Sesungguhnya, taraf kemampuan
kognitif anak bertingkat-tingkat secara hierarkis. Dan pendidikan berkewajiban
mengantarkan setiap anak agar mampu mencapai taraf kognitif yang
setinggi-tingginya. Taraf paling rendah adalah pengetahuan. Ini merupakan
kemampaun untuk mengetahui, mengenal dan mengingat apa-apa yang sudah ia
pelajari. Ia bisa mengulang kembali dan menyampaikan kepada orang lain. Di
negeri ini, pelajaran di kelas dan ujian di sekolah kerapkali hanya menakar
kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan.
Berbagai teknik atau trik yang banyak diperkenalkan
(lebih jelasnya: dijual) kepada masyarakat umumnya sebatas membantu anak
mencapai kemampuan kognitif terendah. Bukan mengembangkan kemampuan berpikir.
Lebih-lebih cara berpikir, umumnya hampir tak tersentuh. Tetapi inilah yang
paling mudah kita lihat: atraksi kebolehan dan demonstrasi yang menunjukkan
perubahan cepat luar biasa. Karena terpukau, kita kemudian kehilangan daya
berpikir kritis tatkala para trainer itu mengatakan bahwa trik-trik tersebut
membangun karakter anak! Padahal yang dimaksud bukan karakter. Yang dimaksud
hanyalah sebatas kemampuan kognitif.
Karakter lebih banyak berkait dengan kualitas personal
pada diri seseorang. Karakter bermula dari kesadaran terhadap nilai-nilai
(bukan sekadar tahu atau bahkan paham), partisipasi atau kesediaan untuk
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, penghayatan nilai,
pengorganisasian nilai dan barulah kemudian sampai pada tingkat karakterisasi
diri.
Yang dimaksud dengan penghayatan nilai adalah
kemampuan untuk menerima nilai dan terikat kepadanya. Sedangkan
pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam
dirinya. Sampai pada tingkat ini, karakter masih belum terbentuk. Karakterisasi
baru terjadi apabila seseorang telah mampu memilih nilai sebagai gaya hidup
(life style) dimana sistem nilai yang terbentuk mampu mengawasi tingkah
lakunya.
Jadi, ada proses panjang sebelum terbentuk dalam diri
seseorang. Ia bukan sekedar keterampilan. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai
yang mempengaruhi pikiran, cara pandang, penghayatan dan gaya hidup kita. Ia
menjadi penakar dalam menentukan sebuah tindakan terkait dengan patut atau
tidak, mulia atau hina. Ia berangkat dari kesadaran. Bukan pengetahuan.
Kesadaran merupakan tingkat terendah dari kemampuan afektif. Sedangkan tingkat
terendah kemampuan kognitif adalah pengetahuan (knowledge). Ini berarti,
sekadar pintar tak berpengaruh pada karakter.
Setingkat di atas pengetahuan adalah pemahaman
(understanding). Pada tingkat ini –tingkat terendah kedua dalam kemampuan
kognitif—anak mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Kemampuan ini bukan
semata karena anak belajar, tetapi karena pendidik memang memahamkan. Bukan
sekadar menyampaikan sejelas-jelasnya sehingga anak mengingat dengan baik dan
mampu menyampaikan kembali secara gamblang. Pendidik perlu secara serius
merangsang kemampuan berpikir anak sehingga mereka memahami dengan baik apa
yang diterangkan.
Yang perlu kita catat, pemahaman tidak berpengaruh
terhadap perilaku. Pemahaman baru akan bermanfaat menuntun dan mengarahkan
perilaku anak-anak kita, jika mereka telah menghayati nilai-nilai agama ini
dengan baik. Sangat berbeda, menghayati dengan memahami.
Itu pula yang menerangkan mengapa anak yang telah
memahami baik-buruknya sesuatu, tidak berubah perilakunya. Kecerdasan
mempengaruhi kemampuan mengingat, mencerna dan memahami sesuatu. Sedangkan
keyakinan mendorong orang untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa
melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya, meskipun bertentangan dengan
pemahamannya.
Kembali pada jenjang-jenjang kemampuan kognitif.
Setingkat di atas pemahaman adalah penerapan (aplikasi), yakni kemampuan
menggunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru
dan nyata. Ini bukan berurusan dengan keyakinan. Ini erat kaitannya dengan
kecakapan untuk menerapkan apa yang telah ia ketahui. Shalat misalnya. Anak
bisa melakukan shalat dengan sangat baik bukan karena yakin dan suka, tetapi
karena ia memahami betul tata-cara shalat yang baik.
Jenjang kemampuan berikutnya adalah analisis. Berbekal
pemahaman yang baik dan mendalam atas berbagai pengetahuan yang telah ia
dapatkan sekaligus (pernah) ia praktikkan, seseorang bisa mencapai kemampuan
analisis. Ia mampu menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur
organisasinya dapat dipahami. Jika kemampuan ini berkembang lebih lanjut, ia
akan sampai pada taraf kognitif yang lebih tinggi, yakni sintesis. Ini
merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang berarti.
Ia mampu menemukan benang merah berbagai pengetahuan yang berserak menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bermakna.
Tingkat tertinggi kemampuan kognitif adalah penilaian.
Bukan menilai orang dari apa yang tampak, melainkan kemampuan memberikan penilaian
terhadap sesuatu berdasarkan yang ditetapkan terlebih dahulu, baik bersifat
internal maupun eksternal. Di tingkat inilah seseorang mencapai tingkat
pemahaman yang mendalam. Kemampuan ini barangkali lebih dekat dengan makna
faqih. Bukan sekadar faham. Dan amat sedikit orang yang mencapai kemampuan ini.
Cerdas &
Terampil Belum Mencukupi
Apakah anak-anak sudah cukup
berharga jika mereka mencapai kemampuan kognitif yang tinggi? Cerdas saja tidak
cukup. Alangkah banyak anak-anak yang cerdas tetapi miskin keterampilan. Lalu,
apakah cerdas dan terampil telah cukup untuk membekali mereka meraih sukses?
Jangankan untuk akhirat. Sukses dunia pun tak cukup hanya berbekal cerdas dan
terampil. Bahkan kejeniusan pun tak menolong mereka.
Mari kita ingat sejenak salah satu jenius besar yang
pernah lahir di muka bumi. Namanya William James Sidis. Bapaknya –seorang
profesor—adalah pengagum besar William James, tokoh psikologis behaviorisme
yang yakin betul bahwa pembiasaan merupakan kunci terpenting pendidikan.
Sejak usia 6 bulan, ayahnya telah mengajarkan
kepadanya huruf-¬huruf sesuai urutan abjad. Sesudah itu, ayahnya mengajarkan
ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu tubuh manusia, dan bahasa Yunani berdasarkan buku
ajar yang dipakai di sekolah. Hasilnya, usia lima tahun William James Sidis
telah mampu menyusun karya ilmiah tentang anatomi. Kejeniusannya berkembang
sehingga pada usia 11 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Harvard University
dan usia 14 tahun telah mampu memberi kuliah.
Tetapi kecerdasan tanpa kemampuan mengelola diri, tak
cukup untuk membuatnya bahagia. Ia kemudian melarikan diri dari lingkungan yang
mengelu-elukannya. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci piring di sebuah
restoran karena kecerdasan tak bisa membuatnya bahagia.
Sesungguhnya ada tiga potensi manusia yang
berbeda-beda tingkat kemudahannya membentuk. Yang paling sulit adalah karakter,
sesudah itu motivasi dan yang paling mudah adalah kemampuan kognitif serta
keterampilan. Jika seseorang memiliki karakter yang kuat, mudah baginya untuk
memperoleh kemampuan kognitif maupun keterampilan yang tinggi. Dan inilah yang
harus kita perhatikan saat mereka belia. Inilah yang menjadi perhatian di
berbagai belahan bumi yang menghargai betul arti sumber daya insani.
Bagaimana dengan Anda?
Bagaimana dengan Anda?
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar