Moh Mahfud MD,
Guru
Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 17 Maret 2012
“Memalukan kita, ya. Ustaz Fulan yang alim ternyata
berselingkuh dan mengkhianati istrinya,” kata Suranto sesaat setelah kami
selesai salat magrib berjamaah di Masjid Darul Ikrom.
Masjid Darul Ikrom adalah masjid di depan rumah saya di
Yogyakarta yang dulu dibangun atas swadaya masyarakat di Dusun Sambilegi itu.
Setelah salat berjamaah adakalanya kami duduk reriungan sambil ngobrol berbagai
hal,termasuk soal politik nasional.Saat saya berakhir pekan di Yogya pada akhir
Februari lalu itulah Suranto mengungkapkan kekecewaannya tentang ustaz yang
semula dikaguminya. “Ustaz Fulan siapa, ya?” tanya saya.
Ternyata ustaz yang dimaksud adalah ustaz dalam sebuah
sinetron yang ditayangkan secara berseri di sebuah stasiun televisi. Rupanya
Suranto percaya bahwa yang menjadi Ustaz Fulan dalam sinetron yang selalu
ditontonnya adalah ustaz benaran, padahal Fulan hanya memainkan peran ustaz
dalam sinetron itu. Dia hanya disuruh tampil (dengan berakting) untuk berperan
sebagai ustaz. Saat menonton infotainment bahwa sang ustaz mengibuli istrinya
dan berselingkuh dengan seorang artis, Suranto menjadi kecewa kepada ustaz yang
diidolakannya itu.
Saya pun bilang kepada Suranto bahwa dirinya salah. “Dia
itu bukan ustaz sungguhan, tetapi hanya ustaz dalam sinetron,” kata saya. “Oh,
begitu, toh,” kata Suranto tersipu-sipu.“Ya, dia tak punya kapasitas ilmu
maupun akhlak untuk disebut ustaz,”kata saya lagi. Di tengah-tengah masyarakat
kita memang banyak yang teperdaya,memercayai bahwa ustaz atau ulama yang tampil
di sinetron adalah ustaz atau ulama sungguhan. Padahal kalau kita perhatikan
banyak di antara mereka ini yang tak tahu banyak tentang agama.
Bahkan, karena ketidaktahuan sutradara tentang ciri
ustaz dan ulama, orang yang tak bisa mengucapkan istilah agama dengan makhraj
yang benar diberi peran ustaz atau ulama yang memimpin pesantren besar di dalam
sebuah sinetron. Lihat saja.Di dalam sinetron ada orang yang diberi peran ulama
atau ustaz, tetapi mengucapkan nama Allah dengan kata “Auloh”, kalau disuruh
mengucap “astaghfirullahal adziem” yang keluar “astakfiru lohal asim”, dan
lain-lain.
Ada juga yang resmi mengisi ceramah agama di televisi, tetapi ketika
membaca ayat atau hadis yang agak panjang terlihat penguasaannya atas sumber
primer ajaran Islam lemah, misalnya banyak yang salah dalam menggunakan makhraj
(cara pengucapan huruf Arab) maupun nahwu dan shorof (tata bahasa Arab). Di
televisi juga banyak orang yang ditampilkan sebagai orang “pintar” yang mampu
melakukan pengobatan alternatif, tetapi membaca ayat Quran dan hadis secara
salah dan sembarangan.
Sebenarnya ustaz atau ulama yang benar cukup banyak di
tengah-tengah masyarakat kita. Mereka tak pernah bermain sinetron, bahkan
sangat jarang tampil di media massa. Mereka langsung membimbing umat di
tengah-tengah masyarakat.Mereka bukanlah ustaz atau ulama sinetron, tetapi
ustaz dan ulama sungguhan. Dan jangan dikira, ustaz dan ulama yang seperti ini
hanya tahu fikih ibadah. Mereka juga paham betul tentang fikih sosial sehingga
mampu memberi pencerahan dengan aktual. Tanggal 10 Februari yang lalu saya
berkunjung ke rumah ulama terkenal di Pekalongan, Habib Luthfi Ali bin Yahya.
Pengetahuannya tentang hukum Islam sangat maju, bahkan
ketua organisasi tarikat NU ini bisa menerangkan polarisasi politik di dunia
global, terutama posisi kaum muslimin dan berbagai alirannya. Habib Luthfi
sangat paham atas detail sejarah Islam dengan berbagai ancaman yang harus kita
perhatikan berdasar pengalaman sejarah. Di ruang kerja pribadinya ada organ dan
seperangkat alat musik, pertanda dia tidak kolot seperti yang sering
dibayangkan banyak orang tentang kiai.
Dua minggu yang lalu selama seharian saya bepergian
dalam satu mobil dengan Gus Yusuf Chudhori, kiai muda yang kini memimpin pondok
pesantren besar di Tegalrejo, Magelang. Gus Yusuf sangat paham peta politik
makro nasional maupun politik mikro kaum muslimin dan bisa mengupasnya dari
dalil-dalil agama dengan jelas. Hebatnya, kiai yang tak pernah masuk perguruan
tinggi ini hafal juga lagu-lagu pop berbahasa Inggris. Itu saya ketahui ketika
dia bernyanyi mengikuti lagu-lagu yang disetel di mobil di sepanjang
perjalanan.
Bersama Gus Yusuf saya berkunjung ke rumah Gus Mus alias
Kiai Mustofa Bisri dan Kiai Maemun Zubeir di Rembang. Gus Mus sudah dikenal
luas sebagai ulama-sufi-sastrawanseniman yang sangat maju dan sangat
Indonesiawi. Toleransinya terhadap perbedaan dan apresiasinya terhadap kemajuan
umat sangat dipuji oleh berbagai golongan. Begitu pun Kiai Maemun Zubeir. Kiai
paling sepuh ini pikirannya sangat jernih dan pandangannya sangat inklusif.
Seperti Habib Luthfi,Kiai Maemun sangat piawai
menerangkan sejarah dan perpolitikan Indonesia sambil mengomparasikannya dengan
penggalan-penggalan sejarah Islam. Kiai Maemun berpesan kepada kami agar
menjaga bangsa Indonesia yang inklusif, bukan Islam yang eksklusif.
Bagi saya tokoh-tokoh seperti Habib Luthfi, Gus Yusuf,
Gus Mus, dan Kiai Maemun adalah ulama-ulama umat yang tak pernah berpura-pura
seperti ulama sinetron. Di Indonesia masih banyak ulama-ulama umat yang selalu
menjaga inklusivitas kebangsaan Indonesia kita.
0 komentar:
Posting Komentar