Kumpulan E-Book ada di sini

E-Book berbagai disiplin ilmu ada di sini. Cari pada label sesuai dengan keinginan anda. Dapat di download secara gratis.

Berita Seputar Dunia Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kumpulan Artikel, Makalah, Opini, Cerpen, Resensi, dll

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Perjuangan Wali Songo Disingkirkan


Judul               : Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan
Penulis             : Agus Sunyoto
Tebal               : 282
Penerbit           : TRANSPUSTAKA, 2011
ISBN               : 978-979-3907-11-6
Peresensi         : Dinno Munfaidzin Imamah


Abad 7 hingga ke-13, peradaban Islam menguasai dunia dengan ilmu dan teknologinya yang lebih unggul dari Barat. Kemudian dihantam dan diratakan dengan tanah oleh Hulagu Khan (Mongol). Peradaban Aztec dan Inca dihancurkan pada masa awal penjelajahan Eropa dengan teknologi perang yang lebih canggih. Bangsa-bangsa Afrika menderita selama ribuan tahun akibat perbudakan. Nusantara
kita dikangkangi Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang lebih dari 350 tahun lamanya. Inggris menguasai dunia dengan kemajuan teknologi perkapalan dan revolusi industri. Inggris menjajah India sejak abad ke-18. Cina dijajah negara-negara Barat dan Jepang pada abad ke-19. Pada Perang Dunia II, giliran Eropa dilindas Nazi Jerman. Jepang menjajah negara-negara Asia di Perang Dunia II. Amerika membom atom Jepang pada 1945. Bangsa yang unggul (superior) akan mudah mengalahkan bangsa yang lemah (inferior). Bangsa yang lemah, lembek akan dijadikan mangsa dan budak-budak serta kuli.

Setiap gerak sejarah Nusantara takkan pernah lepas dari tali temali gejolak dunia. Konstelasi internasional merupakan satu-satunya faktor penentu peristiwa di Bumi Nusantara
kita. Berdirinya kerajaan Majapahit, dilatarbelakangi saat Singosari bertabrakan dengan Khubilai Khan. Perjuangan konsolidasi majelis Wali Songo yang dipelopori sang pembaharu, Syaikh Siti Jenar dan Sunan Ampel merupakan refleksi dan aksi geo-religius dan geo-politik dari radikalisme agama di Tanah Persia yakni lahirnya ‘Sang Tuhan’ Dinasti Safawiyah di bawah komando maharaja absolut perwujudan Tuhan, yang membabat habis wali-wali Tuhan tanpa sisa. Serta akan datangnya ‘pasukan Ya’juj Ma’juj Dajjal’ di bawah bendera Vasco Da Gama (Portugis). Kerajaan Mataram bisa berdiri karena Demak mengalami pelemahan setelah kalah bentrok dengan Portugis. Kemudian, Jepang masuk ke Indonesia saat Belanda lemah di kampung halamannya, dihantam badai swastika Nazi Hitler. Bumi Jepang luluhlantak dan diratakan dengan tanah oleh kekuatan bom atom Amerika. Akhirnya, meledak dan lahirlah kemerdekaan Nusantara yang saat ini kita nikmati bernama bumi Indonesia.

Perjuangan Wali Songo
Ada adagium yang mengatakan bahwa sejarah adalah hasil kontruksi elit, dimana sejarah adalah cerita kemenangan yang umumnya ditulis oleh para pemenang dan penguasa. Artinya siapa yang mampu merekonstruksi sejarah, pastilah akan menjadi pemenang dan digdaya dalam menapaki rentang waktu yang penuh pergulatan dan pertempuran untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Bertumpu dari adagium ini, perjuangan tokoh-tokoh besar sejarah Nusantara anggota Wali Songo dihapus dari Ensiklopedia Islam Indonesia (Terbitan Van Hoeve). Tidak bisa ditafsirkan lain kecuali adanya anasir-anasir sistematis dari keislaman mainstream Nusantara, faham Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dikenal oleh kelompok Nahdhiyin (NU); untuk menghapuskan keberadaan perjuangan Wali Songo dari sejarah dakwah Islam di Nusantara. Di masa depan, secara akademis-intelektual keberadaan perjuangan Wali Songo akan terpinggirkan, dan disingkirkan dan hanya menjadi dongeng legendaris belaka. Wali Songo dan Islam Nusantara bagi kaum positivistik adalah sinkretis, asimilatif, semi-animis, mistis (irrasional), dan tradisionalis anti-gerak kemajuan dunia.

Fenomena ini tidak hanya lepas dari tilikan para sejarawan, para intelektual yang mengaku-aku kaum pembaruan Islam, ilmuwan sosial yang pada umumnya juga masih gelap-gulita melihat kenyataan itu. Hanya karena keangkuhan akademik-intelektualisme, mereka tak mau menerobos kabut mitologi (legenda) yang menyelebungi realitas sejarah Nusantara yang sejati. Tidak mempunyai kesabaran dan kepekaan lebih untuk membaca babat, prasasti, menyisir sejarah adi-luhung, menyusuri jejak-jejak spiritualisme, dan doktrin ilmiah versi Nusantara. 

Di tengah arus kemelut, dan kerancuan, bahkan kegelapan sejarah itulah Agus Sunyoto, sejarawan Nusantara berikhtiar mementaskan perjuangan Wali Songo dalam panggung sejarah Nusantara. Misi yang sungguh berat, di tengah gempuran aliran positivistik
. Penulis memilah antara sejarah dengan mitos. Dibutuhkan data sejarah yang kuat untuk mendukung argumen dan pandangannya. Untuk itu diperlukan kemampuan khusus dalam membaca prasasti, naskah berbahasa Kawi dan Jawa Kuno, termasuk bahasa Sansekerta dan Arab.

Kesadaran akan makna pentingnya perjuangan Wali Songo dalam sejarah Islam di bumi Nusantara yang sisa-sisa jejaknya masih sangat jelas terlihat sampai saat ini. Dengan semangat rawe-rawe rantas malang malang putung dan vivere vericoloco, sejarawan Nusantara ini meneliti dengan serius sejarah perjuangan Wali Songo untuk “melengkapi” Ensiklopedia Islam Indonesia yang tampaknya dengan sengaja akan menyingkirkan tokoh-tokoh penyebar Islam abad ke-15 dan ke-16 yang berjasa dalam mengislamkan Nusantara tersebut.

Dalam buku Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, komandan NU saat ini KH. Said Aqil Sirodj, dalam kata pengantarnya mengatakan perjuangan Wali Songo dalam menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang tak kenal lelah, menancapkan tauhid dalam pikiran dan hati di bumi Nusantara, dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama Hindu, Buddha, Tantrayana, Kapitayan, dan lainnya. Wali Songo mampu mengelola budaya, sehingga diterima oleh hampir masyarakat Nusantara. Wali Songo mampu menjalankan misi dari bidang-bidang strategis dari bidang keagamaan, tata kemasyarakatan, strategi kebudayaan, geo-politik saat itu, ekonomi, pengembangan kesenian
, dan sebagainya.

Strategi jitu para Wali Songo dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (bertahap). Tak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai para Danyang dan Sang Hyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Perjuangan Wali Songo menyebarkan Islam tidak dengan mengusik tradisi yang ada, tidak menggangu agama, sistem nilai dan kepercayaan, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.

Buku ini menjelaskan dengan detail bahwa Wali Songo menyadari sungguh-sungguh, bahwa Nusantara yang multietnis, multibudaya, dan multibahasa, ini adalah anugerah Tuhan yang tiada tara. Belum lagi kondisi alam yang ramah, iklimnya yang tropis, tidak ekstrim. Ditambah dengan keanekaragaman hayati, hingga Wali Songo mensyukurinya dengan tidak merusak budaya yang ada atas nama Islam dan sebagainya. Anugerah yang mesti dilestarikan dan dikembangkan, bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas nama kemurnian agama (purifikasi), terorisme, atau atas nama kemodernan. Islam hadir di paras
bumi Nusantara ini justru merawat, memperkaya, dan memperkuat multikulturalisme Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar dengan peradaban dunia yang unggul lainnya.

Karya sejarawan Nusantara yang juga penulis Novel berjilid-jilid berjudul Perjuangan Syaikh Siti Jenar dan Novel Rahuvanna Tatwa,
ini terdiri dari 6 Bab yaitu bab 1: Data tentang Bangsa Nusantara, Bab 2: Para Wali dan Dakwah Islam, Bab 3: Kemunduran Majapahit dan Perkembangan Dakwah Islam, Bab 4: Dakwah Islam Masa Wali Songo, Bab 5: Tokoh-tokoh Wali Songo, serta Bab 6: Wali Songo dan Pembentukan Masyarakat Islam Nusantara. Buku ini juga sebagai sebuah undangan terbuka untuk masyarakat Islam Indonesia untuk mengetahui tentang negara-bangsanya di masa depan, dengan memahami masa lalu dan melihat masa kini.

Pembaca bisa memperoleh pijakan historis yang kuat. Kita akan lebih yakin untuk meneladani, menyebarkan serta mempelajari strategi perjuangan mereka. Sangat penting bagi kaum muda dan masyarakat bangsa yang sudah sangat kritis di era kapitalisme sekarang ini. Sebab, dengan bukti historis yang ada, kaum muda punya kecerdasan dan akumulasi pengetahuan lebih yang dulu dimiliki Wali Songo. Akan mudah dan mau menebar perjuangan Wali Songo, sebagai perintis, pelopor dan provokator kesadaran melawan tatanan anti Tuhan saat ini (baca: kelezatan kekayaan duniawi). Sebuah struktur dan gerak dunia, keadaan zaman Indonesia yang dulu pernah dialami Wali Songo, merubah tatanan Nusantara yang dulu berkiblat poros cinta-dunia.

Belajar dari keberhasilan dalam pembentukan masyarakat Islam Nusantara yang dahulu dilakukan oleh Wali Songo, mampu kita teladani di tengah arus banjir bandang globalisasi yang dahsyat saat ini. Seperti juga yang pernah diteladani oleh Guru Bangsa, KH Abdurrahman Wahid
, yakni gerakan Pribumisasi Islam. Berdzikir, berpikir dan menggerakkan kembali nation-state of Indonesia untuk menggapai matahari kemajuan Republik, pluralisme sejati, kebhinnekaan, kesejahteraan, dan mencinta nilai-nilai utama kemanusiaan. Serta jadi bangsa Indonesia yang unggul, mandiri, tidak lembek yang akan kelak dijadikan mangsa, budak-budak dan kuli oleh para pemuja dan pecinta kelezatan duniawi; laskar Ya’juj Ma’juj Dajjal.

Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aktifis di PB PMII


Puasa dan Pembangunan Karakter Bangsa



Bulan puasa ini di kita berada di tengah krisis bangsa yang belum sepenuhnya pulih, karena fenomena penggerusan karakter bangsa, masih saja terjadi di mana-mana, antara lain merajalelanya korupsi, tindakan kekerasan dan pemujaan pada kekuasaan dan kekayaan yang semakin tinggi, dan dalam kehidupan yang semakin materialistis dan hedonis itu, maka kekuasaan dan kekayaan telah menjadi tujuan hidupnya.

Dalam kehidupan di dunia ini, kita memang membutuhkan kekuasaan dan kekayaan, karenanya keduanya memang diperlukan untuk mewujudkan cita-citanya dalam kehidupan yang lebih baik, tetapi dalam prakteknya tidak selalu demikian, karena kekuasaan dan kekayaan seringkali menjerumuskan seseorang dalam perbuatan yang tidak terpuji. Karena itu, kekuasaan dan kekayaan di samping untuk tujuan kebaikan, juga harus diperoleh dengan cara-cara yang baik pula. Kekuasaan dan kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak baik, akan cenderung melahirkan sesuatu yang tidak baik pula.

Untuk itu, diperlukan kesadaran moral yang tinggi dan kesadaran moral ini tidak datang dengan sendirinya. Kesadaran moral itu dibentuk oleh proses pendidikan yang sistematik dan pelatihan yang panjang. Pendidikan kita sering kali hanya ditekankan pada pembentukan kekuatan intelektual saja. Akibatnya banyak kaum terpelajar yang dilahirkan dari dunia pendidikan kita, justru ikut melahirkan orang-orang yang korup dan menyalahgunakan kekuasaannya, seperti yang terlihat akhir-akhir ini di mana sebagian pejabat dan politisi kita yang terlibat korupsi adalah mereka yang berpendidikan tinggi.

Di sisi lain, kehidupan masyarakat kita semakin permisif sehingga kontrol masyarakat terhadap perbuatan yang tidak baik cenderung melemah. Hal ini disebabkan beban hidup yang dirasakan masyarakat kita makin berat, sehingga tidak mempunyai kekuatan lagi untuk melakukannya, karena energinya sudah terkuras habis untuk mengatasi persoalan hidup dirinya yang semakin sulit dan kompleks. Untuk mengatasi persoalan dirinya saja susahnya setengah mati, apalagi untuk mengurusi orang lain. Akibatnya dari elite hingga rakyat kecil semuanya menjadi egois, hanya mementingkan dirinya sendiri dan sangat individualistik.

Puasa seperti yang difirmankan Allah dalam Alquran 2:183 menegaskan yang artinya :“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Puasa adalah ketakwaan, puasa yang tidak membuat sesorang makin bertakwa adalah sebuah kesia-siaan belaka, karena mereka hanya mendapatkan haus dan laparnya puasa saja, tetapi tidak mendapatkan hikmahnya, tidak mendapatkan berkah, rahmat dan ampunan yang seharusnya didapatkan dengan menjalankan ibadah puasa.

Sedangkan takwa adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sehingga dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan yang tidak terpuji, perbuatan kemungkaran, perbuatan yang dibenci Allah, semuanya itu dapat dilakukan dengan baik semata-mata karena ketakutannya kepada Allah, karena Allah selalu melihatnya, meskipun dia tidak melihat-Nya. Jadi ketakwaan adalah karakter seorang yang beriman kepada Allah secara benar. Ketakwaan adalah buah dari iman dan iman yang tidak melahirkan ketakwaan adalah iman yang dusta dan sia-sia.

Ketakwaan bagi kita bahkan telah dinyatakan sebagai salah satu persyaratan untuk kepemimpinan bangsa, di mana seorang pemimpin bangsa dan pejabat tinggi diharuskan untuk beriman dan bertakwa. Jika seorang pemimpin bangsa atau pejabat tinggi melakukan korupsi dan penyelewengan kekuasaan lainnya, maka sebenarnya persyaratan ketakwaan itu hanya formalitas belaka, tidak ada realitasnya dalam kebijakan dan perbuatannya. Iman dan takwa adalah persyaratan formal saja, bukan dalam tindakan nyata.

Formalitas persyaratan ini barangkali karena kebanyakan umat beragama di masyarakat kita sebagian besar hanya bersifat formal dan hanya menyentuh pada dataran formalisme saja, dengan menjalankan ritual keagamaan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan kesalihan yang konkret. Formalitas keagamaan ini adalah realitas sosial keberagamaan masyarakat kita pada umumnya. Tidak heran kalau masyarakat yang dikenal beragama ini, ternyata dapat melakukan kekerasan atas nama agama, bahkan pengadaan kitab suci pun dikorupnya pula.

Padahal Alquran memberikan isyarat bahwa formalisme keagamaan yang tidak menimbulkan kesadaran untuk melakukan pembelaan konkret terhadap realitas kemiskinan, karena hanya menyentuh aspek luarnya saja, serta suka pamer kekayaan, maka dapat dikategorikan sebagai pendustaan atas agama yang dipeluknya.  Alquran 107:1-7 menegaskan yang artinya :“tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang-orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong untuk memberikan makan orang miskin. Maka celakalah  orang yang salatnya melalaikan dan berbuat riya’ dan enggan memberikan bantuan.

Di tengah bangsa yang sedang dilanda oleh peluruhan karakter dan penggerusan moralitas dengan maraknya kekerasan dan korupsi, maka puasa yang dilakukan dengan baik dan benar, sesungguhnya dapat menjadi bekal dan landasan bagi usaha untuk membangun kembali karaker dalam mengatasi krisis bangsa. Karena itu, janganlah kita berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaganya saja, yang lebih penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah mencapai derajat ketakwaan, sehingga negeri ini mendapatkan berkah dari ibadah dari puasa kita semua, para pemimpin dan rakyatnya sehingga menjadi negeri yang aman, adil dan makmur. Semoga kita masih dipertemukan kembali dengan puasa tahun depan.

Musa Asy'arie

Perilaku Keagamaan dan Filsafat Berbangsa


Tentang Perilaku Keagamaan
Perilaku keagamaan pada umumnya merupakan cerminan dari pemahaman seseorang terhadap agamanya. Jika seseorang memahami agama secara formal atau menekankan aspek lahiriahnya saja, seperti yang nampak dalam ritus-ritus keagamaan yang ada, maka sudah barang tentu juga akan melahirkan perilaku keagamaan yang lebih mengutamakan bentuk formalitas atau lahiriahnya juga. Padahal substansi agama sesungguhnya justru melewati batas-batas formal dan lahiriahnya itu. Dalam Islam, seperti yang ditegaskan kitab suci Alquran 107 yaitu surat al-ma'un tentang siapakah sesungguhnya pendusta agama? yaitu mereka yang menjalankan salat tetapi merela lalai dari makna hakiki salatnya, mereka melupakan makna sosial salatnya, untuk memberikan keselamatan dan memperhatikan nasib pada mereka yang ada di sekitarnya, yaitu mereka yang dalam salatnya melupakan nasib anak yatim dan tidak mau memberikan makanan kepada orang-orang miskin, suka pamer dan tidak mempunyai kepedulian sosial.

Problem kemiskinan dan konflik kekerasaan keagamaan serta komunalisme yang akhir-akhir ini merajalela dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, antara lain disebabkan oleh kuatnya pemahaman di kalangan umat beragama yang lebih menekankan formalisme keagamaannya. Dalam pandangan keagamaan yang formal, maka antara minna yaitu kita yang sekeyakinan agamanya, dengan minhum yaitu mereka yang berbeda keyakinan agama, ada dinding pembatas yang amat tegas yang memisahkannya, bahkan seringkali bermusuhan, sehingga adanya pandangan kesatuan kemanusiaan yang universal dalam agama, hampir tidak dimungkinkannya, karena satu kelompok agama dengan kelompok agama yang lainnya, bisa saling berebut wilayah keagamaan dan umat binaan yang seringkali menimbulkan konflik kekerasaan yang berdarah-darah.

Dalam realitas kehidupan sosial, pemahaman seseorang terhadap suatu agama sesungguhnya berlangsung secara gradual. Dalam Islam dikenal ada tiga tahapan pemahaman, yaitu:
1.      Tahapan iman, yaitu suatu tahapan pemahaman keagamaan yang berlandaskan pada logika teologis yang menetapkan perlunya suatu pandangan ketuhanan yang menjadi sumber bagi sikap dan pandangan hidupnya dalam menghadapi berbagai tantangan yang makin kompleks. Pandangan ini diperlukan sebagai landasan kebenaran dan pembenaran bagi perilakunya. Tanpa landasan kebenaran yang teologis, maka seseorang akan mengalami kebingungan dan kegoncangan dalam kehidupannya sehingga jatuh pada keyakinan anti Tuhan, atheisme. Hampir semua agama memulai pemahaman keagamaan yang dipeluknya dari logika teologis ini.
2.      Tahapan Islam, yaitu tahapan pemahaman keagamaan di mana seseorang telah mengikatkan dirinya pada pandangan etika dalam syariat yang mengatur ketat terhadap perilaku keagamaan yang dianutnya. Di sini aturan etika yang menjadi standar perilaku keagamaan ditetapkan secara jelas dan detail, yang menyangkut apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Konsep halam dan haram begitu jelasnya, sehingga batas perilaku yang boleh dan tidak boleh, menjadi standar penilaian untuk menetapkan siapa yang minna dan siapa pula yang minhum. Bahkan ini berlaku baik dalam kehidupan internal dari aliran-aliran keagamaannya sendiri, maupun bagi kehidupan keagamaan yang eksternal sifatnya. Dalam tahapan pemahaman terhadap etika keagamaan itu, maka perilaku keagamaan menjadi kaku dan rigid dan akibatnya seseorang terjebak pada aturan-aturan yang kaku, yang cenderung anti realitas, anti perubahan dan menolak pluralisme.
3.      Tahapan Ihsan yaitu tahapan pemahaman keagamaan yang telah mampu melewati batas-batas logika teologis dan etis, sehingga seseorang menemukan hakikat keagamaannya itu dalam kedalaman dirinya yang terbuka dengan realitas, dapat menerima dan memahami terhadap pluralitas dengan pandangan yang lebih substansial yang membuat dirinya menjadi lebih arif dan merasakan keindahan dari realitas yang beraneka-ragam, sehingga menjadi proses pengkayaan spiritual yang tidak pernah berakhir. Pada tahapan ihsan ini, maka agama telah membawa pemeluknya untuk menemukan dirinya kembali dalam kebebasan yang substansial berhadapan dengan Tuhan yang memuliakan dirinya melalui perilakunya dalam memuliakan makhluk Tuhan lainnya. Logika teologis dan etis itu bersemayam dalam kedalaman dirinya sendiri yang eksistensial dan aktual, bukan sesuatu yang ada di luar dirinya.

Logika teologis dan etika keagamaan yang formal telah menemukan puncaknya pada pembebasan dirinya dalam pengalaman estetika keagamaan yang substansial. Keanekaragaman dan kemanusiaan universal telah mengantarkan seseorang menjadi lebih arif dalam memandang kebenaran, kemanusiaan dan keanekaragaman, bukan sebagai sesuatu yang terpisah-pisah dan terpecah-pecah, tetapi merupakan kesatuan yang estetik. Pendidikan agama seharusnya tidak boleh berhenti pada suatu tahapan tertentu saja, tetapi dikembangkan sehingga dapat mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan dirinya dalam puncak pengkayaan spiritualitas yang kreatif untuk berhadapan dengan Tuhan yang Maha Kreatif, sehingga terjadi dialektika kreatif dalam menciptakan karya kemanusiaan dan penguasaan sain dan teknologi yang tinggi untuk memajukan suatu peradaban suatu bangsa.

Tentang Filsafat Berbangsa
Berbangsa adalah kesadaran dari suatu individu untuk berada dalam realitas kehidupan sosial dari suatu bangsa, yang di dalamnya selalu ada pluralitas, konflik dan perubahan. Suatu bangsa di mana pun di dunia ini, di dalamnya selalu ada pluralitas yang bertumpu pada adanya keanekaragam dalam setiap individu itu sendiri yang ada di dalamnya. Hakikat suatu bangsa adalah adanya realitas individu-individu, dan hakikat individu itu unik, sehingga satu individu dengan individu lainnya selalu berbeda, baik dalam berpikir, berperilaku maupun dalam pengalaman hidupnya. Pada dasarnya dalam setiap individu itu semuanya berbeda dan tidak pernah seragam. Bahkan individu yang kembar dan keluar dari ibu dan ayah yang sama, sehingguhnya juga berbeda, meskipun mempunyai akar sejarah yang sama yang menunjuk pada ibu dan ayah yang sama pula.

Berbangsa adalah penegasan kesadaran individu terhadap adanya pluralitas dalam realitas kehidupan bangsa. Hal ini disebabkan karena kenyataan kehidupan sosial selalu menunjukkan adanya pluralitas sebagai suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolaknya. Adanya pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara otomatis akan melahirkan adanya konflik, sehingga konflik adalah menjadi keniscayaan dalam pluralitas yang selalu ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, konflik tidak bisa dihindari, tetapi harus dimenej dan dikelola sebagai pendorong bagi lahirnya bentuk-bentuk sintetik baru yang lebih baik, lebih cerdas dan lebih manusawi. Konflik dalam berbagai bentuknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, tidak boleh menjadi proses penghancuran terhadap eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi harus menjadi kekuatan perekat yang bersifat dialektik bagi lahirnya kreatifitas bangsa dalam menemukan bentuk-bentuk sintetik baru.

Konflik adalah fenomena permanen yang memerlukan adanya kemampuan bangsa dalam mengelolanya. Karena itu, diperlukan tingkat kematangan pemikiran yang memadai dan kemampuan intelektual yang matang untuk menerima berbagai ragaman pluralitas, sehingga konflik menjadi kekuatan yang positif dan konstruktif, bukan kekuatan yang negatif dan destruktif . Di sini peranan pendidikan menjadi amat penting, karena tanpa pendidikan yang memadai, konflik cenderung destruktif. Di samping itu, dalam mengelola konflik juga diperlukan tingkat kesejaheraan hidup yang cukup, sehingga konflik bukan karena disebabkan alasan kebutuhan untuk makan dan mencari uang, tetapi menjadi kekuatan peradaban yang akan meneguhkan eksistensi bangsa di tengah-tengah peradaban dunia.

Dengan adanya pluralitas dan konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan sendirinya akan selalu terjadi perubahan yang terus menerus. Ada pergerakan untuk maju dan melampui batas-batas kapasitasnya terus menerus. Perubahan pada hakikatnya adalah jalan untuk mempertahankan eksistensi berbangsa dan bernegara. Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, menolak perubahan pada hakikatnya menolak kehidupan itu sendiri, sehingga adanya kekuatan status quo yang menolak suatu perubahan atau anti perubahan, pada akhirnya akan berhadapan dengan hukum kehidupan yang tidak mungkin ditolaknya. Filsafat berbangsa adalah filsafat yang menegaskan bahwa eksistensi suatu bangsa terletak pada adanya penghormatan yang tinggi terhadap pluralitas, konflik dan perubahan. Tanpa adanya penghormatan terhadap pluralitas, konflik dan perubahan, maka sesungguhnya tidak ada kesediaan untuk berbangsa.
Perilaku Agama Bagi Bangsa
Perilaku keagamaan yang dapat memperkuat eksistensi bangsa adalah perilaku keagamaan yang dapat mendidik umat beragama untuk dapat menghormati adanya pluralitas, konflik dan perubahan, bukan perilaku keagamaan yang tidak mampu menghormati pluralitas, sehingga konflik berkembang ke arah yang destruktif dan menjadi kekuatan yang anti perubahan.

Dalam tahapan ini, maka institusi agama seharusnya dibebaskan dari belenggu politik praktis yang bertujuan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan bagi-bagi kekuasaan yang ujung-ujung adalah bagi-bagi uang yang cenderung korup, dan pada akhirnya akan menjadi proses pembusukan bagi institusi agama itu sendiri. Institusi agama akan jatuh di bawah kekuasaan politik praktis. Fenomena ini terlihat ketika para tokoh agama terseret dalam tindakan politik praktis, mendirikan partai politik untuk ikut memperebutkan kekuasaan, dan menjadi kepentingan dari kekuasaan, dan akhirnya menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri.

Konflik kekerasaan yang menyeret agama, sesungguhnya terjadi karena adanya konflik politik dan ekonomi, yang kemudian memanipulasi agama untuk menjadi alat legitimasinya. Akibatnya konflik terjadi dengan memanipulasi konsep keagamaan yang memberikan batas yang tegas antara minna dan minhum. Konsep minna dan minhum ini dipertegas dan dipertajam oleh logika telologis dan etis, sehingga dapat memainkan psikologi massa dan dapat mengaduk-aduk emosi massa untuk bertindak brutal.

Dalam situasi Indonesia seperti yang sekarang ini, dimana kehadiran pemerintah tidak terlalu kuat dan efektif, dengan demokrasi yang dikontrol kekuatan kapital, maka telah memungkinkan komunalisme bergerak atas nama faham keagamaan tertentu dengan mempertajam adanya kesenjangan sosial, kemiskinan dan pengangguran yang makin meluas, serta ketidak-adilan hukum yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil, maka dipastikan terjadi konflik kekerasaan yang berdarah-darah atas nama faham keagamaan.

Situasi sosial dan politik akan mengantarkan kehidupan bangsa ke dalam jurang kekacauan dan anomali nilai-nilai dan perilaku semakin merajalela, ketika insitusi keagamaan juga telah jatuh dan dikuasai oleh kekuatan kapital, sehingga pelaksanaan demokrasi justru mempertajaman kesenjangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya dan agama, sehingga akan menjadi proses pembusukan kehidupan bangsa oleh demoralisasi politik kekuasaan, dan akhirnya akan berujung adanya revolusi sosial sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, baik di Yunani, di dunia Islam, bahkan di Barat ketika dikuasai oleg kekuasaan gereja di abad pertengahan.

Jika fenomena sosial di atas ini terus terjadi, maka akibatnya eksistensi bangsa akan mengalami peluruhan dan penghancuran, karena eksistensi bangsa itu akan tercabik-cabik oleh konflik kekerasaan atas nama faham keagamaan. Penyelesaiannya tentu tidak bisa hanya dengan pendekatan militer dan kekuasaan, tetapi harus disertai dengan kemampuan untuk menyelesaikan akar masalahnya, yaitu mengatasi kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, ketidak-sejahteraan dan pendidikan.

Karena itu, harus ada kesediaan bangsa ini untuk berani memikirkan ulang terhadap tata kehidupannya sendiri secara fundamental, apakah demokrasi yang telah disandera oleh kekuatan kapital yang terjadi sekarang ini akan diteruskan sehingga akan melahirkan revolusi sosial? Apakah kesediaan untuk menghormati pluralitas kebangsaan masih cukup kuat untuk dapat menjaga keutuhan eksistensi bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? Akankan kita biarkan pendidikan aliran keagamaan yang cenderung menolak pluralisme dan multi-kulturalisme yang menjadi pilar penyangga utama bagi kehidupan bangsa akan mencabik-cabik persatuan bangsa? Akan mampukah kita mempertahankan NKRI di tengah proses pemiskinan bangsa dalam berbagai aspeknya disertai adanya ketidak-adilan sosial di mana-mana?

Memaknai Puasa Sebagai Solusi Bangsa



Setiap tahun umat Islam diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa sebulan lamanya, yaitu di bulan Ramadan. Dengan penuh suka cita umat Islam menyambut kedatangannya sebagai bulan yang penuh berkah, ampunan dan rahmat Allah. Puasa adalah untuk Allah, seperti yang ditegaskan dalam niat setiap orang yang menjalakannya, yaitu “lillahi”, hanya untuk Allah saja.Karena itu, puasa harus dijalankan dengan penuh ketulusan, kesabaran, kejujuran dan kerendah hatian.

Diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai derajat ketakwaan. Alquran 2:183 menegaskan yang artinya : wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajiban atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Tradisi berpuasa dengan berbagai versinya adalah tradisi keagamaan pada umumnya, yang juga dijalankan oleh berbagai agama, seperti Yahudi, Kristen bahkan Budha.

Sedangkan siapakah orang yang bertakwa yang dimaksudkan? Alquran 2:3-5 memberikan penjelasan yang artinya : “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang melaksanakan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan, dan mereka yang beriman kepada yang telah diturunkan kepadamu dan yang telah diturunkan sebelummu, serta tentang akhirat mereka yakin. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung”.

Jika ditarik benang merahnya, maka puasa adalah takwa, puasa tanpa ketakwaan adalah puasa yang hanya mendapatkan lapar dan dahaganya saja. Puasa yang sia-sia belaka. Sedangkan orang yang bertakwa adalah orang yang beriman dan beramal salih. Iman tanpa amal salih adalah iman yang sia-sia, sedangkan amal salih tanpa iman adalah suatu kedustaan, karena kesalehan pada hakikatnya merupakan pancaran dari iman kepada yang gaib, yaitu Tuhan, bukan pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sementara sifatnya, baik kepentingan untuk kekuasaan, kekayaan maupun interes pribadi.

Puasa yang kita jalankan diharapkan dapat meningkatkan kepedulian kita terhadap tuntutan kemanusiaan universal yang dewasa ini sedang mengalami penggerusan hebat di mana-mana, baik oleh kemiskinan dalam berbagai dimensinya, ketidak adilan yang makin sulit diwujudkan dalam kehidupan masyarakat yang makin plural, korupsi yang terus merajalela dalam berbagai aspek kehidupan, dan konflik kekerasan yang masih saja terjadi di berbagai belahan bumi ini.

Puasa seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari problem. Puasa seharusnya memberikan kesejukan, bukan kegalauan. Puasa seharusnya memberikan kedamaian bukan bukan konflik kekerasan. Puasa seharusnya memperkuat kebersamaan bukan perpecahan. Puasa seharusnya memberikan pencerahan bukan kesempitan berpikir. Jika puasa dapat menjadikan bangsa ini makin takwa, yang dijadikan salah satu syarat bagi kepemimpinan nasional, maka puasa akan menjadi solusi bagi bangsa ini. Semoga.


 Musa As'arie

Aksiologi Puasa



Aksiologi adalah cabang filsafat tentang nilai, di dalamnya membicarakan kajian tentang hakikat nilai-nilai, yaitu 1) kajian nilai benar dan salah yang dikembangkan dalam logika, 2) kajian nilai baik dan jahat yang dikembangkan dalam etika dan 3) kajian nilai indah dan buruk yang dikembangkan dalam estetika. Salah satu sumber nilai-nilai yang tak pernah kering adalah agama, karena agama yang diyakini umatnya sebagai ajaran tentang nilai-nilai yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan pedoman hidup dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Alquran 1:2 menegaskan yang artinya : itulah al-kitab, tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”.

Karena itu, setiap ajaran agama yang mana pun, jika ditelurusi dengan cermat, selalu mempunyai dasar nilai-nilai yang kuat. Demikian juga halnya dalam puasa. Kekuatan logika puasa adalah untuk menahan dan mengekang hawa nafsu manusia, karena kalau hawa nafsu telah menguasai aqalnya, maka seluruh potensi berpikir yang ada dalam dirinya akan digunakan untuk merealisasikan hawa nafsunya.Dalam kaitan ini, maka kita melihat betapa canggihnya suatu kejahatan itu dirancang dan dilaksanakan, baik dalam kehidupan politik, ekonomi dan budaya dengan rekayasa teknologi yang canggih, sehingga dapat memperdaya banyak manusia dan menjadikan korbannya.

Puasa sesungguhnya dimaksudkan untuk membebaskan berpikir dari kekuasaan hawa nafsu, dengan mengambil jarak dengan hawa nafsunya dan kemudian mengendalikannya dengan banyak berpikir, berzikir dan bersedekah yang secara bersamaan yang selalu dianjurkan dalam berpuasa. Dengan demikian maka berpikir seseorang akan berada dalam jalan yang lurus untuk mencari  solusi dan memecahkan persoalan secara positif dan konstruktif bagi kemashlahatan bersama.

Adapun puasa juga menjadi bagian penting dalam pembentukan etika untuk meneguhkan diri manusia agar selalu peduli dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk menjaga dan menjalankan nilai-nilai etika dalam kehidupan masyarakat. Etika adalah bangunan dasar dari eksistensi kehidupan masyarakat. Karena itu, jika suatu masyarakat sudah kehilangan dimensi etikanya, maka masyarakat itu akan mengalami kehancuran total. Puasa sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga dan mewujudkan nilai-nilai etika suatu masyarakat agar kehidupannya menjadi lebih baik, lebih produktif dan lebih bermanfaat.

Sedangka estetika puasa sesungguhnya adalah lahirnya suatu harmoni dan keseimbangan hidup manusia, di mana dimensi-dimensi spiritual mendapat perhatian yang besar untuk dapat mempertajam pikirannya, perasaannya, hati nuraninya dan kepeduliannya dengan berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan di sekitarnya. Suasana yang diciptakan puasa sangat mendukung terbangunnya kekuatan estetik di dalam dirinya, dengan keterharuan yang secara otomatis terbangun dalam proses berpikir, berzikir dan beramal salih menjadi kesatuan aksi manusia dalam realitas kehidupannya.

Bagi seorang muslim yang menjalankan puasa dengan penuh ketulusan, kesabaran, kejujuran dan kesungguhan, maka puasa adalah sesuatu yang amat dirindukan dalam kehidupannya. Kehidupan yang sungguh estetik tanpa rekayasa. Keindahan yang terpancar dari iman yang tulus dan pengabdian kepada Tuhannya. Keindahan yang samat sulit dilukiskan tetapi begitu kuat dirasakan. Karena itu, umat Islam selalu menyambut datangnya Ramadan dengan penuh suka cita.Marhaban ya Ramadan selamat datang wahai bulan ramadan. Kerinduan dan cinta kasih yang kemudian tercurah sangat indah dalam hidmatnya berpikir, berzikir dan beramal salih.

Puasa adalah ibadah yang sarat nilai dan dapat membentuk kepribadian yang kuat memegangi dan mengimplementasikan nilai-nilai logika, etika dan estetika dalam pratek hidupnya secara utuh. Karena itu, puasa yang dijalankan dengan benar dan ikhlas, akan membentuk suatu kepribadian yang kuat dan unggul untuk menghadapi realitas kehidupan yang kompleks. Di sinilah yang menjadi kunci apakah puasa bisa menjadi solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi seseorang atau tidak. Semoga puasa kita berhasil membentuk dan meningkatkan ketakwaan kita dan masih dipertemukan lagi dengan Ramadan yang akan datang.



Musa As'arie

Pancasila, Persepsi, dan Ketuhanan



Ketika firman Tuhan diturunkan melalui seseorang yang dipilih-Nya, kemudian diikuti sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat, firman itu melembaga menjadi agama. Ia kemudian berkembang menjadi institusi sosial yang hidupnya bertumpu pada kekuatan solidaritas sosial para pemeluknya.

Pada saat agama telah menjadi  institusi sosial, dengan sendirinya melibatkan diri dalam dinamika pluralitas,  konflik dan perubahan yang terus menerus. Akibatnya agama sebagai institusi sosial terlibat dalam konflik kepentingan politik dan kekuasaan yang seringkali mengambil bentuk kekerasan, baik secara internal dalam kehidupan agamanya sendiri, maupun secara eksternal  dalam kehidupan berbagai agama yang ada dalam masyarakat.

Karena itu, dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai kemiskinan, ketidak-adilan dan kesenjangan yang tajam, radikalisme keagamaan sebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial melawan kesenjangan  ekonomi dan politik yang ada. Di sinilah kemutlakan agama dijadikan landasan melakukan perlawanan sosial terhadap kesenjangan ekonomi dan politik yang memicu kekerasan sosial.

Teologi dan Kekerasan
Tuhan fundamental dalam kehidupan agama. Agama tanpa Tuhan bukan agama lagi, tetapi Tuhan bukan agama itu sendiri, karena Tuhan tidak pernah beragama yang mana pun.  Tuhan menjadi sumber agama yang mana pun juga.

Dalam konteks kebertuhanan, peranan persepsi sangat besar, karena setiap orang yang beragama akan selalu mempersepsikan tentang Tuhannya yang jadi sandaran dari agama yang dianut. Jikalau persepsi orang itu berbeda-beda tentang Tuhan, apakah bisa diartikan bahwa Tuhan itu berbeda-beda, dan dengan demikian dapatkah dikatakan bahwa apakah Tuhan itu banyak?

Meskipun suatu keniscayaan, persepsi sebenarnya relatif, karena sangat subyektif: tergantung dari mana melihatnya dan kapan. Persepsi seseorang terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Hanya realitas artifisial yang dikonstruksikan. Maka ada dua realitas:  realitas itu sendiri yang otonom, dan realitas yang dibangun  dalam persepsi seseorang terhadap realitas.

Dalam realitas kehidupan sosial keagamaan, persepsi tentang Tuhan itu, telah menjadi realitas fenomenal yang meluas. Setiap orang beragama dan komunitas agama memersepsikan Tuhannya sendiri-sendiri. Akibatnya persepsi tentang Tuhannya berbeda-beda. Nama Tuhan-nya bisa sama, tetapi isi kesadaran yang dibentuk oleh persepsinya tentang Tuhan sebenarnya berbeda satu sama lain.
Adanya persepsi tentang Tuhan boleh dan sangat wajar. Namun, menganggap bahwa persepsinya tentang tuhan itu patut dipertanyakan kebenarannya. Tuhan sesungguhnya berbeda dengan tuhan yang dipersepsikannya. Persepsi tentang tuhan  bukan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan itu tidak terbatas, sedangkan persepsi bersifat terbatas. Keterbatasan persepsi seseorang membuat keterbatasan menkonstruksi ketidak terbatasan menjadi terbatas.

Yang kemudian menjadi masalah:  ketika persepsi seseorang tentang Tuhan itu dianggap Tuhan dan dimutlakkan kebenarannya. Sesungguhnya Tuhan tidak bisa dimonopoli oleh siapa pun:  kyai, pendeta, pastur atau siapa pun. Dalam kenyataan sejarah, perang dan kekerasan dalam kehidupan internal agama atau pun dalam kehidupan eksternal agama terjadi karena masing-masing memperebutkan tuhan persepsi yang ia mutlakkan. Mereka sesungguhnya berperang bukan untuk Tuhan, melainkan untuk persepsi mereka saja.

Dalam Pancasila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya berada di atas Tuhan Persepsi, karena Tuhan Yang Maha Esa telah melintasi batas-batas Tuhan dalam suatu agama. Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan yang ada dalam semua agama dan diakui oleh semua agama. Bukan lagi Tuhan persepsi, tetapi sudah menjadi pengalaman kebertuhanan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa itu kehilangan makna dan kekuatannya, ketiga terjatuh dalam Tuhan Persepsi. Itulah yang lalu memengaruhi  dan membentuk perilaku keagamaan seseorang dalam hidup berbangsa dan bernegara: orang lain yang berbeda persepsi tentang Tuhan dianggap salah dan sesat.

Radikalisme keagamaan yang memicu dan memacu konflik kekerasan  melawan kesenjangan ekonomi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesungguhnya bermula dari Tuhan persepsi ini. Harus ada ketegasan Negara meletakkan sila pertama Pancasila  bukan sebagai Tuhan persepsi, tetapi sebagai Tuhan Persepsi, melainkan sebagai Tuhan empirik yang menjadi praktek hidup nyata dalam berkemanusiaan yang adil dan beradab, mewujudkan persatuan Indonesia, dan melaksanakan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan serta dalam perilaku berkeadilan sosial.

Jika tak mampu tegas, Negara akan terseret dalam konflik Tuhan persepsi yang berdarah-darah dan  kian sulit untuk menjadikan sila-sila berikutnya dalam praktek hidup berbangsa dan bernegara secara aktual dan konkret.


Musa As'arie

Kesalehan Vs Kemungkaran



Belakangan ini, kita kerap disuguhi adegan penggerebekan dan penggusuran. Dua kata tersebut kini telah menjadi ”momok” buat sebagian masyarakat terutama mereka yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial, maupun agama.

Para pedagang kali lima, gelandangan, pengemis, WTS, waria, serta sejumlah ”identitas” masyarakat lainnya kerap jadi obyek tindakan ”main undang-undang” dan juga ”main hakim sendiri”. Nasib mereka seolah-olah jadi bulan-bulanan pihak aparat ataupun kelompok-kelompok tertentu di negeri yang konon menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi ini.

Menjamurlah fakta adanya perlakuan sekelompok masyarakat berpayung ormas keagamaan yang melarang kelompok lain untuk mengekspresikan diri.

Aksi main gerebek sekelompok umat Islam jelas bukan representasi sikap umat Islam secara keseluruhan. NU prihatin atas aksi main hakim sendiri.

Organisasi apa pun di luar kepolisian tak berhak membubarkan kegiatan yang dinilai menyalahi aturan. Ormas keagamaan mestinya lebih bijaksana bersikap dan bertindak agar tak terjadi benturan, lebih-lebih penilaian negatif terhadap agama tertentu. Agaknya ada sesuatu yang ”tidak beres” di negeri ini menyangkut jaminan keselamatan warga negara dan semangat tenggang rasa termasuk di lingkungan keagamaan. Tak heran, tindakan penggerebekan sering menggema atas nama agama sehingga massa mudah tersulut secara herois dan militan.

Dulu muncul gegeran akibat tesis Huntington tentang ”benturan peradaban”. Namun, benturan ternyata tak hanya seputar arena politik dan demokrasi. Seturut waktu, ia meluas pada soal kemanusiaan yang lebih kompleks, seperti perceraian, aborsi, persamaan jender, hak kaum homoseks, dan prostitusi. Terjadi garis pemisah yang menebal antara nilai modernitas dan globalisasi dengan sikap keagamaan. Ketegangan ini lazim dirumuskan sebagai musykilah al-ashalah wa al-hadatsah, ketegangan antara keotentikan dengan modernitas, yang terlimpah antara desa lawan kota, buta huruf lawan pendidikan, kepasrahan lawan ambisi, atau kesalehan lawan kemungkaran.

Versi kesalehan kemudian disifati dengan sikap selektif dan reaktif, didesain untuk memberlakukan kembali nilai dan norma yang dihubungkan dengan tradisi tak bercacat yang diyakini berlaku pada masa lalu. Mentalitas kesalehan ini adalah antipermisif dan memperhadapkan secara keras segala asusila. Ia terpancung untuk melakukan aksi sapu bersih dalam segala hal termasuk terhadap apa yang disebut penyakit sosial. Yang terjadi kemudian, tak ada pemisahan antara yang diny (ajaran keagamaan) dan mana yang tarikhi atau tsaqafi (historis-kultural). Diktum amar ma’ruf nahy munkar lebih ditafsir sebagai upaya mencari kebenaran dengan kekerasan. Suatu tindakan yang mengingatkan kembali pada kelompok Khawarij yang muncul pada awal-awal sejarah Islam.

Fikih Penggerebekan
Apakah boleh menggerebek dan merusak lokasi-lokasi kemungkaran? Syeikh Ibrahim bin Amir al-Ruhaili dengan tandas mengatakan, tidak boleh! Bahkan ini termasuk kemungkaran tersendiri. Mengubah kemungkaran dengan kekuatan tangan merupakan hak waliyul amr (pemerintah). Tindakan melampaui batas yang dilakukan sebagian orang terhadap tempat maksiat dengan menghancurkan dan membakar, atau juga pemukulan, merupakan kemungkaran tersendiri, dan tidak boleh dilakukan.

Para ulama telah sepakat masalah mengingkari dengan kekuatan tangan merupakan hak penguasa. Sabda Nabi Muhammad, ”Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya.”

Makna kemampuan dalam hadits ini, bukan seperti yang dibayangkan kebanyakan orang, yaitu kemampuan fisik untuk memukul atau membunuh, tetapi kemampuan syar’iyah. Yang berhak melakukan, orang yang punya kemampuan syar’iyah. Yaitu, pengingkaran terhadap mereka tak akan menimbulkan kemungkaran lain. Orang yang melihat pelaku kemungkaran hendaknya lapor ke polisi, atau para ulama, atau dai, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang memiliki wewenang. Dengan penyelidikan saksama akan dapat diatasi dengan cara yuridis.

Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’’l Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, kekerasan yang tak membuahkan kemaslahatan dan hanya melahirkan yang lebih buruk tak boleh digunakan karena yang harus dilakukan adalah dengan hikmah. Penghukuman hanya boleh dilakukan para penguasa. Manusia biasa hanya bertugas menjelaskan kebenaran dan mengingkari kemungkaran. Mengubah kemungkaran, lebih-lebih dengan tangan, ini dibebankan kepada para penguasa. Merekalah yang berkewajiban mengubah kemungkaran sejauh kemampuan karena mereka yang bertanggung jawab terhadap perkara ini.

Jika seseorang ingin mengubah kemungkaran dengan tangannya setiap kali melihat kemungkaran, ini akan melahirkan kerusakan. Yang tepat, harus mengikuti hikmah dalam perkara ini. Kata Syeikh Utsaimin, ”Anda bisa mengubah kemungkaran di rumah yang di bawah kekuasaan Anda, tetapi mengubah kemungkaran di pasar dengan tangan, bisa menimbulkan hal yang lebih buruk daripada kemungkaran tersebut. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya Anda menyampaikan kepada yang mempunyai kemampuan untuk mengubah kemungkaran di pasar.”

Hukum yang benar—menyitir Muhammad al-Ghazali, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir—mesti jadi sarana dakwah Islam, bukan sebagai penopang fatwa-fatwa parsial yang justru membuat orang-orang Islam sendiri yang berbuat dosa dan maksiat lari dari tobat dan hidayah. Fatwa sebagai salah satu produk hukum sesungguhnya tidak mempunyai kekuatan yang mengikat (ghairu mulzimah). Apalagi, fatwa yang menyeru pada terorisme, kekerasan atau pula aksi gerebek dan main hakim sendiri jelas akan berbenturan dengan nilai-nilai universal Islam (al-mashalih al’ammah) yang menjadi tujuan ideal syariat Islam (maqashid al-syari’ah).

Walhasil, jelaslah hukum Islam telah mengatur segala tindakan secara bijak dan elok. Prinsipnya, Islam melarang sikap semena-mena. Pada zaman globalisasi ini, agama sudah sepatutnya mau hidup berdampingan dengan realitas lain, dan Islam bisa menjadi agama yang ikut menegakkan kemanusiaan di masa depan.

Said Aqiel Siradj Ketua Umum PBNU



Peran Perguruan Tinggi dalam Memantapkan Pancasila sebagai Falsafah dan Ideologi Negara



Oleh Prof Dr KH Said Aqiel Sirodj MA
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Indonesia merupakan negara yang besar terdiri dari ribuan kepulauaan yang terpencar sepanjang Nusantara, itupun diperkaya dengan suku, bahasa, agama dan budaya yang sangat beraneka ragam. Meskipun kita ini beraneka ragam tetapi bangsa ini juga dibekali dengan falsafah pemersatunya yaitu Pancasila, yang terbukti mampu menyatukan bangsa bhineka atau majemuk ini di tengah badai disintegrasi yang sering dihadapi bangsa ini.

Tidak semua bangsa memiliki falsafah dalam berbangsa dan bernegara seperti Indonesia. Falsafah ini begitu mendasar dan komprehensif, sehingga kemudian bisa dikukuhkan sebagai dasar dan ideologi negara. Indonesia mampu melahirkan ideologi tesendiri di tengah kuatnya dominasi ideologi Marxisme-Komunisme dan Kapitalisme-Imperialisme yang berkembang saat itu. Ini merupakan prestasi bangsa yang sangat berharga. Bangsa lain menaruh hormat dan segan pada kita, karena mampu membangun prestasi besar ini. Tetapi banyak di anatara kita sendiri yang tidak bisa menghargai prestasi ini, sehingga Pancasila disia-siakan, dianggap tidak relevan kemudian ditinggalkan. Sementara banyak bangsa lain iri hati dengan kita yang memiliki Pancasila, ada yang ingin belajar dengan sungguh-sungguh. Tetapi ada yang ingin melenyapkannya secara diam-diam, menggantinya dengan ideologi lain.

Saat ini kita dihadapkan pada kenyataan Pancasila akan diambil dan diadopsi bangsa lain menjadi falsafah hidup mereka, dan ada pula yang berusaha menghancurkannya. Di sinilah kita perlu bersikap dan sekaligus bertindak memelihara dan menyelamatkan falsafah bangsa dan ideologi negara ini yaitu Pancasila. Saat ini Pancasila mulai digerogoti oleh ideologi lain baik dari kalangan Islam radikal maupun dari kelompok liberal. Keduanya manawarkan ideloginya sendiri baik ideologi Islam maupun ideologi liberal kapitalistik. Mereka berusaha pelan-pelan agar Pancasila tersingkir dari sistem politik, ekonomi dan budaya kita. Hal itu terbukti bahwa saat ini banyak undang-undang tidak lagi merujuk pada nilai-nilai Pancasila. Di sini kita perlu membangun kekuatan baru untuk menegaskan kembali Pancasila baik sebagai falsafah bangsa maupun sebagai ideologi negara. Sebagaimana kekayaan nasional yang lain, Pancasila perlu dibentengi, dipelihara dan diselamatkan dan dikembangkan agar terus relevan, sebagai pegangan hidup bersama.

Benteng Pancasila
Pancasila sebagai kekayaan bangsa yang sangat berharga dan terbukti sangat relevan dalam menyatukan dan menjadi pegangan bagi bangsa ini. Karena itu ideologi negara ini perlu dijaga digali kembali maknanya dan dikembangkan. Lembaga negara tentunya paling bertanggung jawab untuk hal ini, tetapi dalam kenyataannya saat ini lembaga negara belum cukup peduli dengan masalah ini, maka perguruan tinggi harus berdiri di depan, begitu pula ormas-ormas yang ada seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini sudah gigih mempertahankan dan mengembangkan Pancasila.

Sebagai perguruan tinggi yang menyandang nama besar Pancasila, maka Universitas Pancasila, sesuai dengan namanya dan tujuan didirikannya, tentu saja paling bertanggung jawab dalam melestarikan, menyelamatkan, menggali, dan mengembangkan Pancasila, agar universitas ini tidak mengalami ironi seperti universitas yang lain. Banyak universitas yang namanya menggunakan nama tokoh bersejarah seperti nama-nama Walisongo, tetapi tidak memiliki kajian yang mendalam tentang wali yang bersangkutan misalnya kajian terhadap strategi budaya Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan sebagainya.

Begitu juga Universitas Gadjah Mada belum memiliki kajian yang mendalam tentang sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh tokoh besar di zaman Majapahit tersebut. Begitu pula Universitas Diponegoro juga belum memiliki kajian terhadap sistem dan strategi pertahanan Diponegoro, justru buku tentang Diponegoro ditulis oleh sarjana lain bahkan bangsa lain. Ini dialami oleh hampir seluruh universitas yang menggunakan nama tokoh nasional. Untuk itu  jangan sampai Universitas Pancasila menambah ironi-ironi semacam ini, namanya Universitas Pancasila tapi belum menjadi pusat kajian Pancasila. Buku Negara Pancasila tulisan Dr. KH. As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU itu mestinya mendapat apresiasi serius dari universitas ini, karena ini merupakan kajian Pancasila pasca Orde Baru, dengan cara pandang baru sesuai dengan era keterbukaan pasca reformasi.

Pancasila sebuah konsep yang dirumuskan secara singkat dan padat tetapi serba melingkupi, karena itu mudah diterima oleh semua pihak. Kalangan agama terutama NU memandang bahwa pancasila sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana ditegaskan dalam Munas NU tahun 1983 bahwa sila Ketuhanan Yang  Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia mencerminkan  tauhid menurut pengertian keimanan Islam. Ditegaskan pula bahwa penerimaan dan pengamalan pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Karena itulah bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila itu tidak bersifat politis dan teknis, tetapi lebih bersifat syar’i. Begitu juga agama yang lain menerima Pancasila karena sejalan dan tidak bertentangan dengan keyakinan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila memiliki relevansi bagi kehidupan bangsa ini. Pertama, relevansi religius, yaitu sejalan dengan agama yang ada di Indonesia. Kedua, memiliki relevansi filosofis, yaitu merupakan sumber tata-nilai dalam menjalin hubungan antar manusia. Ketiga, memiliki relevansi politik, yaitu berfungsi sebagai faktor integratif yang mampu menyatukan bangsa yang berbeda aliran dan ideologi politiknya.

Nilai-nilai dasar Pancasila baik yang bersifat religius, nilai filosofis dan nilai politis, serta budaya itu yang perlu terus dikaji dan dikembangkan. Dan kalangan universitas-lah yang mestinya serius melakukan kajian yang mendalam seperti itu. Dengan demikian Pancasila akan menjadi falsafah hidup yang menarik bagi generasi muda dan sekaligus sebagai ideologi politik yang benar-benar operasional, sehingga terlaksana dalam kehidupan nyata. Selain itu banyak hal-hal yang perlu dikaji mulai dari sejarah kelahiran Pancasila itu sendiri, hingga upaya penggalian maknanya serta strategi penerapannya.


Beberapa Langkah Penting
Penegasan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi ini juga merupakan penegasan untuk menjaga semangat Bhineka Tunggal Ika bangsa ini. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu ditegaskan kembali bahwa: Untuk menjaga  posisi Pancasila sebagai dasar dan falsasah negara yang merupakan sumber hukum tertinggi, maka segala bentuk hukum dan perundang-undangan yang ada di Republik Indonesia baik UUD 1945 ataupun undang-undang lainnya haruslah merujuk pada Pancasila. Segala bentuk hukum yang tidak sejalan dengan Pancasila apalagi bertentangan, harus dinyatakan batal demi hukum itu sendiri. Saat ini banyak hukum dan Undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila karena itu harus segera direview karena ini jelas-jelas telah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat Indonesia.  Padahal jelas tujuan Pancasila adalah untuk menciptakan persatuan, gotong royong serta Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.

Dengan penegasan ini diharapkan Pancasila ditempatkan kembali pada posisinya semula yaitu: sebagai dasar dan ideologi negara serta falsafat bagi seluruh masyarakat dan bangsa, sehingga akan melahirkan masyarakat Pancasila yang hidup guyub, gotong royong, bersatu padu dalam membangun bangsa Inddonesia. Sistem hidup kekeluargaan sebagaimana diajarkan dalam Pancasila itulah yang semestinya diterapkan saat ini untuk mengembalikan solidaritsa sosial dan untuk menghindarkan terjadinya berbagai konflik kepentingan yang berkembang di masyarakat kita dewasa ini. Jaminan kerukunan sosial dan keamanan nasional merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat Adil dan Makmur yang dicitaa-citakan Pancasila.

Ini merupakan agenda besar yang harus dipikirkan dan  dipikul oleh segenap bangsa ini. Karena itu dalam Munas NU di Cirebon bulan September 2012 baru-baru ini mengajak bangsa ini agar Kembali Ke Khittah Indonesia 1945, yaitu kembali pada semangat Proklamasi membangun negara yang merdeka dan Berdaulat. Kembali pada nilai-nilai Luhur Pancasila dan kembali pada amanat Mukadimah UUD 1945. Hal itu perlu ditegaskan kembali karena bangsa mengalami keterpurukan dan kehilangan jati diri ketika jauh meningalkan semangat Proklamasi dan tujuan didirikannya negeri ini, menyimpang dari falsafah Pancasila dan mengingkari amanat Mukadimah UUD 1945.

Sebagaimana sering saya tegaskan bahwa Pancasila tidak boleh hanya dipahami secara politik atau secara instrumental, sebagai alat pemersatu bangsa belaka. Tetapi lebih dari itu Pancasila harus dipahami secara substantif yaitu sebagai sumber tata nila, yang  merupakan falsafah dalam berbangsa dan bernegara, sehingga perlu terus-menerus dihayati dan dirujuk dalam setiap menata kehidupan. Dengan pendirian semacam itu, walaupun banyaknya Konvensi Internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun belum diratifikasi oleh Pemerintah RI, sama sekali tidak boleh menggeser sedikitpun kedudukan Pancasila sebagai sumber tertinggi  hukum dan tatanilai bangsa Indonesia.

Perlu diperhatikan juga bahwa ikhtilaf atau polemik mengenai hari lahir Pancasila yang sengaja dimunculkan kembali  belakangan ini harus segera diatasi melalui kajian sejarah yang komprehensif. Bagaimanapun Pemunculan ikhtilaf ini, sangat membahayakan keberadaan dan kewibawaan Pancasila. Para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara terutama pemerintah harus tegas menetapkan bahwa Pancasila lahir 1 Juni 1945. Ini dinyatakan oleh Penggalinya sendiri yaiutu Bung Karno, dan diakui oleh Penggali yang lain yaitu Mr. Muhammad Yamin serta  dibenarkan Para Ulama seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri. Dengan penegasan ini diharapkan tidak akan terjadi penggeseran terhadap sejarah dan status Pancasila sebagai dasar negara Republik Indponesia.

Sebagai langkah penting untuk membentengi Pancasila sebagai  keputusan yang telah ditetapakan oleh para pendiri bangsa ini yang mewakili seluruh elemen masyarakat, elemen agama dan elemen golongan, bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah dalam bernegara. Dengan demikian, maka siapa saja dan organisasi apa saja  yang terang-terangan bertentangan apalagi melawan  ideologi Pancasila haruslah ditetapkan sebagai organisasi kriminal bahkan subversif yang tidak boleh leluasa mengembangkan ajarannya di negara Pancasila ini.

Sebagai langakah mendasar yang perlu dilalui adalah mengajarkan Pancasila baik di sekolah maupun organaisai sejak mulai usia dini. Karena Pancasila merupakan falasafah hidup yang mengajarkan dan memberi tuntunan tentang pergaulan hidup sehari-hari yang penuh teposeliro, tolong menolong dan saling menghargai. Falsafah hidup ini yang perlu ditanamkan sejak dini, karena ini merupakan ajaran leluhur bangsa ini, sehingga mudah diterima dan bisa diinternalisasi menjadi kesadaran yanag melekat pada setiap orang.

Penutup
Kajian yanag serius dan mendalam terhadap pancasila perlu dilakukan oleh perguruan tinggi, agar kajian yang dilakukan memiliki kualifikasi ilmiah sebagaimana yang banyak dituntut saat ini, sehingga bisa dibandingkan dengan teori ilmiah yang lain. Langkah kreatif yang sudah dirintis oleh Prof Mubyarto dari UGM dalam memperkenalkan sistem ekonomi Pancasila perlu diteruskan oleh universitas yang lain, terutama Universitas Pancasila. Saat ini sangat diperlukan adanya rumusan yang komprehensif mengenai sistem politik Pancasila atau rumusan dasar tentang demokrasi Pancasila, atau rumusan tentang sistem kebudayaan Pancasila dan seterusnya. Sebagai pendukung Pancasila, maka NU siap membantu pikiran dan tenaga pada Universitas Pancasila untuk melakuakan kajian Pancasila, karena NU telah memiliki banyak ulama dan sarjana yang serius mengkaji Pancasila secara sukarela.

Kenapa Marxisme begitu luas dikaji dan dijadikan sebagai pisau analisa membedah situasi. Kenapa sistem liberalisme-kapitalisme begitu mendalam mempengaruhi para intelektual dan politisi serta aktivis kita. Tidak lain karena ajaran dan ideologi mereka dirumuskan secara ilmiah dan diturunkan menjadi strategi dan teknik secara operasional. Maka falsafah pancasila ini juga perlu mendapatkan kajian yang sama sehingga bisa dirumuskan menjadi teori ilmiah yang valid dan meyakinkan sehingga layak dijadikan rujukan bahkan pegangan. Semuanya ini tugas besar yang menunggu sentuhan para ilmuwan di perguruan tinggi seperti universitas yang menyandang nama besar yaitu Universitas Pancasila ini.