Perasaan kita terhadap sesu¬atu,
sangat mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan, dibanding pengetahuan
kita terhadapnya. Perasaan kita sangat dipengaruhi oleh sikap mental dan
wawasan kita.
Lho, apa bedanya wawasan dengan pengetahuan? Secara sederhana, wawasan ada¬lah pengetahuan dan pengalaman yang kita hayati. Menambah wawasan berarti meningkat¬kan rentang masalah yang kita ketahui atau alami secara bermakna. Bukan sekadar kita keta¬hui dan pahami dengan baik.
Contoh sederhana. Setiap orangtua hampir pasti tahu
betul betapa berharganya be¬kal pendidikan bagi masa depan anaknya, baik yang
menyangkut urusan hidup di dunia –termasuk di antaranya masalah profesi— maupun
urusan hidup di akhirat. Yang terakhir ini erat kaitannya dengan akhlak; tujuan
hidup dan pengelolaan emosi yang jika kita perhatikan betul juga berkait erat
dengan kebahagiaan hidup di dunia.
Manfaat pendidikan ini hampir pasti setiap orangtua
mengetahui. Setidaknya manfaat pendidikan bagi kesuksesan hidup di dunia.
Tetapi apakah ini mempengaruhi sikap orangtua terhadap urusan pendidikan anak?
Apakah pengetahuannya tentang pendidikan mempengaruhi keputusannya tentang apa
yang harus diberikan di rumah?
Tidak. Orangtua memang tahu pendidikan itu penting.
Tetapi perasaannya be¬lum tumbuh, sikap mentalnya belum terbentuk dan tidak
memiliki wawasan pendidikan yang memadai –meski pengetahuannya sangat luas—
tetap akan merasa berat mengeluarkan seba¬gian hartanya bagi pemuliaan pendidikan
anak. Rasanya lebih ringan membelikan baju baru yang harganya bisa mencapai
lima atau bahkan sepuluh kali lipat harga buku, dibanding membeli¬kan pensil
dan kertas lipat. Kenapa? Karena nilainya terhadap perasaan kita, diri kita dan
arah hidup kita.
Membangun Sikap
Belajar
Sama seperti orangtua, anak-anak
juga kurang bergairah melakukan sesuatu jika ia belum memiliki sikap belajar
yang baik. Meskipun ia tahu betul bahwa belajar sangat berman¬faat bagi
kehidupannya kelak. Ia tetap akan enggan berkutat di depan buku atau duduk
takzim kepada seorang guru menanti tetesan ilmu darinya jika ia belum memiliki
perasaan positif ter¬hadap belajar. Itu sebabnya, kita memiliki tugas
menanamkan perasaan positif terhadap be¬lajar kepada anak semenjak dini,
terutama pada rentang usia 4-8 tahun.
Ini pula yang harus diperhatikan oleh guru TK.
Membangun sikap positif terhadap belajar, jauh lebih penting daripada mengajari
mereka menyanyi dan menari!
Jadi, sikap belajarlah yang harus kita bangun terlebih
dulu. Bukan kecakapan akade¬mik. Usia tujuh tahun belum lancar membaca tidak
masalah asalkan ia sudah memiliki sikap belajar yang baik dan kokoh.
Terampil membaca di usia empat tahun karena ada
motivasi belajar yang kuat dalam dirinya, adalah hal yang luar biasa hebat.
Tetapi terampil membaca di usia yang sama semata karena dilatih oleh gurunya di
TK ataupun orangtua di rumah, adalah musibah besar yang keburukannya akan
terlihat ketika usianya memasuki 10 atau 14 tahun.
Beruntung jika dampak negatifnya terlihat pada usia 6
tahun, kita bisa segera mela¬kukan tindakan untuk memulihkan kondisi psikis
anak. Cara penanganannya relatif masih lebih mudah. Tetapi jika dampak negatif
dari salah perlakuan itu baru kita ketahui pada usia 14 tahun, perlu waktu yang
lebih lama dan penanganan yang lebih pelik untuk memulihkan minat belajar anak
dan kondisi mentalnya secara umum.
Ini sama dengan menghafal. Kita berharap anak-anak
kita memiliki hafalan yang banyak atas ayat-ayat al-Qur’an serta Hadits yang
mulia. Tetapi banyaknya hafalan tidak men¬jadi penanda bercahayanya jiwa mereka
oleh ayat suci.
Besarnya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
(SWT) dan Rasul-Nya akan membangkitkan hasrat yang kuat untuk belajar dan
menghafal, tetapi banyak¬nya hafalan tidak dengan sendirinya menjadikan anak
memiliki kecintaan kepada agama.
Jika cara kita menggembleng mereka untuk menghafal
tidak tepat, justru yang terjadi bisa seba¬liknya. Besarnya tekanan untuk
menghafal membuat mereka mengalami kebosanan belajar justru di saat mereka
memasuki usia emas untuk mengingat, memahami dan mengkaji.
Tentu saja kita boleh mengajari anak-anak kita
menghafal. Kita sudah pernah ber¬bincang di forum ini dalam tulisan bertajuk
Menguatkan Hafalan tanpa Melemahkan Kecerdasan. Saya hanya ingin mengingatkan
kembali dengan keprihatinan yang amat dalam agar tidak salah orientasi. Kita
perlu merangsang kekuatan hafalan mereka, tetapi hafalan bukanlah ori¬entasi
pendidikan Islam. Bukan untuk itu kita mendidik mereka dan mendirikan sekolah.
Apa pun nama sekolah itu.
Jadi, tugas kita yang paling penting dalam kaitannya
dengan menumbuhkan minat belajar pada anak adalah membangun sikap positif
terhadap belajar. Ini terjadi pada rentang usia 4-8 tahun, meskipun pada usia
sebelumnya kita sudah bisa mengaitkan hal-hal yang me¬nyenangkan bagi anak
dengan belajar.
Sikap positif itu kita tumbuhkan dengan memberi
pe¬ngalaman belajar yang menyenangkan, membangun kedekatan emosi dengan anak,
mencip¬takan kondisi belajar yang positif sebelum dan selama anak belajar,
menunjukkan dan manfaat be¬lajar. Selain itu, menularkan antusiasme terhadap
ilmu, memberi apresiasi terhadap belajar melalui ucap¬an-ucapan kita yang
terencana maupun spontan, serta menjadikan diri kita sebagai contoh.
Membangun
Kepercayaan Diri
Hal lain yang juga perlu kita
perhatikan adalah perasaan bahwa anak memiliki kom¬petensi yang layak
diandalkan. Sepintar apa pun anak, jika mereka merasa tidak mempunyai kelebihan
apa pun yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan bahkan bagi dirinya sendiri,
akan cenderung lemah percaya dirinya. Ini akan sangat berpengaruh terhadap
minat dan kesung¬guhannya belajar.
Secara alamiah, anak akan memiliki antusiasme dan
percaya diri yang baik. Secara alamiah pula, anak-anak akan menunjukkan
kelebihan mereka dan meminta pengakuan me¬reka. Ini terutama terjadi semenjak
anak usia 2 tahun. Meskipun kerap memperoleh tanggapan negatif dari orangtua,
percaya diri anak serta perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi (sense of
competence) cenderung masih kuat sampai anak usia 6 tahun. Tetapi jika di usia
ini masih sering memperoleh komentar negatif, anak akan mulai kehilangan
percaya diri dan me¬rasa bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan apa pun.
Sebagian besar yang membuat anak tidak memiliki
kemampuan yang layak diandalkan adalah komentar pendidik, baik orangtua maupun
guru di sekolah. Pada sebagian kasus, anak kehilangan sense of competence
(kesadaran atau perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi) karena komentar
guru yang buruk.
Apa yang terjadi jika anak tidak memiliki keyakinan
bahwa dirinya memiliki kom¬petensi? Mereka akan malas belajar. Bahkan bisa jadi
mereka anti belajar. Sebab segigih apa pun mereka berusaha, mereka merasa akan
tetap saja tidak memiliki kelebihan. Sebaliknya, anak akan mengembangkan minat
belajarnya jika mereka memiliki sense of competence yang baik.
Alhasil, jika kita ingin menjadikan belajar sebagai
kebutuhan anak, dua hal inilah yang perlu kita bangun: sikap positif terhadap
belajar dan keyakinan bahwa mereka memi¬liki kompetensi. Selebihnya, kita perlu
menumbuhkan harga diri mereka. Wallahu a’lam.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar