Suatu
ketika datang kepada saya suami-isteri usia 50-an tahun atau bahkan sudah
mendekati 60 tahun. Ada masalah yang ingin mereka konsultasikan. Me¬reka
kesulitan mengendalikan perilaku anak bungsunya dan merasa tidak mampu mengasuh
anak tersebut dengan kebiasaan nilai-nilai mulia. Awalnya, anak ini tumbuh
de¬ngan kebiasaan yang baik, tetapi tatkala memasuki SLTP, perilakunya berubah.
Anak manis itu mulai me¬rokok, begadang, kasar kepada orangtua, dan pacaran
sampai larut malam. Tak ada yang bisa mereka la¬kukan karena –menurut cerita
orangtuanya— anaknya tak bisa dikerasi. Dinasihati tak mendengar, dice¬gah
melawan, dan dikerasi melawan. Sementara ketika kedua orangtua mengambil sikap
lunak, anak itu tak berubah perilakunya.
Apa
yang salah pada anak ini? Orangtuanya memiliki waktu yang cukup, bahkan lebih
dari cukup untuk mengasuh, menemani dan memberi pendidikan terbaik kepada anak.
Meskipun kedua orangtuanya sangat sibuk, mereka berdua memiliki komitmen yang
baik dalam urusan mendidik anak. Mereka sendiri menyandang gelar doktor dan
masing-masing memegang peranan penting di lembaga pendidikan. Bah¬kan karena
ingin menjamin anaknya sukses, mereka mempersiapkan anak-anaknya secara cermat
penuh perhitungan. Demi memastikan agar anak keduanya memperoleh perhatian
secara memadai dan biaya pendidikan yang cukup, mereka secara sengaja
merencanakan agar jarak kelahiran antara anak pertama dan kedua di atas 10
tahun. Dan sesuai rencana, jarak kelahiran anaknya benar-benar sesuai
keinginan.
Tetapi….
Rupanya ada yang lupa mereka perhitungkan bahwa kerepotan bukanlah banyaknya urusan yang ha¬rus kita selesaikan. Betapa banyak orang yang harus menangani sangat banyak urusan setiap hari, tetapi ia tetap mampu menghadapinya dengan senyum lebar. Pada saat yang sama, ia mampu terlibat aktif da¬lam berbagai kegiatan. Sebaliknya, urusan kecil dapat memusingkan kepala manakala kita tidak siap meng¬hadapinya.
Rupanya ada yang lupa mereka perhitungkan bahwa kerepotan bukanlah banyaknya urusan yang ha¬rus kita selesaikan. Betapa banyak orang yang harus menangani sangat banyak urusan setiap hari, tetapi ia tetap mampu menghadapinya dengan senyum lebar. Pada saat yang sama, ia mampu terlibat aktif da¬lam berbagai kegiatan. Sebaliknya, urusan kecil dapat memusingkan kepala manakala kita tidak siap meng¬hadapinya.
Mengasuh anak juga demikian. Bukan banyaknya anak yang menyebabkan kita tak punya kesem¬patan mengurus diri sendiri, bukan juga aktifnya mereka yang menjadikan kita merasa kelelahan dan te¬gang terus-menerus. Kesiapan mental kitalah yang lebih banyak berpengaruh terhadap bagaimana kita merasakan tiap-tiap peristiwa sebagai kesengsaraan dan penderitaan ataukah sebagai tantangan dan la¬dang amal saleh. Mereka yang menyiapkan dirinya untuk mengasuh banyak anak, lebih ringan hati tatkala Allah Ta’ala mengamanahkan kepadanya satu atau dua anak. Sebaliknya, mereka yang berusaha keras agar tak banyak urusan yang harus mereka selesaikan dalam mengasuh anak dengan berusaha keras agar tidak mempunyai banyak anak, akan lebih cepat merasakan be¬ratnya persoalan hanya karena anak meminta perhatian lebih.
Karenanya, sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita renungkan sejenak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak mau melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian diban¬ding umat yang lain.” (Riwayat Ibnu Majah).
Hadits
yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah ini jelas
menunjukkan keutamaan mempunyai banyak anak dan menjadikannya sebagai
cita-cita. Tak ada yang menghalangi mereka untuk mempunyai lebih banyak anak,
kecuali karena pertimbangan-pertimbangan syar’i. Tak ada yang menjadikan mereka
gemetar hatinya untuk memperbanyak anak kecuali karena lemahnya keyakinan.
Mereka mengaku bertuhan, tetapi tidak meyakini bahwa Allah Maha Pemurah. Mereka
mengaku beriman, tetapi ragu terhadap janji Tuhannya.
Di
sisi lain, lemahnya cita-cita dan kurangnya tekad untuk berbanyak anak
menyebabkan kita mu¬dah berkeluh-kesah. Kita cepat sekali merasakan kerepotan
yang tak teratasi. Suka atau tidak, ini akan mempengaruhi cara kita mengasuh
anak. Mereka yang dibesarkan dengan keluh-kesah cenderung tidak memiliki daya
juang tinggi. Mereka cepat merasa sulit bahkan sebelum berletih-letih dalam
berusaha. Padahal bersama kesulitan pasti ada beberapa kemudahan yang pasti
Allah Ta’ala berikan kepada kita. Se¬baliknya, mereka yang dibesarkan dengan
penuh penerimaan dan kasih-sayang, akan memiliki penerimaan diri yang baik
sehingga mereka tumbuh sebagai manusia yang penuh percaya diri. Mereka mudah
meng¬hargai orang lain, bukan karena orang lain memiliki kehebatan luar biasa.
Mereka menghargai karena la¬pangnya dada dan bersihnya hati sehingga mudah
merasakan kebaikan orang lain.
Benahi Niat
Pelajaran
apa yang bisa kita petik? Sebelum urusan bagaimana cara mengasuh anak, ada yang
harus kita benahi dalam niat kita. Jika banyaknya anak menjadi cita-cita, maka
kehadiran mereka akan kita sambut dengan penuh kerelaan dan rasa syukur. Ini
merupakan hadiah pertama yang sangat berharga bagi anak. Jika mereka dibesarkan
dengan penuh kesyukuran serta kehangatan, anak-anak itu akan lebih mudah untuk
belajar menebar kebaikan dan kesantunan. Inilah pilar awal pembelajaran. Di
berbagai se¬kolah terbaik, akhlak mulia dan perilaku santun merupakan prioritas
pertama sebelum melibatkan anak dalam kegiatan pembelajaran akademik. Inilah
dasar berpengetahuan (the basic of knowing) yang sangat penting. Ini pula yang
menjadi penanda apakah sebuah sekolah, ma’had atau sekolah berasrama (boarding
school) memiliki iklim yang positif atau tidak. Secara lebih sempit, iklim
belajar berkembang baik atau ti¬dak di sebuah sekolah dapat dilihat dari
kuat-lemahnya kesantunan dalam wicara maupun dalam perbu¬atan lain.
Tentu
saja sangat berbeda antara punya banyak anak karena memang menginginkan dengan
penuh harap dibanding berbanyak anak semata karena subur dan sering
berhubungan. Yang tampak bisa sama, tetapi nilai keduanya sangat berbeda.
Berbeda pula akibat yang muncul sesudahnya. Yang pertama terjadi karena
besarnya harapan terhadap ridha Allah dan kehidupan yang penuh berkah.
Sedangkan yang kedua muncul karena kurangnya kendali dan besarnya gairah
berhubungan. Itu saja! Wallahu a’lam bish-shawab.
Selebihnya,
ada yang perlu kita perhatikan dalam mengasuh anak. Segala sesuatu ada ilmunya.
Tugas kita untuk membekali diri dengan ilmu sebelum berbicara dan bertindak.
Pada saat yang sama, kita memohon pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla agar apa
yang ada dalam diri kita dapat menjadi jalan kebaikan. Jika kita termasuk orang
yang keras, semoga Allah jadikan kerasnya sikap kita menjadi sebabnya tegaknya kebaikan
dan kebenaran sebagaimana Allah Ta’ala telah baguskan Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu dan keturunannya. Sebaliknya, semoga lunaknya sikap tidak
menjadikan kita kehilangan ketegasan, tidak pula menyebabkan goyahnya pendirian
kita atas perkara yang nyata kebenarannya.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar