Suatu saat seorang suami datang kepada saya. Belum saya
persilakan masuk, laki‐laki muda ini segera duduk dan berbicara panjang lebar, bahkan sebelum memperkenalkan diri dan bertanya apakah saya
punya waktu saat itu. Ia terus saja berbicara. Ketika handphone saya berdering
dan kemudian saya berbicara dengan penelpon, lelaki ini tetap saja bercerita
dengan meluap‐luap. Saya ke dapur mengambilkan minum
untuknya, ia tetap berbicara sendirian. Akhirnya, saya berkesimpulan tamu saya
kali ini pastilah mempunyai beban emosi yang sangat berat. Begitu beratnya
sehingga ia sudah kehilangan kendali. Ia tak lagi membutuhkan pendengar yang
mau mengerti perkataannya. Ia hanya butuh kesempatan untuk menumpahkan isi hati
dan kekesalannya dengan tuntas.
Pertemuan pertama hampir tak ada yang bisa digali,
kecuali bahwa ia mempunyai konflik yang berat dengan istrinya. Meski waktu
masih memungkinkan untuk berbincang panjang dengannya, tetapi saya melihat
bukan saat yang tepat. Ibarat komputer, sistemnya perlu di-restart dulu agar
bisa melihat masalah sendiri dengan baik. Kali ini, yang paling penting ia bisa
menata kembali pikirannya, menyusun kembali kemarahan, kekecewaan, kesedihan
dan juga kerapuhan jiwanya dengan baik. Bahasa komputernya, kesempatan pertama
lebih banyak saya manfaatkan untuk memberi kesempatan kepadanya melakukan
defragmentasi pikiran‐pikiran dan emosinya sehingga ia bisa menempatkannya secara lebih teratur.
Pertemuan berikutnya, saudara kita ini sudah bisa
menceritakan secara lebih jelas masalah yang dihadapinya. Meski masih melompat‐lompat dan banyak yang
berulang‐ulang, saya mulai bisa menangkap akar masalahnya. Pada
pertemuan berikutnya lagi, mulailah kelihatan penyebab
konflik rumah‐tangganya yang berlarut‐larut. Di antara
penyebab utama per¬tikaian yang menimbulkan kekerasan fisik satu sama
lain–istrinya sering bertindak sangat kasar sampai melukai suaminya—adalah
kegagalan komunikasi. Keduanya keras, mudah tersinggung
sekaligus mudah terbakar emosinya menjadi peri¬laku yang membahayakan.
Sebenarnya, tidak masalah suami‐istri sama‐sama memiliki sifat
mudah tersinggung, keras dan mudah marah, sejauh keduanya saling menyadari tentang sifat buruk mereka. Berawal dari saling menyadari ini, mereka
belajar untuk saling mengenali penanda emosi dari kedua belah pihak. Istri saya
misalnya, tahu saya sedang marah, bad mood (suasana hati sedang negatif) atau
pikiran sedang tegang dari rambut saya. Diam‐diam ia rupanya menandai
bahwa setiap kali satu dari tiga situasi buruk itu muncul, rambut di ubun‐ubun saya berdiri.
Alhasil begitu melihat penanda emosi itu muncul, istri saya segera mengambil langkah
yang perlu. Misalnya bertanya apa yang sedang saya alami
atau sejenak mengajak anak¬-anak agar tidak gaduh.
Dari sejarah kita belajar, kisah romantis antara
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri beliau, ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha tak lepas dari kepekaan Rasulullah. Beliau mengenal penanda
suka dan marahnya hati ‘Aisyah.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah
berkata kepadaku, ‘Sungguh aku dapat mengetahui kapan engkau sedang suka padaku
dan bila engkau lagi marah.” ‘Aisyah bertanya, “Darimana engkau tahu?”
Rasulullah berkata, “Bila engkau sedang suka padaku, engkau berkata, ‘Demi
Tuhannya Muhammad.’ Dan apabila engkau sedang marah padaku, engkau berkata,
‘Sungguh, demi Tuhannya Ibrahim.’ ‘Aisyah berkata, ‘Demi Allah, memang benar ya
Rasulallah, yang tidak kusebut hanyalah namamu.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
Apa yang bisa kita petik dari Hadits ini? Kepekaan untuk
mengenali penanda emosi istri. Berpijak dari mengenali penanda ini, kita bisa
menentukan sikap dengan lebih tepat dan menahan diri dari perilaku yang bisa
memperkeruh. Jadi, bukan justru menyulut emosi. Inilah yang sering saya sebut
sebagai kedewasaan emosi; kemampuan untuk mengenali, mema¬hami dan menerima
dengan baik.
Selanjutnya, mereka bisa belajar untuk saling
mengomunikasikan emosi negatifnya dengan cara positif. Tidak saling marah,
tidak saling memojokkan dan tidak saling menyakiti. Emosi negatif bisa berupa
rasa kesal, marah maupun rasa tidak suka. Semuanya ini bisa mengganggu hubungan
suami-istri. Jika dibiarkan, komunikasi antar kita akan rentan salah paham dan
pertikaian. Tetapi emosi negatif itu bisa diungkapkan dengan cara yang nyaman.
Kita mengungkapkan perasaan yang sedang kita alami.
Kita bisa mengatakan, “Maaf, saya lagi marah. Emosi saya
lagi negatif.”
Menahan Diri untuk Tidak Menyalahkan
Jika situasinya memungkinkan, suami‐istrinya bisa mengungkapkan emosi negatifnya dengan setuntas‐tuntasnya. Ia bicara
secara terbuka sekaligus dengan hati‐hati apa saja yang
membuat kita marah atau sakit hati. Tetapi kita harus menahan diri untuk tidak
menyalahkan. Kita harus ingat bahwa semarah apa pun kita,
komunikasi suami‐istri bertujuan untuk mencapai titik temu terbaik; titik
temu yang saling memberi kelegaan, perasaan dihargai dan didengar.
Sampai di sini, kita masih perlu menahan diri untuk
tidak terburu‐buru mencari jalan keluar atas masalah
yang sedang menyelimuti. Ada kecenderungan, dalam situasi seperti ini kita
masih belum bisa berpikir secara jernih. Sebaliknya, kita cenderung masih ingin
saling memenangkan pendapat dan bahkan saling memojokkan. Kalau kita sendiri
masih belum bisa berpikir jernih, sebaik apa pun jalan keluar yang diajukan
oleh suami atau istri kita, tetap saja sulit kita terima apa adanya. Itu
sebabnya, kita perlu menahan diri sejenak. Yang paling penting untuk kita raih
bersama adalah masing‐masing pihak merasakan adanya iti¬kad
baik, sehingga hati akan mudah menemukan kedamaian.
Kalau sekiranya pasangan kita masih meluap‐luap emosinya dan bahkan
cenderung memuncak, maka belajar dari Rasulullah kita perlu menahan diri
sejenak. Biarlah emosinya reda. Jangan menyalahkan. Jangan
pula menuntut. Bahkan andaikan kesalahan itu jelas ada padanya, tahan diri
sejenak.
Di saat emosinya masih meluap‐luap, boleh jadi obat
yang paling tepat untuk menahan emosi agar tidak semakin menghebat adalah
kesediaan untuk mendengar. Kita ikhlaskan diri untuk
mendengar luapan emosinya tanpa berkomentar. Kita terima apa adanya tanpa
menyalahkan. Kalaupun ada yang salah, kita bisa meluruskannya. Bukan menyalahkan.
Itu pun harus menunggu hingga secara emosi, keadaannya menjadi lebih baik.
Kalau emosi sudah reda, masing‐masing sudah saling tahu
apa yang tidak mengenakkan hati, kita bisa merencanakan waktu dan tempat yang
tepat untuk membicarakan.
Bicarakanlah masalah yang ada dengan santai.
Diskusikanlah apa yang sebaiknya kita lakukan dengan tenang dan dari hati ke
hati. Wallahu a’lam bis-shawab.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar