Ajak Mereka Mengenali Sesama



Kepedulian tidak lahir dari banyaknya pengetahuan tentang penderitaan orang-orang yang lemah tak berdaya (dhu’afa). Kepedulian kepada sesama akan muncul dari dekatnya anak dengan orang lain, terutama yang memiliki kedekatan nasab, tempat tinggal maupun persahabatan. Jika anak bergaul dengan orang lain, kepekaan sosial akan mudah tumbuh pada dirinya. Kepekaan inilah yang akan memunculkan kepedulian.

Maka…, apakah yang bisa kita harapkan. Dari sekolah-sekolah yang mengajari muridnya dari pagi sampai sore di sekolah, jika mereka tidak dibiasakan untuk bergaul dengan masyarakat? Anak-anak itu memerlukan kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar maupun teman sebaya agar kepekaan sosialnya tumbuh.

Selain itu, pergaulan yang alamiah dengan orang lain diperlukan agar mereka memiliki keterampilan sosial. Melalui pergaulan, anak-anak bisa belajar berempati kepada penderitaan orang-orang yang ia jumpai.

Tetapi kesempatan untuk bergaul dengan orang lain tidak dengan sendirinya menjadikan anak memiliki kepekaan sosial. Ini berarti, selain memberi kesempatan yang memadai untuk bergaul dengan orang lain yang sebaya maupun yang berbeda jauh usianya, anak-anak juga perlu memperoleh dorongan dari sekolah maupun orangtua agar bergaul dengan baik dan memberi manfaat bagi orang lain.

Ini berarti, selain lingkungan yang kondusif, mereka juga memerlukan lingkungan yang suportif. Kondusif berarti lingkungan merangsang anak untuk bergaul dengan orang lain. Sementara suportif berarti ada dorongan secara langsung dari lingkungan terhadap anak.

Tentang berkunjung (ziarah), ada sebuah Hadits yang perlu kita simak: ”Ada seorang lelaki yang hendak menziarahi saudaranya di sebuah desa. Allah mengutus malaikat untuk mengikutinya. Kemudian malaikat bertanya, ‘Akan pergi kemanakah engkau?’ Orang itu berkata, ‘Aku ingin menemui saudaraku di desa ini.’ Malaikat bertanya lagi, ‘Apakah engkau mengharap pemberiannya?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak. Aku hanya mencintainya karena Allah.’” (Riwayat Muslim).

Ketika kita mengunjungi saudara kita karena Allah, kata Najib Khalid Al-’Amir, pada saat itu pula kecintaan kita akan bertambah. Lebih lanjut penulis buku Min Asaalibir Rasul SAW Fit Tarbiyyah menuturkan bahwa saling mengunjungi dalam mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) merupakan cara untuk mengukuhkan jalinan cinta dan persatuan.

Selain itu, berkunjung merupakan kesempatan untuk mengembangkan wawasan dan tukar menukar pengalaman. Tetapi yang paling pokok adalah, kita perlu beri dorongan kepada anak-anak sekaligus memberi pengalaman kepada mereka untuk berkunjung semata karena mengharap ridha Allah SWT. Kita ajak mereka untuk mengunjungi saudaranya seiman dalam rangka memuliakan tuntunan Allah SWT. Bukan karena mengharap dunia. Justru sebaliknya, kita perlu mengasah kepekaan anak-anak itu untuk berbagi dan menolong sesama.

Jika anak-anak –juga kita— mengunjungi saudaranya semata dalam rangka silaturahim, insya Allah setiap langkah akan bermakna. Tak ada yang menimbulkan kekecewaan karena tak ada yang diharap dari pertemuan-pertemuan itu selain ridha Allah ’Azza wa Jalla. Tak ada rasa kehilangan. Nothing to loose. Tak ada rasa kecewa terhadap apa yang kita peroleh. Kalau ada rasa sedih, kita sedih karena melihat keadaan saudara kita sehingga ingin betul rasanya untuk membantu dan memperbaiki. Bukan sedih karena tak memperoleh apa yang diharapkan dari dunia yang dimiliki oleh saudara kita; apakah dunia itu berbentuk harta, kesempatan untuk memperoleh kemudahan atau bentuk lainnya. Dalam keadaan seperti inilah, hubungan antar sesama akan terasa lebih tulus, sehingga menolong sesama tidak terasa sebagai beban.

Menolong Perlu Ilmu
Dorongan untuk menolong akan muncul jika anak memiliki kepekaan. Tetapi kepekaan tanpa dasar ilmu yang jelas, tidak membantu anak untuk mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak pula mengerti apakah yang dilakukan berada dalam koridor kebenaran menurut dien atau tidak. Sementara benar tidaknya perbuatan kita, meskipun dilakukan dengan niat yang baik, sangat menentukan nilai perbuatan tersebut di hadapan Allah SWT.

Ini berarti, perlu ada tiga hal. Pertama, bekal ilmu tentang betapa pentingnya membantu sesama Mukmin, dari yang bersifat sunnah hingga wajib. Kedua, memberi dorongan dan membangkitkan kecintaan pada diri anak untuk senantiasa berbuat baik, melakukan hal-hal yang bermanfaat, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan terus-menerus memperbaiki diri. Ini disampaikan melalui berbagai kesempatan, baik secara langsung kita sampaikan kepada anak maupun melalui ungkapan-ungkapan spontan serta memperdengarkan pada anak anjuran berbuat baik yang kita sampaikan kepada orang lain.

Ketiga, melibatkan anak dalam bergaul dengan orang lain sehingga mereka mampu berkomunikasi, menyesuaikan diri, memahami orang lain, menahan diri, dan merangsang kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Dan pada akhirnya merangsang mereka untuk cepat tanggap terhadap apa-apa yang penting bagi orang lain. Tanpa memiliki kepekaan dan kemampuan untuk tanggap terhadap kebutuhan orang lain, sulit rasanya anak-anak itu akan meringankan kakinya menolong sesama.

Adapun menolong orang lain, awalnya adalah empati. Ini bisa tumbuh dari kedekatan anak dengan orang lain. Sesudah itu mengenali kebutuhan orang lain, kepekaan tentang apa yang harus ia lakukan, hasrat untuk berbuat, niat yang bulat untuk menolong, lalu beranjak ke tekad yang kuat untuk melakukan apa yang menjadi niatnya. Ini pun masih memerlukan satu hal lagi: kecakapan memberi pertolongan. Tanpa keterampilan menolong, niat yang bulat bisa kandas karena tak bisa berbuat.

Tahapan dari empati sampai keterampilan menolong ini perlu kita perhatikan agar anak-anak bisa menetapi apa yang telah diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam (SWA). Mari kita ingat ketika Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Mukmin adalah saudara bagi Muslim yang lain. Di antara mereka tidak boleh terdapat sikap saling menganiaya dan saling membiarkan. Barangsiapa yang membantu urusan duniawi saudaranya, Allah ’Azza wa Jalla akan menolongnya pada hari kiamat nanti. Dan barangsiapa yang membebaskan seorang Muslim dari kesulitan duniawi, Dia akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad).

Berpijak pada Hadits ini, sudah saatnya kita menggerakkan hati anak untuk senantiasa gelisah terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain. Kita dorong mereka untuk menolong sesama tanpa mengharap balasan dan imbalan. Sikap saling menolong justru akan muncul apabila setiap anak memiliki keinginan yang kuat untuk menolong tanpa mengharap balasan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Ini belum cukup. Selain kepekaan dan kesigapan untuk menolong, seorang Mukmin tidak boleh saling menganiaya dan saling membiarkan. Wajib kita mengingatkan ketika ada yang berbuat zalim. Lebih-lebih jika yang melakukan kezaliman adalah pemimpin umat ini, dalam lingkup kecil maupun besar. Ini pula yang harus kita ajarkan kepada anak kita.

Semoga kita kelak bisa melihat anak-anak yang dadanya dipenuhi kasih-sayang, tangannya kokoh menegakkan kebenaran dan sikapnya tegas memegang prinsip. Semoga pula anak-anak kita menjadi pengantar kita masuk ke surga-Nya yang tertinggi. Allahumma amin. 

Mohammad Fauzil

0 komentar:

Posting Komentar