya ulama Aceh Nuruddin ar-Raniry. Kitab Tibyan
ditulis Raniry atas permintaan Sulthanah Safiyyah al-Din Shah, sekitar tahun
1642-1644. Tujuannya tak lain untuk menjaga aqidah umat. Kitab ini mengkaji
berbagai jenis agama dan kepercayaan selain Islam. Pakar pendidikan dan
epistemology Melayu, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud menilai ditulisnya kitab
Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan sebagai bentuk kepedulian dan kepekaan penguasa
terhadap kesucian agama, dengan merujuk kepada ulama yang paling hebat dan
berpengaruh kala itu.
Kedatangan penjajah Belanda di Indonesia semakin
menyuburkan kajian-kajian Kristologi di Tanah Air Indonesia. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa Pangeran
Diponegoro memilih untuk meninggalkan
istana Mataram juga dipicu oleh kesadaran agamanya. Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah
Pangeran Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota Kerajaan Mataram
dan merelakan tahta untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi
Raja, yang mengangkat adalah orang kafir
(Belanda). Diponegoro tidak ingin
dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya
di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan
kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa
saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan
diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya
bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak
urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Arus besar Kristenisasi di Indonesia pada awal abad
ke-20 semakin menggalakkan banyak ulama dan kaum Muslim untuk melakukan studi
Kristologi. Tujuannya tak lain untuk
membendung arus Kristenisasi. Dalam disertasi doktornya yang kemudian
diterbitkan sebagai buku dengan judul Membendung Arus: Repons Gerakan
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Dr. Alwi Shihab
mencatat: “… sebagai organisasi yang
paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara terbuka
berupaya menganggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai
cara.”
Juga, tulis Alwi Shihab: ”kehadiran misi Kristen dan
penetrasi mereka ke negeri ini, serta pengaruh yang mereka desakkan, menjadi
faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat keagamaan KH Ahmad Dahlan
yang menggebu-gebu, yang pada gilirannya menyebabkan lahirnya Muhammadiyah.
Kehadiran dan penetrasi Kristen terutama adalah hasil upaya kolonialisme
Belanda dalam memupuk semangat misi Kristen.”
Semangat membendung arus Kristenisasi di Indonesia
itulah yang antara lain banyak mendorong lahirnya ratusan – mungkin ribuan --
Kristolog-kristolog Muslim di Indonesia.
Tentu saja, sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman, studi-studi
kristologi di Indonesia perlu ditingkatkan lebih serius, baik dari segi isi,
metodologi, maupun sistametika. Apa yang telah dirintis oleh para kristolog
terdahulu sudah seharusnya dikaji ulang, dan jika perlu dikembangkan lebih baik
lagi.
Dr Adian Husaini
0 komentar:
Posting Komentar