Pernah dengar nama Jackie Chan?
Berbincang tentang mendidik anak, khususnya berkait dengan anak kita yang mulai
beranjak remaja, ada kisah menarik dari bintang Kung Fu asal Hongkong ini.
Penga¬laman dramatis yang mengubah kehidupan Jackie Chan selanjutnya sebagai
orangtua.
Suatu ketika, ia tergerak untuk menjemput anaknya di
sekolah, setelah cu¬kup lama ia tidak pernah melakukan. Menjelang waktu bubar,
ia sudah siap di depan pintu gerbang SD tempat anaknya belajar. Satu per satu
siswa keluar dan Jackie menatap mereka de¬ngan cermat, kalau-kalau anaknya
sudah keluar. Lama ia menunggu, tapi anaknya tidak kun¬jung kelihatan.
Ia tunggu lagi beberapa saat lamanya, tapi anaknya
tetap saja tidak segera keluar. Khawatir anaknya masih di sekolah, Jackie
memutuskan untuk tetap menunggu hingga akhir¬nya seorang anak keluar ketika
sekolah itu telah sepi. Segera saja Jackie melompat menghampiri. Ternyata anak
kecil itu bukan anaknya.
Jackie Chan kemudian menemui kepala sekolah. Dan
inilah peristiwa yang sangat me¬ngesankan itu. Peristiwa yang sulit sekali
dilupakan. Dengan penuh wibawa, kepala sekolah berkata, “Maaf, Tuan. Anak Anda
sudah tidak di sini lagi. Sudah lulus dua tahun yang lalu. Saya kira, anak Anda
sekarang sudah SMP.”
Sudah SMP? Padahal semenjak awal berangkat menjemput,
ia sangat yakin anaknya masih belajar di SD. Jadi, sudah seberapa lama ia tidak
pernah mengingat urusan sekolah a¬naknya sehingga sampai tidak tahu kalau
anaknya sudah lulus SD? Padahal, tanpa bertanya setiap hari pun mestinya kita
bisa tahu kelas berapa anak kita jika mengingat berapa tahun mereka bersekolah.
Seperti Jackie Chan, kerapkali kita merasa mengenal
anak-anak kita, padahal tidak ada yang kita ketahui kecuali namanya. Kita
tinggal satu rumah dengan mereka, sebab mereka memang masih belum sanggup untuk
menyediakan tempat tinggal sendiri. Setiap hari kita berkumpul bersama mereka,
tetapi nyaris tak mengenali satu per satu anak kita. Sebabnya, ke¬sempatan kita
bersama mereka lebih banyak berisi perintah-perintah daripada berbincang ber¬sama
dengan penuh kehangatan sembari bercanda.
Omong-omong, sudahkah Anda mengenal anak Anda? Anda
masih ingat warna kesu¬kaan anak Anda yang sekarang beranjak remaja? Anda tahu
sayur yang paling tidak disukai¬nya? O…, dia suka segala jenis sayur? Apa yang
paling disukai dari berbagai jenis sayur yang ada? Masih ingat gaya belajar
anak Anda? Situasi apa yang paling ia sukai untuk belajar? Dan ssst…. kapan
anak Anda mimpi basah? Masih ingat? Dari mana Anda mengetahui peristiwa
tersebut?
Maafkan saya…, pertanyaan-pertanyaan tersebut sekedar
untuk menyegarkan ingat¬an kita terhadap anak? Apakah kita sudah mengenalnya
dengan baik atau belum? Kalau kita pernah mengenalnya, apakah kita masih
mengingatnya dengan baik atau tidak.
Yang jelas, sulit bagi kita untuk mengenal anak kita
sendiri jika setiap pertemuan ha¬nya berisi kalimat perintah. Kita hujani
mereka dengan instruksi, sementara komunikasi tidak terjadi. Sebab, syarat
terjadinya komunikasi adalah kesediaan untuk saling mendengarkan dan memahami,
meski telinga kita tuli. Sesungguhnya kunci komunikasi ada pada telinga. Bukan
pada lisan.
Meski demikian, pertemuan yang hanya berisi instruksi
itu masih “lebih baik”. Setidak¬nya masih ada kesempatan bertemu. Sebagian kita
bahkan memberi perintah saja tak sempat karena sedikitnya kesempatan untuk
berkumpul atau bahkan sekedar berjumpa. Kita merasa tak punya waktu karena
banyaknya kesibukan yang menyita perhatian kita, meski sebab uta¬manya karena
kita memang tidak mencadangkan waktu buat mereka. Sebagian lainnya ingin
menyisihkan waktu, tetapi tak banyak kesempatan untuk melakukan. Atau kita
punya waktu bersama mereka, meski sebentar sekali, tetapi kita tidak secara
sengaja meluangkan waktu buat mereka. Sangat berbeda, punya banyak waktu
bersama anak dengan meluangkan waktu untuk anak.
Nah. Apakah yang telah kita berikan kepada anak-anak
kita? Kapankah terakhir kita memuji mereka? Kapankah terakhir mereka bercanda
dengan kita? Kapan terakhir kita terta¬wa bersama mereka? Kapan terakhir mereka
memeluk kita? Kapan terakhir kali kita berterima-kasih atas perbuatan baik
mereka? Kapan terakhir kali mereka berterima kasih kepada kita? Kapan pula
terakhir kali kita meminta maaf kepada mereka atas kesalahan-kesalahan kita?
Su¬dah lama?
Mereka sekarang sudah remaja. Bukan anak-anak lagi.
Kapan mereka mulai berubah? Masih ingat? Sempatkah menyiapkan mereka untuk
memasuki masa perubahan agar mereka tidak guncang? Krisis identitas bukanlah
takdir para remaja. Tetapi itu terjadi karena kita lupa menyiapkan orientasi
hidup, visi sebagai Muslim, orientasi keluarga dan tidak terkecuali ori¬entasi
studinya. Semua ini harusnya sudah selesai saat mereka memasuki kelas enam SD.
Se¬lanjutnya mereka harus memiliki perasaan mampu (sense of competence) yang
sangat kuat se¬bagai manusia dewasa. Usia 10 tahun adalah gerbang kedewasaan.
Usia 11-14 tahun adalah tangga yang harus mereka lalui dengan penuh percaya
diri serta arah yang jelas dan kuat. Mu¬dah-mudahan usia 16 tahun
–selambat-lambatnya 21 tahun— mereka telah menjadi pribadi dewasa yang benar-benar
matang.
Kematangan ilmu, percaya diri yang tinggi, tujuan
hidup yang jelas dan kuat, serta keyakinan yang tak tergoyahkan di atas akidah
yang lurus inilah yang kita jumpai pada ku¬run terbaik generasi Islam. Jika
usia 16 tahun Imam Syafi’i telah memiliki kelayakan memberi fatwa, hari ini
mereka yang berada di usia itu sedang genit-genitnya disebut anak baru gede
(ABG).
Apa yang salah pada kita? Karena jarangnya kita
berbincang dengan anak, kita kurang membangun tujuan hidup mereka. Karena
lemahnya kedekatan kita dengan anak-anak, me¬reka menjadi pribadi yang rendah
percaya dirinya. Mereka tak punya arah yang jelas disaat memasuki masa remaja.
Karena kurangnya kita memberi kesempatan kepada mereka untuk mengambil
tanggung-jawab, menghadapi tantangan dan menemui resiko, mereka tak kunjung
matang sebagai pribadi.
Astaghfirullahal ‘adziim. Alangkah jauhnya kita dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). Membaca kisah Nabi SAW,
terlihat betapa dekatnya ia dengan anak cucunya. Ada kehangatan yang luar
biasa. Dari kehangatan itulah kemudian lahir ketaatan, rasa hormat, serta
kecintaan yang amat kuat pada diri putri-putri Rasulullah SAW hingga para
cucunya yang dimuliakan Allah Ta’ala. Dari kehangatan dan kedekatan itu pula
lahir pribadi-pribadi matang penuh percaya diri yang langkahnya memancarkan
cahaya bagi dunia.
Islam mempersingkat masa kanak-kanak dan mempercepat
tercapainya kedewasaan. Tetapi hari ini kita memperpanjang masa kanak-kanak itu
sedemikian panjangnya.
Apa yang salah pada kita? Ataukah kita sudah
sedemikian sibuknya sehingga lupa mempersiapkan mereka untuk menjadi manusia
dewasa pada waktu kelak? Ataukah kita yang sibuk dengan diri sendiri sehingga
lupa tidak belajar mengenal anak-anak kita sendiri?
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar