Mari Membaca Lagi Sirah Nabi



Perjalanan bangsa Indonesia sekarang ini rasanya semakin jauh saja dari ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW. Bangsa Indonesia sekarang ini sejatinya sedang berada pada zaman kegelapan yang luar biasa mencekam. Masyarakat hidup dalam suasana anomi dan penuh anomali. Korupsi dan mafia hukum merajalela, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sampai ke tingkat pegawai negeri sipil muda belia. Di banyak tempat, terus berkecamuk kerusuhan yang berdimensi primordial dan agraria yang mirip aksi sepihak (terbalik) seperti prolog peristiwa Gerakan 30 September 1965 dulu.

Kepercayaan rakyat terhadap hukum telah mengalami kemerosotan ke titik yang paling nadir. Pedang hukum begitu tajam terhadap rakyat kecil, tetapi tumpul terhadap penguasa dan pengusaha kaya yang menguras kekayaan alam. Kewibawaan pemimpin puncak merosot drastis. Seorang belia ingusan yang baru satu tahun menjadi aktivis sudah berani memaki-maki DPR dan presiden di layar televisi. Suasana saling tidak percaya berkembang di kalangan elit dan di semua level masyarakat.

Melihat fenomena semacam ini, rasanya infrastruktur politik dan hukum kita tidak mampu menopang beban yang berat ini. Maka, begitu banyak orang pesimistis, apatis, dan frustasi memikirkan masa depan bangsa ini secara politis an sich. Kita sebagai bangsa sudah waktunya kembali ke jalan Tuhan. Kita perlu kembali menengok sirah (sejarah hidup) Nabi Muhammad SAW, Sang Suri Tauladan Agung. Kita sedang diganjar Tuhan dengan berbagai macam bencana dan krisis karena kita telah terlalu jauh meninggalkan ajaran-ajaran-Nya yang dibawa Rasul-Nya itu.

Politik yang semula merupakan bidang pengabdian yang sangat mulia, di mana di sana ada nobles oblige, kini telah berubah menjadi bidang yang kotor yang paling tidak disukai rakyat gara-gara suap dan korupsi. Sudah tiba waktunya kita melakukan semacam moratorium nasional, taubat kolektif, atau “taubat kebangsaan”. Dalam suasana moratorium ini, kita baca kembali perjalanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang kinasih itu. Siapa tahu, air mata kita menetes dan kemudian tersadar bahwa kita sebagai bangsa benar-benar sedang tersesat dalam kegelapan. Dan, siapa selain Allah yang mampu mengeluarkan kita dari kegelapan menuju terang benderang (min al-dhulumat ila al-nur)?

Marilah kita hadirkan lagi Nabi SAW dalam kehidupan ini. Kita baca lagi Hayatu Muhammad karya Dr. Husein Haikal (yang diterjemahkan Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad,yang fenomenal itu). Husein Haekal adalah seorang cendekiawan, doktor ilmu hukum, juga mantan menteri dan politikus Mesir yang pernah frustasi berjuang di lapangan politik. Dia mundur dari politik dan kemudian menulis biografi Nabi yang notabene menjadi biografi best-seller abad ini!

Ia juga menulis biografi Abu Bakar Ash-shiddiq dengan judul Ash-shiddiq Abu Bakar (setebal 391 halaman), Al-Faruq Umar (864), Utsman Ibn Affan (300), dan Ali Ibn Abi Thalib (290), karena Haekal wafat, diselesaikan oleh putranya). Membaca tiga buku itu sekaligus, kita akan mendapatkan hikmah yang luar biasa besar. Tidak sekali atau dua kali membaca ketiga buku itu, sebagaimana kita membaca buku Detik-detik terakhir Kehidupan Rasulullah karya Firdaus A.N, air mata kita selalu menitik setiap sampai pada bagian-bagian yang menggambarkan bagaimana para sahabat kinasih itu berinteraksi dengan Nabi SAW, utamanya pada saat akhir kehidupannya yang agung itu.

Betapa dahsyat cinta mereka kepada Rasulullah dan betapa besar kasih Rasulullah kepada keduanya. Bagaimana seorang Umar bin Khattab yang gagah perkasa, pemarah, dan temperamental itu luruh, luluh, dan lunglai begitu mendapatkan kepastian bahwa Rasulullah benar-benar telah wafat.

Demikianlah arti Rasulllah SAW bagi para sahabatnya dan semestinya juga bagi kita sekalian. Dia adalah suri teladan (al-uswah al-hasanah) yang sempurna dan paripurna, sebab dia adalah pengejawantahan par excellence kitab suci Al-Quran. Bahkan lebih dari itu, Nabi SAW adalah Al-Quran berjalan (the living Quran). Dan karena itulah, keteladanan Nabi Muhammad SAW berlaku dan relevan untuk kapan saja dan dimana saja (shalih li kulli zaman wa makan). Keteladanannya bersifat mondial, eternal, dan universal.

Dalam perspektif inilah sangat relevan bagi bangsa Indonesia membaca kembali sirah nabinya, Muhammad SAW, kemudian menghadirkannya dalam lanskap kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila ini. Cara-cara sekuler terbukti tidak mampu membawa bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan. Kesombonganlah yang telah membuat bangsa ini tidak dituntun sunah Rasulullah dalam mengelola Negara besar ini sehingga berada di ambang kehancuran yang luar biasa. Semoga tidak terjadi al-fitnatu al-kubra di negeri ini.

Hajriyanto Y Thohari

0 komentar:

Posting Komentar