Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan
pesat dalam bidang sains dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih
tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Kamus “The American Heritage Dictionary on the English Language”,
mengartikan kata “legend” dengan “An unverifiable popular story handed down
from the past.” Artinya, “legenda” adalah cerita masa lalu yang tidak dapat
diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin “legere” yang
artinya “to collect”, “to gather”, atau “to read”, yakni “mengumpulkan” atau
“membaca”.
Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di
gedung-gedung biosksop dalam beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita
legenda. Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan
Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di
gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk dapat
menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana
ini.
Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam
menyerap penonton. Sampai-sampai penonton dilarang
membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di Malaysia disebut
Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah maraup
keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film
legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta USD.
Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini
dibuai oleh film King Arthur. Baru diedar bebarapa
saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film
The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup
keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004.
Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian
Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi
kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the Rings”, mampu maraup keuntungan
lebih dari 2000 juta USD.
Jauh sebelumnya, berbagai film legenda semacam Rambo,
Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga menjadi film-film yang
“laku dijual”. Dengan promosi yang sangat dahsyat, film-film itu pun dinikmati
oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat Barat
menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang
menyebut bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh
masyarakat tertindas untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di
masa yang akan datang.
Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan
kisah kepahlawanan (epik) untuk membangkitkan moral. Apakah
fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat yang “sakit” dan sedang
mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang berkuasa,
Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat manusia,
bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang
tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah
menempatkan manusia sebagai “tuhan”.
Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah
kilasan sejarah tentang berbagai legenda tentang Islam yang hidup di kalangan
masyarakat Barat, khususnya di abad pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran
Cruz, dalam tulisanya berjudul “Popular Attitudes towards Islam in Medieval
Europe” (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam yang populer di
kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat menyerap
banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade),
legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. “But
Western Christian were more likely to hear legends, many of which were brought
backs by the Franks who had been to the Holy Land,” tulis Cruz.
Misalnya, legenda bahwa Ida,
seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang Muslim (Sarancens) dan
akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama lengkapnya, Nuruddin
Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang membalik
sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan
Salib (the Franks) pada 1144.
Legenda tentang Shalahuddin al-Ayyubi – tokoh yang merebut kembali Jerusalem dari the Franks, 1187–
bertebaran. Ada cerita tentang Eleanor of Aquitaine, istri Louis VII, yang
memiliki affair dengan Shalahuddin. Ada juga legenda, bahwa Shalahuddin
adalah keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga
legenda bahwa Shalahuddin dibaptis pada akhir hayatnya.
Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem
menyimpan banyak berhala sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa
di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas, dijadikan sesembahan. Pidato
Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25 November 1095,
juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik antar
masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda
tentang musuh bersama bernama “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “adalah bangsa
terkutuk.” “Killing these godless monsters was a holy act: it was a
Christian duty to exterminate this vile race from our lands,” katanya.
Seruan The Pope, mendapat
sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat
tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West, Norman
Daniel menyebut: “The essence of crusading was to slay for God’s love.” . Maka,
saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit
dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi,
termasuk wanita dan anak-anak.
Fulcher of Chartress mencatat: “If you had been there
your feet would have been stainen to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara the Franks menulis dalam Gesta Francorum : “No one has ever
seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like
pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”
Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan
memunculkan banyak legenda. Dokumen Chanson de Roland
(sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris pada abad ke-19 memberikan
gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala, pengecut, berperang demi
kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang legenda
kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan seluruh
Spanyol.
Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi
membantu gubernur Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba.
Saat pulang, pasukan Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota
Pamplona. Pasukan Basque/Wascons (Kristen) melakukan pembalasan dan mengalahkan
pasukan Charlemagne. “Uniknya” dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan
telah berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya,
bukan pasukan Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens).
Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam
sejarah Eropa. Sebab, pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar
dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne
yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus
memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat.
Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne
kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan
kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini
berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari
dua institusi tersebut: negara dan Gereja.
Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang
Islam adalah cerita tentang Aymeri of Narbonne dan putranya, William of
Orange. Dalam legenda ini, Muslim digambarkan lebih buruk ketimbang yang
ada dalam Chanson de Roland. Selain penyembah berhala, Muslim adalah pencipta
segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja setan. Mereka memakan tawanan
perang, mengkhianati perjanjian, dan menjual belikan wanita mereka sendiri.
Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan menyembah banyak dewa,
seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant.
Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga
diwarnai berbagai legenda. Legenda-legenda tentang ancaman Islam itu terus
hidup di benak masyarakat Barat, sehingga begitu peristiwa 11 September 2001
meletus, banyak kaum Muslim mengalami perlakuan tidak manusiawi di
Barat. Banyak ilmuwan Barat yang telah membongkar berbagai legenda seputar
masalah terorisme.
Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel Sharon? Tahun 1980-an, isu
terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal, pada 1982,
terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan
anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun,
Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga
Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang
sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red
Brigades.
Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang
menyeramkan seputar Taliban di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak
lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat, bagaimana legenda
tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini,
sejumlah cendekiawan “neo-konservatif” seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah
media massa Barat banyak membuat cerita seputar “bahaya Wahabi dan Arab Saudi”.
Apakah ini juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman?
Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah “the
demonizing of Saudi Arabia”. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk
melawan Ottoman, dan selama puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi.
Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah menjadi rahasia umum. Apakah akan
terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Saudi?
Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat
akan beredar luas berbagai “legenda” – melalui surat kabar, majalah, film, dan
sebagainya – tentang Arab Saudi dan keluarga kerajaan yang berlimpah dengan
kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah, legenda sangat ampuh dalam
membentuk persepsi masyarakat Barat. Wallahu a’lam.
Dr Adian Husaini
0 komentar:
Posting Komentar