KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL PENDIDIKAN


A.    Latar Belakang
Melihat realita yang terjadi dalam lembaga pendidikan, kadang kita menemukan suatu ketidakwajaran dalam ruang kelas. Ruang keas sebagai pusat transfer knowledge dan value ini kadang tidak di dukung dengan keadaan yang ada. Sebagai subyek utama dalam pembelajaran yaitu guru dan murid tidak diberengi dengan factor pendukung lainnya. Seperti halnya kuota kelas yang melebihi kapasitas, ruang kelas yang tak layak pakai, dan fasilitas lainnya yang jauh dari harapan.
Untuk itu dalam pembahasan ini mengenai ruang kelas disinggung bagaimana ruang kelas yang secara tertulis dalam standar nasional pendidikan. Ruang kelas sebagai tempat yang ideal antara guru dan murid ini juga menyinggung bagaimana kedua subjek ini saling bersosialisasi sehingga suatu sistem sosial, interaksi, dan pertukaran. Sosialisasi dalam dunia pendidikan menghasilkan sebuah organisasi, budaya, dan sistem sosial
B.     Rumusan Masalah
1.      Desain ruang kelas menurut Standar Nasinal Pendidikan (SNP)
2.      Dinamika hubungan guru-murid,  murid-murid di ruang kelas
3.      Fungsi ruang kelas sebagai sistem sosial, sistem interaksi dan sistem pertukaran pendidikan
4.      Sekolah sebagai organisasi
5.      Budaya sekolah
6.      Sekolah sebagai sistem sosial pendidikan




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Desain Ruang Kelas menurut SNP
 Dalam UU No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwasanya SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di wilayah hukum NKRI. Kriteria minimum merupakan standar minimal yang harus di penuhi oleh system  pendidikan. Terdapat 8 lingkup standar nasional pendidikan. Salah satu diantaranya adalah standar sarana dan prasarana.
Di jelaskan pada bab VII pasal 42 ayat 2 “Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.” Selanjutnya di kuatkan pada pasal 44 dan 45 Lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) untuk bangunan satuan pendidikan, lahan praktek, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan untuk menjadikan satuan pendidikan suatu lingkungan yang secara ekologis nyaman dan sehat. (2) Standar lahan satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio luas lahan per peserta didik. (3) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan pendidikan sejenis dan sejenjang, serta letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan pendidikan yang menjadi pengumpan masukan peserta didik. (4) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan jarak tempuh maksimal yang harus dilalui oleh peserta didik untuk menjangkau satuan pendidikan tersebut. (5) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, dan kesehatan lingkungan. 
Pasal 45 
(1)                Standar rasio luas ruang kelas per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Standar rasio luas bangunan per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. 

Dalam SNPTP yang terbaru …tahun 2013, perencanaan proses pembelajaran meliputi penetapan tempat/kelas untuk pembelajaran, beban kerja dosen, penyiapan sumber belajar, dan pengelolaan proses pembelajaran. (2) Jumlah mahasiswa per kelas untuk tiap mata kuliah atau blok mata kuliah disesuaikan dengan karakteristik mata kuliah atau blok mata kuliah yang memungkinkan interaksi antara mahasiswa dengan dosen untuk memenuhi capaian pembelajaran. (3) Ukuran kelas terdiri atas: a. kelas pada program sarjana paling banyak 40 (empat puluh) mahasiswa; b. kelas pada program magister dan program doktor, serta program profesi paling banyak 20 (dua puluh) mahasiswa; c. kelas  pada program diploma paling banyak 30  (tiga puluh) mahasiswa; d. kelas pada  program spesialis dan sub spesialis paling banyak 10 (sepuluh) mahasiswa; e. kelas praktikum, bengkel, dan studio paling banyak 20 (dua puluh)mahasiswa; f. kelas praktik lapangan dan industri disesuaikan dengan kapasitas lapangan/industri; g. kelas untuk tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi disesuaikan dengan beban kerja pembimbing; h. kelas kuliah mimbar/umum dapat merupakan gabungan dari dua atau lebih kelas untuk perkuliahan.


B.     Dinamika Hubungan Guru dan Murid di Ruang Kelas
Beberapa hal yang mempengaruhi dinamika kelas antara lain:
1.      Ukuran Kelas
Ruang kelas yang diisi oleh siswa yang terlalu banyak akan menyulitkan bagi guru untuk melakukakan proses dan pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang telah dicita-citakan. Semakin sedikit jumlah peserta didik dalam ruang kelas, maka semakin baik proses dan pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan, maka hubungan sosial antara guru dan murid menjadi lebih intens, akrab, dan lebih personal.
Ruang kelas kecil jika diisi dengan jumlah murid yang sedikit, maka akan lebih dinamis. Jumlah peserta didik yang besar pada ruang kelas kecil akan terkesan lebih sumpek dan ribut. Namun apabila ruang kelas yang besar dan diisi dengan murid yang esar pula, makan guru tidak akan mampu mnguasai secara efektif proses pembelajaran. Sebaliknya apabila ruang kelas yang besar diisi dengan murid yang sedikit, maka akan terkesan senyap.

2.      Konteks Sosial Kelas
Konteks sosial kelas meliputi beberapa aspek dari latar belakang murid seperti usia, jenis kelamin, ras, kesukuan, status sosial dan ekonomi.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen, perbedaan latar belakang yang mencerminkan stratifikasi sosial, akan mepengaruhi interaksi sosial antara guru dengan murid serta antar murid yang berbeda latar belakangnya.
Mengenai homogenitas, warga setiap kelas memiliki ciri homogenitas, antara lain dari segi usia peserta didik. Ada sekolah yang mencoba membuat  homogenitas siswa berdasarkan tingkat kecerdasan. Eberapa siswa yang memiliki kelebihan intelektual ditempatkan dalam satu kelas. Cara ini dianggap sebagai upaya mempertahankan kualitas dan mencari bibit unggul. Homogenitas hanya efektif untuk mengembangkan program-program khusus, sedangkan pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan semua elemen masyarakat, dengan homogenitas kecerdasan, justru akan terhambat. Anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan kurang baik tidak akan terangsang untuk mengejar kemundurannya. Sebaliknya, dalam keadaan heterogenitas, kesadaran siswa bisa terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah mendapat rangsangan untuk meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari homogenitas berdasarkan kcerdasan hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, memperburuk rasa rendah diri siswa yang kurang cerdas. Kedua, memicu kesombongan dikalangan anak-anak yang tergolong cerdas.

3.      Teknologi Kelas
Teknologi kelas berupa pengaturan tempat duduk murid seperi setengah baris atau setengah lingkaran dan penggunaan komputer dapat mempengaruhi dinamika kelas. Secara umum,  anak-anak Indonesia menulis dari kiri ke kanan dan menggunakan tangan kanan. Pencahayaan selalu diposisikan kearah kiri. Kemudian, bila ruang kelas berbentuk segi empat, tempat duduk para siswa di Indonesia berderet dari depan kebelakang dan kesamping. Sementara itu, posisi papan tulis diletakkan ditengah-tengah dan meja guru dipinggirnya, baik sebelah kanan atau sebelah kiri. Tempat duduk dengan posisi yang demikian berpengaruh terhadap intensitas komunikasi antara siswa dan guru. Tata letak duduk para siswa juga dapat mempengaruhi dinamika kelas. Tata letak duduk siswa yang berbentuk setengah lingkaran maupun lingkaran akan menciptakan ruang kelas lebih dinamis. Karena, tata letak setengah lingkaran atau lingkaran memberikan posisi yang menyebabkan para siswa saling memandang dan mengetahui ekspresi satu sama lain.
      Penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat memperlancar dinamika siswa dalam ruang kelas. Penggunaan komputer oleh peserta didik, perlu diarahkan oleh guru, sehingga proses dan tujuan pembelajaran dan pendidikan dapat dicapai seperti yang diinginkan.
4.      Struktur Komunikasi
Struktur komunikasi dua arah antara para murid dan guru akan menciptakan ruang kelas yang dinamis. Struktur komunikasi antara guru dan murid, tidak lepas dari kreatifitas guru dikelas, pandangan guru tentang hubungannya dengan para peserta didik, dan budaya sekolah yang melingkupinya.
5.      Suasana Sosial
Suasana Sosial suatu kelas berkaitan dengan bagaiman atmosfer dari suatu kelas dihuungkan dengan ketergantungan, keharmonisan, penghargaan, dan pengakuan. Ruang kelas merupakan tempat terjadinya sosialisasi dan implementasi nilai, norma, dan pengetahuan, dan ketrampilan. Nilai-nilai kemandirian, kejujuran, persaingan sehat, optimisme, dan kerja keras merupakan nilai-nilai yang disosialisasikan diruang kelas. Dengan sosialisasi ini akan menciptakan ruang kelas yang lebih dinamis dalam proses pemelajaran dan pendidikan sekolah.

C.    Fungsi ruang kelas sebagai sistem sosial, sistem interaksi dan sistem pertukaran pendidikan
1.      Ruang Kelas sebagai Sistem Sosial
Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang saling fungsional antara satu sama lain, yaitu guru, murid, atau manajemen sekolah. Setiap actor memerhatikan status dan peran sebelum mereka bertindak dan berperilaku. Status aktor, apakah ia sebagai guru, murid, atau manajemen sekolah diharapkan memainkan peran sebagai pengelola yang efektif dari sisi teknis administratif serta menyediakan sarana dan prasarana sekolah yang dibutuhkan. Selanjutnya, status sebagai guru diharapkan untuk berperilaku sebagai seorang pendidik, pengayom, pengasuh, dan pemberi motivasi bagi peserta didik. Adapun sebagai status sebagai murid, umumnya, diharapkan untuk berperilaku sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran. Dalam ruang kelas, hubungan antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing membentuk suatu jaringan hubungan terpola. Pola jaringan hubungan antara guru dan murid akan memberikan dampak terhadap perilaku, kompetensi, capital sosial budaya, dan keberhasilan peserta didik di masa yang akan datang.
2.      Ruang Kelas sebagai Sistem Interaksi
Hubungan guru-murid terdiri dari dua pihak yang terikat pada suatu ikatan moral dan etika profesi kependidikan. Sebelum mereka membentuk hubungan guru-murid, sebagai individu, masing-masing mereka memiliki motif, keinginan, kepentingan, kebutuhan, dan orientasi sendiri tentang berbagai macam hal berkaitan dengan pendidikan dan kependidikan. Pada masa awal pendidikan, hubungan antara mereka, suami dan isteri, sedang mengalami penjajakan pembentukan pola. Masing-masing individu, baik guru maupun murid memberikan sinyal, tanda, persepsi, sikap, dan tindakan tentang sesuatu yang berkaitan dengan hubungan mereka. Setelah masa penjajakan berakhir, secara perlahan, muncul pola hubungan antara guru dan murid. Dalam pola hubungan guru-murid telah terbentuk, tidak semua motif, keinginan, kepentingan, kebutuhan dan orientasi yang dimiliki oleh guru dan masing-masing murid tercakup dalam pola ini. Namun ketika suatu pola hubungan guru-murid telah terbentuk, maka ia menjadi milik bersama dan menjadi rujukan dalam perilaku dan tindakan masing-masing individu, baik guru dan murid. Dalam pola hubungan ini berisi berbagai “kesepakatan”, seperti tentang disiplin, kebersihan, kerapihan, pekerjaan rumah, kuis, ulangan harian, UTS dan UAS. Dalam “kesepakatan” ini terkandung prinsip bahwa mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain., antara guru dan semua murid, dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar. Polahubungan ini juga menjadi pengontrol perilaku masing-masing. Pola hubungan ini dilihat sebagai system interaksi.
            Ruang kelas sebagai sistem interaksi dikaji secara mendalam dalam teori ruang kelas dengan pendekatan interpretatif. Pendekatan ini meletakkan aktor yang terlibat, baik guru maupun murid, sebagai mahluk yang aktif dan kreatif dalam membangun dunianya, dalam hal ini kaitannya dengan ruang kelas. Ruang kelas sebagai sistem interaksi dipenuhi oleh fenomena definisi situasi, interpretasi realitas, dan pemaknaan terhadap kenyataan yang dihadapi.
3.      Ruang Kelas sebagai Sistem Pertukaran
Hubungan guru-murid sebagai suatu sistem pertukaran terbentuk apabila ada unsur atau item, dalam hal ini guru dan para murid, memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus menerus ajek. Dalam sistem pertukaran, guru dan murid di pandang mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam rangka memperoleh keuntungan, baik bersifat ekstrinsik berupa materi dan benda maupun intrinsic berupa nilai (peringkat), penghargaan, pengakuan, perhatian, cinta, dan kasih saying. Apa yang dilakukan oleh guru berujung pada pendataan finansial yang layak, penghargaan, pengakuan, dan kecintaandari para murid, orang tua/wali murid, dan kepala sekolah. Adapun para murid dalam proses pertukaran berusaha memperoleh nilai (peringkat), [enghargaan, kasih saying, perhatian, dan cinta dari guru.
D.    Sekolah sebagai organisasi
Sekolah sebagai organisasi adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hokum maupun yang tidak berbadan hokum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan Negara. Sebagai mahluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Terbentuknya lembaga sosial itu berawal dari individu yang saling membutuhkan kemudian timbul aturan-aturan yang dinamakan norma masyarakat.[1]

Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam penyusunan/ penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan maksud menempatkan hubungan antara orang-orang dalam kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Penentuan struktur, hubungan tugas dan tanggung jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah tercapainya tujuan bersama.
Organisasi sekolah yang baik menghendaki agar tugas-tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuannya dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan kemampuan dan wewenang yang telah ditentukan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sesudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan formal ini tercapai sepenuhnya. Kita mengetahui unsur personal di dalam lingkungan sekolah adalah, kepala sekolah, guru, karyawan, dan murid. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada di bawah instansi atasan baik itu kantor dinas atau kantor wilayah departemen yang bersangkutan. Di negara kita, kepala sekolah adalah jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga ia berperan sebagai pemimpin sekolah dan dalam struktur organisasi sekolah ia didudukkan pada tempat paling atas.
Melalui struktur organisasi yang ada tersebut orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, apa tugas guru, apa tugas karyawan sekolah (yang biasa dikenal sebagai pengawai tata usaha).
Demikian juga terlihat apakah di suatu sekolah dibentuk satuan tugas (unit kerja) tertentu seperti bagian UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), bagian perpustakaan, bagian kepramukaan, dan lain-lain sehingga keadaan ini tentunya akan memperlancar jalannya "roda" pendidikan di sekolah tersebut.
Dengan organisasi yang baik dapat dihindari tindakan kepala sekolah yang menunjukkan kekuasaan yang berlebihan (otoriter). Suasana kerja dapat lebih berjiwa demokratis karena timbulnya partisipasi aktif dari semua pihak yang bertanggung jawab. Partisipasi aktif yang mendidik (pedagogis) dapat digiatkan melalui kegairahan murid sendiri yang bergerak dengan wadah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).  Oleh karena itu di dalam memikirkan pembentukan organisasi sekolah, maka fungsi dan peranan OSIS tidak boleh dilupakan.

E.     Budaya sekolah

Sekolah adalah institusi social. Institusi adalah organisasi yang dibangun masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Untuk maksud tersebut sekolah harus memiliki budaya sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan potensi dirinya masing-masing.
Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di di sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur lain sebagai subordinasi.( Kennedy, 1991 )
Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).
Budaya sekolah yang positif akan mendorong semua warga sekolah untuk bekerjasama yang didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga, mendorong munculnya gagasan-gagasan baru, dan memberikan kesempatan untuk terlaksananya pembaharuan di sekolah yang semuanya ini bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah untuk belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh suatu iklim bahwa belajar adalah menyenangkan dan merupakan kebutuhan, bukan lagi keterpaksaan. Belajar yang muncul dari dorongn diri sendiri,intrinsic motivation, bukan karena tekanan dari luar dalam segala bentuknya. Akan tumbuh suatu semangat di kalangan warga sekoalah untuk senantiasa belajar tentang sesuatu yang memiliki nilai-nilai kebaikan.
Budaya sekolah yang baik dapat memperbaiki kinerja sekolah, baik kepala sekolah, guru, siswa, karyawan maupun pengguna sekolah lainnya. Situasi tersebut akan terwujud manakala kualifikasi budaya tersebut bersifat sehat, solid, kuat, positif, dan professional. Dengan demikian suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan untuk bekerja keras dan belajar mengajar dapat diciptakan.
Budaya sekolah yang baik akan secara efektif menghasilkan kinerja yang terbaik pada setiap individu, kelompok kerja/ unit dan sekolah sebagai satu institusi, dan hubungan sinergis antara tiga tingkatan tersebut. Budaya sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja di sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif dan profesional.
Budaya sekolah sehat memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang. Oleh karena itu, budaya sekolah ini perlu dikembangkan.
Menurut Zamroni budaya sekolah ( kultur sekolah ) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut. Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang memungkinkan sekolah dapat tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada.

F.     Sekolah sebagai sistem sosial pendidikan
Sekolah adalah sebuah konsep yang mempunyai makna ganda. Pertama, sekolah berarti suatu bangunan atau lingkungan fisik dengan segala perlengkapannya yang merupakan tempat untuk menyelenggarakan proses pendidikan tertentu bagi kelompok manusia tertentu. Dengan demikian, apabila kita mendengar perkataan “sekolah” maka yang terbayang adalah lingkungan fisik seperti  itu. Bayangan sekolah sebagai lingkungan fisik seperti itu diperkuat dengan keseragaman relative mengenai bentuk bangunan dan perlengkapannya,sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi fisik sekolah-sekolah yang sejenis dan setingkat relative sama. Kedua,sekolah berarti suatu proses atau kegiatan belajar mengajar. Kita bisa menggunakan istilah “menyekolahkan” anak, atau mengatakan”anak  saya bersekolah SMP Negeri 1”. Dalam hal ini apabila mendengar perkataan”sekolah”maka yang terbayang di kepala kita adalah proses pendidikan itu sendiri.
Jadi dalam hal ini sekolah dipandang sebagai sebuah pranata untuk memenuhi kebutuhan khusus tertentu. Bisa juga “sekolah”diartikan sebagai sebuah organisasi ,yaitu organiasi social yang mempunyai struktur tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan. Sesungguhnya ketiga pengertian itu selalu berdampingan,karena proses belajar berjalan dalam sebuah lokasi dan diselenggarakan oleh organisasi yang mempunyai struktur dan tujuan tertentu. Penampilan keterpaduan antara ketiga makna tersebut dipengaruhi oleh berbagai factor seperti jumlah,tingkat usia, serta karakteristik lain yang menandai orang-orang yang terlibat didalamnya serta tujuan,program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan,lama waktu penyelenggaraan,dan pendekatan yang digunakan. Akan tetapi diantara semuanya itu terdapat persamaan yaitu bahwa setiap lembaga yang dinamakan sekolah berperan mengurusi manusia,bukan mengurusi benda-benda mati.
Dalam mengurusi manusia, sekolah mempunyai ciri-ciri yang bersamaan dengan rumah sakit, rumah penjara,rumah perawatan anak-anak terlantar. Persamaan karakteristik yang terdapat pada lembaga atau badan yang mengurusi manusia adalah:
1.      Bahwa yang diurusi (klien) itu bersifat sementara. Ini berarti bahwa sesudah selesai mendapatkan pelayanan lalu klien itu pergi tanpa terimakasih.
2.      Sampai  batas-batas tertentu keberhasilan pelayanan memerlukan partisipasi pihak lain.
3.      Klien itu sangat heterogen,masing-masing membawa karakteristik sendiri,sehingga menimbulkan masalah-masalah khusus yang harus ditangani secara tersendiri.
4.      Semua badan itu harus menyadari bahwa kliennya dapat mempengaruhi organisasi dan stafnya yang tidak terduga sebelumnya.
Sekolah dirancang untuki melaksanakan pembimbingan dalam sebagian perkembangan hidup manusia. Sekoilah melanjutkan proses sosialisasi yang telah dilakukan sebelumnya yaitu dalam keluarga dan lingkungan sekitar rumah tangga,dan menyiapkan anak untuk memasuki tahapan hidup selanjutnya. Hal ini yang membedakan sekolah dari organisasi lain yang mengurusi manusia adalah bahwa sekolah menghadapi kliennya dalam bentuk kelompok,bukan sebagai individu seperti yang terjadi dirumah sakit terhadap pasiennya atau di rumah penjara terhadap tahanan-tahanannya. Juga sekolah menetapkan terlebih dahulu penerimaan klien dan pengeluaran mereka,sedangkan rumah sakit dan rumah penjara tidak melakukannya.
Kehidupan merupakan sebuah sistem yang terdiri atas berbagai sub sistem yang pada gilirannya bisa dipandang sebagai suatu system pula. Sub system=sub system itu bukan saja berkaitan satu sama lain melainkan juga saling tergantung. Mereka berbagai fungsi untuk kelangsungan hidup dan eksistensi sistem secara keseluruhan.
Setiap sekolah memiliki komponen-komponen sarana fisik seperti lahan,bangunan (kantor, ruang belajar,jamban,dan lain-lain),kurikulum,dan orang-orang (guru,pimpinan,karyawan non edukatif, dan pelajar). Komponen-komponen tersebut menyumbang dengan fungsi dan perannya untuk keberhasilan lembaga. Sebagai sebuah system,sekolah mempunyai keterkaitan dengan sistem lain yang jumlahnya tidak sedikit. Sistem luar itu meliputi antara lain orang tua siswa,komuniti sekitar sekolah dll. Pola hubungan antara sekolah dengan system lain diwarnai dan diisi dengan informasi-informasi yang berarah timbale balik. Input atau timbal balik itu dapat berupa dorongan bagi sekolah untuk mengadakan perubahan pada struktur atau interaksi edukatif di dalamnya atau untuk mempertahankan yang telah ada. Umpan balik yang menimbulkan perubahan disebut morfogenis,sedangkan yang mendorong untuk mempertahankan corak struktur dan interaksi yang telah ada dinamakan umpan balik yang bersifat morfostatis.




[1] Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed, Sosialisasi Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm 143 

0 komentar:

Posting Komentar