Kalau
hari ini anak-anak itu menangis, apakah yang akan mereka harapkan tatkala
berlarian mendekat kepadamu? Adakah engkau tawarkan kepada mereka setangkup
roti ataukah engkau bentangkan tanganmu untuk mendekapnya dengan penuh
ketulusan dan kehangatan?
Berbincang
tentang ibu, apakah yang mengantarkan orang-orang besar itu meraih kemuliaan
dan kehebatannya? Apakah karena cerdasnya seorang ibu dalam mengasuh ataukah
tulusnya cinta mereka sehingga bersedia berpayah-payah dan berletih-lelah
mendampingi buah hatinya mempelajari kehidupan? Ataukah karena ibu yang
mengikhlaskan rasa sakitnya untuk mendidik dan mengasuh anaknya?
Pertanyaan
yang sama juga patut kita ajukan ketika kita mendapati kisah orang-orang
jenius. Darimanakah mereka berasal? Apakah dari rahim para ibu yang jenius dan
mengerti betul tentang kecerdasan maupun bakat anaknya? Atau, pertanyaan itu
perlu kita balik sejenak, perlukah seorang ibu mengetahui bakat dan kecerdasan
anaknya agar mampu mengantarkan sang buah hati menjadi manusia jenius?
Ini
memang pernyataan konyol, tetapi saya serius mengajak Anda untuk menjawab
secara jujur seraya merenung; sebelum ada tes bakat, sudah pernah adakah
orang-orang yang dikenal luas karena kemampuannya yang cemerlang? Sebelum ada
tes IQ, adakah jenius-jenius besar yang mewarnai sejarah? Kita tak dapat
mengelak bahwa amat banyak, bahkan amat sangat banyak sosok cemerlang yang
pemikiran, temuan dan usaha gigihnya berpengaruh besar terhadap sejarah
peradaban manusia hingga hari ini. Sebaliknya, kita masih menunggu –jika benar
sesuai klaim mereka—manusia-manusia jenius yang terlahir dari musik Mozart atau
pendekatan instant lainnya?
Sejak
tahun 1996, telah ratusan ribu kopi keping CD, kaset maupun file digital musik
Mozart beredar demi memenuhi mitos bahwa musik Mozart menjadikan anak kita
jenius. Tetapi sampai hari ini, tak satu pun jenius yang terlahir darinya.
Hasil paling nyata dari mitos tentang musik Mozart yang didengung-dengungkan
tanpa pijakan riset ilmiah memadai adalah industri musik dengan keuntungan besar
tanpa perlu banyak biaya promosi.
Teringatlah
saya dengan pernyataan Alex Ross sebagaimana dapat kita baca pada buku Talent
is Overrated karya Geoff Colvin. Ross menyatakan, “Orangtua yang ambisius dan
sekarang ini sedang mempertontonkan video “Baby Mozart” kepada bayinya bisa
kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang
luar biasa.”
Cukuplah
bagi kita peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menampik
mitos tentang musik Mozart. Cepat atau lambat, segala yang bertentangan dengan
syariat akan tampak kelemahan dan kekeliruannya.
Mari
sejenak kita mengingat sabda Nabi, “Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku
yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamr, dan, alat-alat
musik.” (Riwayat Bukhari) Bagaimana mungkin kita akan mencetak generasi Muslim
yang tangguh dan jenius, sementara jalan yang kita tempuh justru bertentangan
dengan agama ini?
Di
luar itu, buku Colvin sendiri –sebagaimana tercermin dalam judulnya–
menunjukkan betapa kita sering berlebihan menilai (overrated) bakat. Kita sibuk
mengejar, mengetahui, dan meyakinkan diri tentang bakat anak kita. Sesudahnya
kita bersibuk memenjarakan anak dengan hanya memberi rangsangan pada apa-apa
yang kita yakini sebagai bakatnya. Padahal boleh jadi, apa yang sekarang
tampaknya merupakan bakat anak kita, hanya merupakan bekal awal untuk menuju
keunggulan berikutnya yang saat ini justru menjadi titik lemahnya. Banyak dari
kita yang meyakini anak memiliki kecerdasan majemuk, tetapi memperlakukannya
seakan berbakat tunggal (single talent treatment), yakni hanya menempa apa yang
kita anggap sebagai bakatnya berdasarkan hasil tes bakat yang reliabilitas dan
validitasnya amat sangat perlu dipertanyakan.
Ironis.
Tetapi,
marilah kita kembali pada pertanyaan, perlukah kita mengetahui IQ anak?
Pentingkah orangtua memahami bakat anak? Rasanya sedih ketika saya harus
menyampaikan bahwa pengetahuan tentang bakat anak hampir tidak ada manfaatnya.
Menelusuri hasil-hasil riset yang diungkap oleh Andrew Robinson dalam bukunya
bertajuk “Sudden Genius?”, kita terhenyak bahwa pemahaman tentang bakat tak
banyak berperan mengantarkan anak menjadi manusia-manusia brilian. Sebaliknya,
kita mendapati betapa banyak orang-orang sukses yang justru lahir dari ibu-ibu
lugu. Carl Frederich Gauss yang berjuluk “The Princes of Mathematics” lahir
dari orangtua tak berpendidikan. Ibunya bahkan buta huruf. Begitu pula sejumlah
jenius lain.
Apakah
Imam Syafi’i Rahimahullah menjadi sosok yang sangat fenomenal dengan kepakaran
yang nyaris tak tertandingi hingga hari ini, lahir dari ibu yang mendalami
bakat anak? Tidak. Tes bakat bahkan belum ada saat itu. Apakah Imam Ahmad
Rahimahullah yang hafal dan paham puluhan ribu Hadist lahir dari ibu yang telah
belajar tentang teknik mengingat instant? Tidak. Tetapi mereka memiliki
ketulusan, penerimaan tanpa syarat, cita-cita besar, dan kesediaan untuk
berpayah-payah mendampingi anaknya. Mereka tak letih memberi usapan sayang dan
sentuhan penuh perhatian kepada buah hatinya. Mereka tak putus-putus mendoakan
anaknya. Yang mereka bangun bukan percaya diri anak, tetapi keyakinan yang kuat
kepada Allah ‘Azza wa Jalla semenjak hari-hari awal kehidupan anak.
Pertanyaan,
masihkah engkau mengusap anakmu ketika mereka sedang gelisah? Masih adakah ketulusan
itu di hatimu? Adakah kerelaan untuk berpayah-payah mengasuh dan mendampingi
mereka? Ataukah kita cukup mempercayakan pendidikan mereka kepada sekolah saja?
Padahal kelak kitalah yang akan ditanya atas iman anak-anak kita. Ataukah untuk
menyiapkan anak-anak agar menjadi pribadi yang cerdas dan cemerlang, kita cukup
mengandalkan lembaga bimbingan belajar atau bisnis kecerdasan ajaib yang tak
pernah melahirkan manusia jenius?
Menerima
secara tulus berarti ridha atas apa yang dikaruniakan kepada kita melalui
anak-anak kita. Maka kita bersungguh-sungguh mengasuh mereka, menyayangi
mereka, memberi dukungan tatkala mereka menghadapi kesulitan dan bukannya
mengambil alih kesulitan tersebut. Semoga dengan demikian anak-anak itu kelak
memiliki kesanggupan menghadapi tugas-tugas berat demi memperjuangkan agamanya.
Semoga
kelak mata kita disejukkan oleh hadirnya anak-anak yang merelakan keringatnya,
hartanya dan letih-lelahnya untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka
berpenat-penat karena amat sangat mengingini akhirat. Bukan karena terpukau
gemerlap dunia.
Masalahnya,
dimanakah kita harus menyekolahkan anak-anak kita agar mereka memperoleh
pendidikan yang menghidupkan jiwa mereka, menegakkan iman mereka, dan
membangkitkan tekad yang kuat untuk senantiasa memperjuangkan agamanya?
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar