Hari ini, kita menanti lahirnya para pemberani. Tak
keluh lidahnya bicara kebenaran. Tak kuyuh langkahnya melihat kesulitan yang
menghadang. Mereka menjadi pemberani bukan karena kuat berkelahi. Tetapi
anak-anak itu tumbuh menjadi sosok pemberani karena himmahnya (hasrat
terbesarnya) akhirat, pegangannya syariat, dan aqidahnya kuat melekat dalam
diri. Mereka berani bukan karena dirinya kuat, tetapi karena adanya kendali
kuat atas syahwatnya terhadap dunia. Mereka menjadi pemberani karena dirinya
ditempa untuk tidak terbiasa dengan tana’um (bernikmat-nikmat).
Tetapi bagaimana mungkin mereka akan mampu menjauh dari
tana’um, jika mereka tak mampu men-tasharruf-kan harta dengan benar? Bagaimana
mungkin kita dapat mendidik generasi yang tak sibuk berbangga dengan dunia jika
mereka tidak dilatih menahan diri?
Hari ini, kita menunggu munculnya generasi yang kepala
mereka tegak tatkala berhadapan dengan manusia. Kita menunggu lahirnya generasi
yang tak merasa rendah karena berjumpa dengan manusia yang bernampilan wah.
Mereka tak menyibukkan diri memuji manusia berdasarkan benda-benda yang
dipunyai. Mereka tidak memuliakan, tidak pula merendahkan manusia lainnya
karena rupawan tidaknya wajah. Tetapi mereka menilai manusia karena sikap,
perjuangan, akhlak, dan kesungguhannya berbenah.
Seseorang dapat memiliki keberanian karena merasa
dirinya kuat. Keberanian juga dapat tumbuh karena keinginan untuk menjadi sosok
yang membanggakan di hadapan manusia lainnya. Tetapi keberanian semacam ini,
selain tak bernilai di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, juga mudah runtuh manakala
mereka dihadapkan pada kesulitan serta tiadanya kenikmatan hidup.
Banyak hal yang memerlukan keberanian agar dapat
menjalankan Islam dengan sempurna. Ada keberanian menghadapi ancaman, ada
keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin menghadang, dan ada pula
keberanian yang terkait kesiapan untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di
sisi-Nya. Adapula keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi terkait
dengan hal-hal jauh di masa akan datang, dan ini memerlukan keyakinan tentang
dekatnya pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun keberanian untuk berpayah-payah demi meraih
kemuliaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla memerlukan kemampuan menahan diri. Tidak
akan mampu seseorang menempuh jalan sulit semata karena ingin meraih ridha
Allah Ta’ala, kecuali jika ia memiliki harga diri (‘izzah) yang kuat sebagai
seorang Muslim. Dan tidak akan tumbuh ‘izzah yang kokoh, kecuali ada penjagaan
diri (‘iffah) yang kuat. Dan ini memerlukan latihan panjang.
Tatkala anak dibesarkan di rumah, anak-anak memperoleh
penguatan dari orangtua, saudara, dan anggota keluarga lainnya. Tetapi ketika
anak tumbuh di sekolah berasrama, maka harus ada kebijakan pendidikan yang
sengaja mengawal anak-anak agar belajar mengendalikan diri dan menjauhi
tana’um. Sekolah dapat membatasi jumlah uang saku anak setiap harinya, tetapi
pembatasan saja tidak cukup. Harus ada pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyyah)
dari pengasuh asrama dan pendidik di sekolah. Harus pula ditumbuhkan suasana penghormatan
terhadap sikap terpuji, kegigihan berusaha, integritas, semangat membantu orang
lain, kesabaran, dan keimanan. Tanpa itu semua, keberanian yang sesungguhnya
serta kendali diri hanya menjadi pengetahuan yang dengan lancar dapat
dituangkan penjelasannya saat ujian, tetapi amat jauh dari penghayatan.
Mari kita ingat sejenak nasehat ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah,
Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnul Ja’d, “Jauhilah orang yang hanyut dalam
kemewahan dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan
berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah).”
Berpakaian sederhana merupakan hal yang biasa, jika anak
hidup di lingkungan yang membiasakan mereka seperti itu. Kebiasaan ini sangat
bermanfaat untuk menjaga orientasi belajar anak sehingga dapat menghadapkan
dirinya secara lebih serius dalam menuntut ilmu. Tetapi jika kebiasaan ini
hanya berhenti sebatas pembiasaan melalui pengendalian lingkungan (asrama),
maka ia akan mudah memudar begitu anak berpindah ke lingkungan lain. Bahkan tak
sekadar memudar, ia justru dapat berbalik total dari sederhana menjadi gemar
bermewa-mewah. Maka, pembiasaan itu harus didahului dan sekaligus disertai
penanaman nilai yang tak putus-putus sehingga anak melakukannya dengan perasaan
positif. Anak melakukannya, menghayatinya dan menjadi bagian dari keyakinannya.
Sebaliknya, sangat berat bagi anak untuk hidup sederhana
jika teman-teman di sekelilingnya, baik di sekolah maupun asrama hidup dalam
suasana memuliakan penampilan, kemewahan, dan kepemilikan. Hidup sederhana
berarti menjadi orang asing di tengah-tengah sekumpulan orang yang sangat
berbeda. Ini merupakan tantangan yang sangat berat, lebih-lebih jika anak
sendiri belum memiliki keinginan untuk menyederhanakan makan dan pakaian.
Padahal umumnya anak usia remaja memang belum memiliki keinginan untuk
sederhana dalam makan dan pakaian. Jika suasana yang tumbuh di sekolah dan
asrama adalah semangat menutup aurat, maka ringan bagi anak untuk mengenakan
pakaian apa pun yang dapat menutup aurat secara sempurna. Tapi jika suasana
yang tumbuh adalah penampilan, sangat mungkin terjadi anak merasa malu jika
tidak menggunakan jilbab merek tertentu.
Mari kita renungkan sejenak atsar dari Amirul Mukminin
‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Saya lebih senang melihat pembaca
al-Qur’an itu berpakaian putih.”
Nah.
Jika anak tidak tersibukkan hatinya dari
berbangga-bangga terhadap pakaian dan penampilan, maka akan lebih mudah bagi
mereka memenuhi hatinya dengan hasrat terhadap ilmu dan akhirat. Lebih ringan
langkahnya untuk menghadap hati kepada ilmu. Bukan sekedar berkonsentrasi
memusatkan perhatian otak saat belajar.
Tentu saja, mereka harus tetap menjaga muru’ah
(kehormatan) sehingga tidak merendahkan martabat mereka maupun kehormatan agama
ini. Dan panduan untuk menjaga muru’ah itu adalah agama ini. Sedangkan guru dan
pengasuh asrama merupakan penjaganya. Merekalah yang bertugas menegakkan nilai,
termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai tersebut.
Kelak, jika sekiranya Allah Ta’ala mudahkan rezeki
mereka dan melimpahi mereka dengan perbendaharaan dunia, semoga akan ringan
hati mereka untuk menolong agama ini dengan harta dan jiwa mereka. Adapun jika
mereka mengambil kenikmatan dunia dari harta yang telah Allah Ta’ala berikan
kepada mereka, baik berupa makanan, pakaian, kendaraan atau pun selain itu yang
halal, dan thayib, maka yang demikian ini semoga senantiasa tak bergeser dari
kebaikan.
Kendali Diri Bekal Berani
‘Alaa kulli haal, sederhana dalam berpakaian hanyalah
sebagian dari apa yang dapat kita lakukan untuk mendidik anak agar mampu
menjauhkan diri dari tana’um. Awalnya melatih dan mendidik mereka untuk mampu
membelanjakan harta secara bertanggung-jawab sesuai tuntunan syariat. Bersamaan
dengan itu anak belajar mengendalikan diri. Bukan menuruti keinginan. Sungguh,
cukuplah orangtua dianggap menyengsarakan anak apabila mereka membiasakan anak
hidup mudah.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar