Ada
saatnya diam merupakan kebaikan. Kita berdiam diri karena memberi kesempatan
untuk berpikir dan menyadari kekeliruannya. Kita diam bukan karena tidak
bertindak, tetapi justru diam itulah tindakan yang kita ambil agar anak dapat
mengembangkan dirinya. Tetapi adakalanya diam justru tercela. Kita menahan diri
dari bicara, padahal saat itu seharusnya kita angkat bicara agar anak tidak
terjatuh pada keburukan lebih yang besar. Diam pada saat seharusnya berbicara
merupakan tanda kelemahan. Sebagaimana terlalu banyak meributkan anak merupakan
penanda ketidakmampuan menahan diri. Dua hal inilah PR panjang yang harus
diselesaikan bagi orangtua semacam saya; orangtua yang miskin ilmu, lemah
kendali diri dan serba instan. Ingin mengubah anak, tetapi tidak sabar menunggu
proses. Ingin membaguskan akhlak, tetapi tidak siap mendengarkan keluhan
mereka.
Ada
saat-saat kita harus tegas, ada pula saat kita perlu memberi kelonggaran kepada
anak. Ada hal-hal yang mengharuskan kita menunjukkan kemarahan kepada anak
meskipun kita tidak sedang emosi, tetapi ada pula saat dimana kita perlu
berusaha keras untuk menahan diri meskipun emosi kita sedang meledak-ledak. Ini
semua berkait erat dengan apa yang dilakukan anak sekaligus menimbang maslahat
dan madharat dari setiap tindakan kita. Adapun terhadap kerasnya ucapan dan
tindakan yang muncul dari lemahnya kendali emosi, secara jujur kita perlu
menyadari kekeliruan kita, mengakuinya sebagai kesalahan meski belum mampu
mengungkapkan secara terbuka kepada anak, dan bersedia meminta maaf kepada anak
atas salah dan keliru kita.
Hal
yang sama juga berlaku untuk perbuatan baik mereka. Meskipun kita sedang marah
dan suasana emosi kita sedang tidak enak, kita tetap harus menyampaikan ucapan
terima kasih kepada mereka. Jika perlu, kita memaksakan diri untuk mengucapkan
terima kasih dengan setulus-tulusnya meskipun kita sedang jengkel. Ini bukan
tindakan pura-pura. Justru kita sedang mendidik diri sendiri untuk mampu
mengungkapkan rasa terima kasih kita secara sadar dan memaksakan diri untuk mengucapkannya,
meskipun suasana hati kita sedang dongkol. Kalau ternyata kita tidak mampu
menaklukkan raut muka kita sendiri, kita bisa secara terbuka mengatakan apa
yang kita rasakan kepada anak dengan didahului permohonan maaf kepada mereka.
Dengan demikian anak akan belajar mengakui kebaikan orang lain dan menyadari
keadaan mereka. Ini juga bisa meningkatkan penerimaan mereka terhadap orangtua.
Harus Punya Kendali
Kembali
pada soal kelonggaran. Anak yang dibesarkan dengan toleransi, memang akan
belajar mengendalikan diri. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan kekerasan
juga belajar menggunakan kekuatannya untuk memaksakan keinginannya. Tetapi ada
hal yang harus kita ingat, di luar apa yang kita lakukan, anak juga sedang
berkembang. Mereka secara terus-menerus belajar, termasuk belajar memegang
kendali sehingga orangtua pun bahkan bisa tak berdaya. Orangtua melakukan apa
pun yang diinginkan anak, meskipun tampaknya ia melakukan itu agar anaknya
melakukan apa yang diinginkan oleh orangtua. Contohnya, orangtua memaksakan
diri membelikan mainan untuk anak karena mainan itulah yang diminta anak ketika
ia disuruh mandi.
Kecenderungan
anak memaksa orangtua menuruti keinginannya sebagai imbalan atas kesediaannya
melakukan perintah orangtua, terutama mudah terjadi ketika orangtua
memberlakukan cara pengasuhan yang tidak konsisten. Apalagi jika cara mengasuh
antara kedua orangtua tidak selaras. Mereka saling menyalahkan di depan anak,
atau cara pengasuhan mereka saling bertentangan. Lebih parah lagi jika salah satu
pihak cenderung dominan dan mudah menyalahkan di depan anak. Artinya, ada salah
satu pihak –entah ayah, entah ibu—yang sering disalah-salahkan di depan anak
sehingga otoritasnya sebagai orangtua melemah dan dengan demikian perintahnya
menjadi kurang efektif.
Jika
ini terjadi, anak akan berusaha meningkatkan pengaruh dan daya paksanya
sehingga orangtua benar-benar di bawah kendalinya. Tak ada jalan lain kecuali
orangtua harus mengambil keputusan dengan segera dan secara terencana
menghentikan situasi yang tidak sehat ini. Pada saat yang sama, orangtua harus
menyadari bahwa kebiasaan memaksakan keinginan ini tidak terjadi secara
tiba-tiba. Anak belajar sedikit demi sedikit. Anak memiliki pengalaman panjang
sehingga bisa memaksakan kehendak kepada orangtuanya, sementara orangtua tak
berdaya menghadapinya.
Sebaliknya,
anak yang tidak memiliki kendali atas diri dan lingkungannya karena terbiasa
dipaksa oleh orangtua, akan berangsur menjadi pribadi yang tidak mandiri. Ia
sulit mengambil keputusan, sekalipun hanya untuk mengambil pilihan dalam
perkara sederhana. Ia takut menghadapi risiko, yang sangat kecil sekalipun,
terutama yang berimbas pada teguran orangtua. Padahal apa pun yang kita
lakukan, pasti ada risikonya. Bahkan berdiam diri pun punya resiko.
Ketakutan
menghadapi risiko tersebut bukan hanya terjadi saat mereka masih kanak-kanak.
Jika tidak disadari, lalu secara sengaja diatasi, maka ketakutan dalam
mengambil keputusan tersebut bisa berlanjut sampai mereka dewasa dan menjadi
orangtua. Ia tetap menjadi kanak-kanak, bahkan di saat ia seharusnya bertindak
sebagai orangtua dari anak-anaknya.
Serupa
dengan takut menghadapi risiko adalah peragu. Ia sulit mengambil keputusan
bukan terutama karena takut menghadapi risiko, tetapi karena sulit memilih. Ini
mudah terjadi pada anak yang dibesarkan dengan pemanjaan. Anak tunggal, anak
bungsu, atau anak laki-laki maupun perempuan satu-satunya dalam keluarga
–begitu pula cucu laki-laki atau perempuan satu-satunya dalam keluarga besar—
sering tumbuh dengan cara pengasuhan yang memanjakan. Mereka serba dilayani
sehingga menyebabkan dirinya tidak memiliki keterampilan melayani dirinya
sendiri. Mereka serba dituruti, sehingga tidak memperoleh kesempatan belajar
menahan diri. Mereka juga sulit belajar berempati. Mereka juga terbiasa
dipenuhi keinginannya, sehingga tidak ada kesempatan yang memadai untuk belajar
menimbang, mengambil keputusan dan menentukan prioritas; mana yang lebih
penting di antara yang penting. Bahkan boleh jadi, sulit baginya untuk
membedakan mana yang penting dan mana yang tidak karena ia miskin pengalaman
untuk memilah antara kebutuhan dan keinginan.
Apa
yang menyebabkan anak-anak itu mengalami kesulitan di masa dewasanya? Bukan
sulitnya kehidupan. Bukan pula kecilnya pendapatan. Tetapi kekeliruan orangtua
dalam mengasuh mereka. Bisa karena berlebihan dalam membantu anak menghadapi
masalah, bisa juga karena mereka membiasakan anak hidup mudah sehingga anak
kehilangan tantangan. Mereka sibuk mengurusi apa yang seharusnya diatasi
sendiri oleh anak, sehingga anak akhirnya kehilangan inisiatif produktif.
Ini
semua tidak berhubungan dengan kekayaan dan banyaknya fasilitas hidup. Ini
terkait dengan sikap kita sebagai orangtua, termasuk kemampuan kita menakar
setiap tindakan. SUARA HIDAYATULLAH, JANUARI 2011
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar