Apakah
yang dapat kita harapkan dari guru-guru yang datang ke kelas hanya untuk
menerangkan mata pelajaran? Apakah yang dapat kita minta dari para guru yang
datang ke kelas hanya berbekal pengetahuan sederhana? Apakah yang dapat kita
jaminkan atas anak-anak kita jika guru hanya peduli jam mengajar? Sementara
tentang murid-muridnya, ia nyaris mengenali kecuali sekadar nama, wajah, dan
suaranya saja.
Sungguh,
kunci keberhasilan guru terutama terletak pada kompetensi sebagai pengajar,
baik kompetensi mengajar maupun kompetensi dalam bidang studi yang ia ajarkan.
Tapi sungguh, bukan itu yang paling pokok. Ada yang lebih mendasar lagi, yakni
adakah kerisauan besar dalam dirinya yang ia hayati sepenuh hati dan ia
perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Ia risau atas keadaan anak-anak di zaman
ini. Ia menginginkan kebaikan yang besar pada diri muridnya. Dan ia
menghabiskan waktunya dengan memberi perhatian, berjuang dengan sungguh-sungguh
dan belajar secara gigih agar dapat mengantarkan anak didiknya menjadi manusia-manusia
terbaik sesuai apa yang ia yakini sebagai kualitas ideal manusia.
Tanpa
obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para murid menjadi manusia ideal, maka
kegiatan mengajar hanya sekadar rutinitas saja. Begitu pula sekadar mampu
merumuskan cita-cita secara tertulis, tapi tidak memiliki ikatan emosi dengan
cita-cita tersebut, sulit baginya untuk meluangkan waktu bagi murid-muridnya
sekaligus melapangkan telinga untuk mendengarkan penuturan murid dengan sepenuh
jiwa. Mengajar hanya sekadar kegiatan fisik saja. Ia tidak membekas pada diri
guru, tidak pula pada diri murid.
Jika
materi yang mudah diingat saja tak membekas, apalagi dengan adab yang
memerlukan kesabaran, dorongan, dukungan, dan pendampingan dalam membentuknya.
Maka, kunci sangat penting memulai ta’dib (proses pendidikan adab) adalah guru.
Adakah para guru yang melakukan ta’dib memiliki kecintaan terhadap
murid-muridnya? Adakah para guru amat mengingini bagusnya akhlak anak didik?
Bukan agar mudah menangani mereka, tetapi karena mengingini keselamatan anak
didik di Yaumil-Qiyamah. Tampaknya tipis perbedaannya, tetapi jauh sekali
akibatnya. Merisaukan akhlak anak didik karena mengingini keselamatan mereka di
akhirat mendorong kita lebih sabar menghadapi kesulitan. Sementara merisaukan
akhlak hanya karena mengingini penanganan anak jadi lebih mudah, membuat kita
mudah berpuas diri. Mencukupkan diri dengan yang tampak dan mudah abai terhadap
apa yang kurang.
Berkenaan
dengan keprihatinan yang amat dalam ini, teringatlah saya dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128).
Sangat
mengingini keimanan dan keselamatan. Inilah perkara penting yang harus dimiliki
oleh seorang guru yang benar-benar berkeinginan membangun adab pada diri
murid-muridnya. Ia bersungguh-sungguh mendidik, memiliki belas-kasih lagi
penyayang. Kecintaan itu memang ada di dalam hati. Begitu pula besarnya
keinginan untuk membaguskan murid-murid. Tapi ia amat berpengaruh pada kata
yang kita ucapkan, adakah ia menjadi perkataan yang membekas ataukah sekadar
lewat saja.
Selebihnya,
seorang guru perlu memperhatikan adab-adab mengajar. Semoga Allah Ta’ala
mudahkan upaya membangun adab pada diri murid.
Lalu,
apa saja yang penting untuk diperhatikan:
Tulus Mengajar
Bekal
penting yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah ketulusan mengajar. Tidak
berharga suatu amal tanpa keikhlasan. Boleh jadi seorang guru memang bekerja
pada sebuah lembaga pendidikan. Tetapi di atas itu semua, ia adalah orang yang
sangat berpengaruh dalam menempa jiwa anak didik. Maka lebih dari sekadar tugas
mengajar, ia harus memiliki ketulusan yang amat dalam sehingga ringan hatinya
menyambut kehadiran dan keingintahuan anak didiknya.
Sama
pentingnya dengan ketulusan adalah bagusnya penyambutan terhadap anak didik
sehingga mereka merasa dicintai oleh gurunya atau pengasuhnya di asrama. Inilah
yang akan melahirkan rasa hormat pada diri anak didik terhadap guru. Ini pula
yang menjadikan anak didik lebih mudah menerima nasehat dan ilmu dari guru.
Tentang menyambut penuntut ilmu, teringatlah saya pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dari Shafwan bin ‘Asal Al-Muradi. Ia berkata, ”Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam dan beliau di masjid bersandar dengan memakai burdah merah. Saya berkata kepada beliau, ‘Ya Rasul Allah, saya datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau
bersabda, “Selamat datang penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi
oleh para malaikat dengan sayapnya, kemudian mereka saling menumpuk hingga
langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dia pelajari.” (Riwayat
Ath-Thabrani).
Ketulusan
mengajar itu juga ditampakkan dengan sikap saat bicara, ditampakkan juga saat
mendengar murid berbicara. Bukankah kita ingat bagaimana Rasulullah
mencondongkan badan ketika mendengarkan lawan bicara?
Tawadhu’
Salah satu kunci sukses seorang murid adalah hormat kepada guru. Dan rasa hormat kepada guru ini akan tertancap lebih kuat dalam diri murid jika ia memiliki seorang guru yang tawadhu’, guru yang rendah hati. Bukan rendah diri. Bukan pula yang gila hormat dan selalu ingin didengar. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan murid memang kesediaan dan kesungguhan mendengarkan ucapan gurunya. Tetapi pada saat yang sama, guru juga perlu menjadikan dirinya sebagai sosok yang pantas untuk senantiasa didengar dan dipatuhi oleh muridnya.
Salah satu kunci sukses seorang murid adalah hormat kepada guru. Dan rasa hormat kepada guru ini akan tertancap lebih kuat dalam diri murid jika ia memiliki seorang guru yang tawadhu’, guru yang rendah hati. Bukan rendah diri. Bukan pula yang gila hormat dan selalu ingin didengar. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan murid memang kesediaan dan kesungguhan mendengarkan ucapan gurunya. Tetapi pada saat yang sama, guru juga perlu menjadikan dirinya sebagai sosok yang pantas untuk senantiasa didengar dan dipatuhi oleh muridnya.
Mari
kita ingat sejenak perkataan Anas bin Malik tentang pribadi Rasulullah. Ia
berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para Sahabat melebihi
Rasulullah. Walau begitu, ketika melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena
mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu.” (Riwayat Bukhari, Ahmad,
At-Tirmidzi & Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi).
Hadis
ini memberi pelajaran kepada kita tentang sosok guru paling sempurna,
Rasulullah. Kecintaan para muridnya –para Sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in–
tak diragukan lagi. Tetapi kecintaan yang besar itu tidak menyebabkan mereka
berdiri menghormat. Ini merupakan salah satu saja dari sekian banyak pertanda
tentang kerendah-hatian beliau sehingga justru menjadikan beliau makin
dicintai.
Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa yang suka untuk disambut dengan cara berdiri, maka
hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Riwayat Abu Dawud).
Mengenali Murid
Hal
lain yang perlu dimiliki guru adalah kesediaan dan keinginan untuk mengenali
pribadi muridnya dengan baik. Bukan hanya tahu nama dan wajah. Jangankan
berbicara dalam konteks pendidikan adab, lebih khusus lagi pendidikan Islam,
bicara pendidikan secara umum pun pengenalan yang baik terhadap murid memegang
peranan penting. Banyak masalah yang berkembang di kelas maupun asrama karena
guru tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap murid, sehingga tidak mampu
membaca apa yang sedang menjadi keresahan muridnya. Kadang guru bahkan seperti
tak peduli dengan keadaan murid.
Pengenalan
yang baik terhadap murid memudahkan guru bertindak secara lebih tepat. Selain
itu, juga meringankan hati mereka untuk lebih toleran terhadap murid.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar