Bagaimana mungkin kita bicara cara
(metode), tetapi tidak jelas apa tujuannya. Sangat mengherankan kalau kita
sibuk berbicara tentang metode pembelajaran, tetapi belum merumuskan apa yang
ingin kita hasilkan dari pembelajaran itu. Sama anehnya dengan pembicaraan yang
riuh rendah tentang kurikulum, tetapi tidak ada pembicaraan tentang lulusan
seperti apa yang ingin kita hasilkan dan mengapa itu kita perlukan.
Banyak guru yang terbiasa
menuliskan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus dari
materi yang diajarkan, tetapi sedikit sekali yang mampu merumuskan sendiri.
Padahal, sangat berbeda antara menuliskan dengan merumuskan. Seorang guru yang
hanya menuliskan, hampir pasti hanya mengajarkan materi yang ada tanpa mampu
mengantarkan peserta untuk untuk benar-benar memahami. Atau mereka memahami
yang sepotong, tetapi sulit melihat gambarannya secara keseluruhan. Akibatnya,
pembelajaran di kelas hanya menyiapkan murid untuk mampu menjawab pertanyaan,
mengerjakan soal, dan menyebutkan kembali apa yang telah diterima. Mereka
memiliki kemampuan (ability) untuk mengerjakan soal-soal, tetapi tidak memiliki
kompetensi. Sepintas sama, tetapi sangat berbeda antara keduanya.
Tanpa memahami yang umum (mujmal)
dari yang rinci, sebagaimana memahami yang pokok (ushul) dan yang cabang
(furu’), maka proses pembelajaran akan cenderung terjebak pada cara. Tidak ada
kreativitas, tidak ada inovasi. Yang lebih parah, pengajar bahkan bisa menolak
ide-ide unik siswa dalam menyelesaikan masalah. Sebabnya, pengajar tidak
memahami arah pembelajaran. Atau pengajar bisa merespon dengan baik ide-ide
unik murid, tetapi tidak mampu menautkan dengan tujuan pendidikan.
Sulit membayangkan, tetapi inilah
yang terjadi dalam pendidikan kita. Bukan hal yang aneh jika Anda bertanya
kepada guru tentang tujuan pendidikan, arah pembelajaran atau yang serupa
dengan itu, lalu memperoleh jawaban yang indah tapi tidak jelas gambarannya.
Jangan kaget juga jika Anda bahkan tidak memperoleh jawaban minimal yang
memuaskan. Sebabnya, banyak guru yang menjalani pekerjaan tanpa memiliki misi yang
kuat, visi yang jelas, dan kecintaan yang tinggi (passion) terhadap profesi.
Lebih parah lagi, jangankan guru, sekolah pun tidak memiliki impian yang jelas
karena mereka memang tidak memiliki alasan mendasar yang kuat mengapa harus
mendirikan lembaga pendidikan. Padahal, alasan mendasar inilah yang seharusnya
senantiasa mengawal sekaligus memandu proses pembelajaran dan pendidikan agar
tidak kehilangan “ruh.”
Jika guru tidak memiliki misi
ideologis yang kuat mengapa memilih profesi sebagai pendidik dan pada saat yang
sama miskin konsep. Maka hampir pasti ia hanya memperhatikan efektivitas
pembelajaran. Bentuknya bisa berupa perhatian besar terhadap metode-metode
paling praktis yang memudahkan pembelajaran hingga yang mencari jalan pintas
agar anak-anak bisa jenius secara instant. Bisa juga berupa upaya
sungguh-sungguh agar anak mengerti apa yang diajarkan, tetapi tidak jarang yang
hanya mencari segala cara agar siswa mampu mengerjakan soal meskipun ia tahu
bahwa siswa sebenarnya tidak memiliki penguasaan materi yang matang. Sikap yang
pertama, yakni kesungguhan agar anak mengerti apa yang diajarkan, merupakan hal
yang baik dan sepatutnya dimiliki setiap guru. Tetapi sekali lagi, tanpa
penguasaan konsep yang matang, guru mengajar hanya sebatas agar murid mampu
memahami pelajaran. Tidak lebih dari itu. Murid tidak mampu melihat hubungan
antara apa yang ia pelajari dengan kehidupan sehari-hari maupun dengan
pelajaran-pelajaran lain.
Sementara tidak adanya misi
ideologis pada diri guru menyebabkan tidak mungkin ada proses integrasi antara
nilai-nilai dengan materi pelajaran. Boleh jadi ada penggabungan antara agama
dengan materi pelajaran, tetapi itu bukan integrasi. Bukan terpadu.
Penggabungan itu hanya menempelkan saja.
Nah.
Keharusan untuk Berbeda
Ada
pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh setiap guru sekolah Islam, terlebih
untuk sekolah yang mengklaim sebagai sekolah Islam terpadu –apa pun istilahnya.
Pertanyaan mendasar ini jika benar-benar dijawab secara serius, maka harus
melahirkan perbedaan yang juga sangat mendasar dibanding sekolah yang ada.
Pertanyaan itu sangat sederhana, yakni mengapa sekolah ini harus berdiri. Jika
sekedar untuk mencerdaskan, sesungguhnya telah banyak sekolah yang melahirkan
para juara. Dan setiap sekolah juga merasa mencerdaskan peserta didiknya.
Ini berarti, harus ada jawaban yang
lebih mendasar dan kemudian melahirkan perbedaan signifikan. Jika sekolah Islam
terpadu (atau integral) hanya bertujuan mencetak siswa cerdas, terampil dan
memiliki pemahaman Islam yang baik, maka kita bisa berkata bahwa telah banyak
madrasah ibtidaiyah di mana-mana. Begitu juga sekolah yang berbasis pondok
pesantren atau pun sekolah yang dilengkapi dengan pondok pesantren maupun
sekedar asrama yang dilengkapi dengan kegiatan dieniyah. Mungkin agak
membingungkan, tetapi tiga jenis sekolah asrama ini sangat berbeda arah dan
kebijakannya.
Jika pertanyaan mendasar ini mampu
dijawab dengan baik oleh guru maupun sekolah, maka dengan sendirinya akan
tercermin pada bagaimana mereka berkomunikasi, lebih-lebih dalam masalah
kebijakan.
Secara sederhana, ada tiga jenis
perbedaan. Pertama, sekolah menciptakan perbedaan dibanding sekolah lain
semata-mata karena ingin berbeda, tetapi tidak ada pijakan ideologis yang kuat.
Serupa dengan itu adalah perbedaan yang muncul secara alamiah. Keduanya
termasuk perbedaan yang “asal beda”. Kedua, sekolah secara serius melakukan
pembedaan, berusaha mencari dan menemukan hal-hal berbeda yang unik dan bisa
menjadi nilai lebih agar memiliki daya tarik yang tinggi. Sekolah sengaja
memunculkan perbedaan sebagai strategi pemasaran. Inilah yang biasa disebut
diferensiasi. Ketiga, sekolah secara sadar berbeda dan menjaga perbedaan
tersebut secara serius, karena terikat dengan alasan mendasar mengapa sekolah
itu berdiri dan terobsesi oleh apa yang menjadi tujuan besar sekolah yang
bersifat khas. Inilah perbedaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap sekolah
Islam, terlebih bagi sekolah yang telah memberi julukan “wah” untuk dirinya
sendiri.
Pertanyaannya, dimana kita bisa
menjumpai sekolah semacam ini? Hari ini banyak sekolah Islam yang lebih suka
berbicara dan menulis di brosurnya tentang hal-hal menarik, tetapi tidak
menunjukkan ruh Islam di dalamnya. Sekolah Islam lebih fasih berbicara tentang
moving class, quantum learning, dan sejenisnya daripada tarbiyah atau
syakhsiyah. Bukan tidak boleh mempelajari itu semua. Tetapi seharusnya
pertanyaan mendasar tersebut sudah dijawab dengan tuntas dan dijabarkan dalam
kegiatan pendidikan dan pembelajaran sehari-hari.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar