Sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum
Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para
nabi terdahulu.
Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh
Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir
bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan
sehari berbuka.
Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya
adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk
mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”
Pernyataan Dawud
AS tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa
Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).
Nabi Musa AS
kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan
puasa selama 40 hari (QS. Al Baqarah: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10
bulan Muharram yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang
diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun.
Puasa 10 Muharram
ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul SAW menegaskan umat Islam
lebih berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi karena hubungan
keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan
kesukuan.
Untuk
membedakannya, Rasul SAW kemudian mensyariatkan puasa sunah tanggal 9 dan 10
Muharram, selain untuk membedakan puasa kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik
kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Ibunda Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang
berbeda dengan para pendahulunya, yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Allah SWT berfirman, “Maka jika kamu
melihat seorang manusia, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa
untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusia pun pada hari ini’.” (QS. Maryam: 26).
Keempat riwayat
di atas merupakan sejarah puasa agama samawi yang menjadi rujukan disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun
puasa agama ardhi (agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan
namun mereka juga telah melakukan puasa dengan model yang berbeda-beda.
Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Rasul SAW telah
memerintahkan kaum Muslimin puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa Ramadhan tiba,
puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh Rasul SAW menjadi puasa
sunah.
Tingginya tingkat
kesulitan dalam melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun belakangan
setelah perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib puasa Ramadhan
dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184).
Kaum Muslimin
boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang berpuasa lebih utama
dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah. Kedua, kewajiban
berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin, dengan pengecualian bagi
orang-orang yang sakit dan bepergian serta manula yang tidak kuat lagi berpuasa
(QS. Al-Baqarah: 185).
Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam
karena setelah berbuka mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya. Namun, setelah sahabat Umar bin
Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya pada satu malam Ramadhan
kepada Rasul SAW, turunlah QS Al Baqarah: 187 yang
menegaskan halalnya
hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan ketegasan batas waktu puasa yang
dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari.
Inilah syariat
puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang
ada sebelumnya.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar