Apa yang membuat kita mau berusaha
lebih gigih untuk meraih sesuatu? Macam-macam. Banyak hal yang bisa
menggerakkan kita untuk bertindak lebih serius. Tak peduli suka atau tidak,
kita bersungguh-sungguh mengerjakannya.
Apa yang menjadikan kita bersedia
meluangkan waktu lebih banyak dan belajar lebih keras? Sama juga. Ada berbagai
faktor yang bisa memaksa kita untuk menekuni sesuatu dan mengabaikan yang
lainnya. Sebagaimana ada banyak alasan yang bisa menggairahkan kita untuk
bertekun-tekun mengkaji sesuatu. Karena takut, kita bisa bersungguh-sungguh
melakukan sesuatu agar terhindar dari bahaya yang mengancam. Karena tekanan,
kita bisa bertahan untuk melakukan apa yang tidak kita sukai. Atau karena suka,
kita bisa lupa waktu bahwa malam sudah beranjak mendekati pagi. Kita masih
asyik membuka-buka buku yang sudah tiga atau empat kali kita nikmati.
Sebagaimana kita, anak-anak
melakukan sesuatu juga karena satu alasan. Harus ada yang menjadi penggerak;
sebuah alasan mengapa ia harus melakukan sesuatu dan mewujudkan tujuannya. Jika
kita membangkitkan dalam diri mereka satu alasan yang kuat, mereka akan belajar
dengan sangat serius dan sungguh-sungguh, meskipun kita sedang tertidur lelap.
Tetapi jika kita berangkat dari pertanyaan apa yang membuat mereka belajar, maka
kita akan sibuk untuk terus-menerus menyuruh atau menyediakan apa yang bisa
menggerakkan mereka untuk belajar: terpaksa atau tidak. Bukan berarti kita
tidak perlu bertanya apa yang membuat mereka belajar, tetapi pertanyaan ini
seharusnya ada setelah kita menumbuhkan dalam diri anak-anak itu alasan mengapa
mereka perlu bersungguh-sungguh memeras keringat mereka untuk mencari ‘ilmu dan
menanamkan kebanggaan terhadapnya; bangga menjadi orang yang rela lecet kakinya
untuk mengejar ilmu.
Menumbuhkan Sikap Belajar
Jika
anak-anak memiliki alasan yang kuat untuk belajar, maka usaha untuk membuat
mereka nyaman belajar akan mendorong mereka lebih bergairah menyerap ilmu.
Keterampilan belajar kita bangun sesudah sikap belajar tumbuh dalam diri anak
didik kita. Ini berarti menumbuhkan sikap belajar jauh lebih mendesak daripada
kemampuan memahami pelajaran, terutama untuk siswa SD kelas bawah. Sikap
belajar yang positif akan membangkitkan antusiasme. Inilah yang menjadikan anak
senang belajar. Mereka belajar karena mereka ingin melakukannya. Bukan karena
ancaman.
Pertanyaannya, bukankah tanpa
ancaman anak-anak cenderung malas belajar? Hemm…. Ancaman memang bisa membuat
mereka belajar asalkan rasa takut itu masih ada. Tetapi ketika sudah terbiasa,
mereka tak lagi bersedia membuang-buang waktu untuk menyimak buku-buku
pelajaran. Akibatnya, kita perlu memberi ancaman yang lebih besar agar mereka
bersedia belajar.
Tekanan yang kita berikan kepada
mereka juga dapat menjadikan anak-anak lebih tekun belajar. Apalagi jika ada unsur
penguat, misalnya mengulang di kelas 6 bersama adiknya jika tidak lulus UASBN.
Tetapi segera setelah tekanan itu berlalu, kesediaan mereka untuk belajar akan
hilang. Lebih-lebih jika kita sendiri sudah tidak terlalu peduli apakah mereka
belajar atau tidak, kesediaan mereka belajar akan lebih merosot lagi. Padahal,
kesediaan untuk belajar sangat berbeda dengan kemauan. Mau belajar tidak sama
dengan kemauan untuk belajar.
Di luar itu, hilangnya kepedulian
kita terhadap kegiatan belajar anak tatkala tidak menghadapi ujian juga
menunjukkan bahwa kita sendiri tidak mempunyai cukup alasan kenapa belajar itu
penting. Padahal, alasan mengapa (the reason why) perlu belajar jauh lebih
penting daripada apa yang bisa menjadikan anak mau belajar. Yang pertama membangkitkan
kemauan belajar, sedangkan yang kedua hanya menjadikan mereka mau belajar.
Bukan kemauan. Ini berarti, mereka akan segera meninggalkan kegiatan
membosankan ini apabila ujian sudah berlalu atau ujian dirasa masih jauh.
Sementara ketika ujian sudah dekat, mereka menghadapi stress yang cukup berat.
Lalu, apa yang bisa kita simpulkan
jika ternyata stress dan pola belajar keras hanya ketika menghadapi ujian juga
dianut oleh guru dan sekolah? Sederhana sekali. Pola ini dengan jelas
menunjukkan bahwa sekolah sendiri tidak menaruh perhatian pada pembentukan
budaya belajar. Sekolah hanya memperhatikan materi ujian dan prestasi akademik
yang bahkan lebih layak disebut kemampuan kognitif semata.
Apa yang terjadi kemudian, bisa
kita ramalkan dengan mudah. Tanpa alasan yang kuat, sekolah akan sibuk dengan
stress tahunan. Setiap menjelang ujian, tiga atau empat bulan sebelumnya, ada
stress massal yang terjadi pada guru, siswa, dan wali siswa. Uniknya, stress
massal ini terus-menerus mencengkeram dari tahun ke tahun tanpa ada usaha
berarti untuk mengubahnya menjadi gairah. Seakan sudah menjadi suratan takdir.
Paling-paling, alih-alih menemukan akar masalahnya dan menyelesaikannya dengan
tuntas, kita justru sibuk menyalahkan UASBN – UAN. Padahal, tak ada yang perlu dicemaskan
jika anak-anak kita sudah memiliki budaya belajar yang kuat. Mereka memang
tidak menjadikan sukses UAN sebagai tujuan, tetapi gairah belajar mereka yang
kuat dengan sendirinya menjadikan UAN tak lagi menakutkan.
Pertanyaannya, bagaimana cara menyuntikkan
alasan yang kuat dalam diri anak-anak sehingga mereka berhasrat belajar? Cara
paling sederhana adalah memotivasi. Bukan sekedar menyemangati. Ada dua
pendekatan motivasi yang perlu kita pahami agar bisa memanfaatkannya dengan
sebaik-baiknya, yakni motivasi lembut (soft motivation) dan motivasi keras
(hard motivation). Yang pertama, menitikberatkan pada penghayatan nilai-nilai
hidup melalui dialog antara pendidik dan anak-anak.
Salah satu cara untuk menumbuhkan
orientasi hidup yang baik dalam diri anak adalah dengan sering mengajak mereka
berpikir tentang apa yang ingin mereka perbuat bagi umat dan agama ini kelak
ketika mereka dewasa. Kita memberi rangsangan kepada mereka agar memiliki tekad
yang kuat untuk berbuat baik. Keinginan berbuat itulah yang menjadi orientasi
hidupnya sekaligus cita-citanya di masa dewasa. Bukan sekadar menjadi apa.
Motivasi lembut memang lebih lambat
prosesnya. Tetapi ia lebih kuat pengaruhnya, bisa dilakukan setiap orang, dan
tidak memerlukan kemampuan vokal yang bagus. Sedangkan motivasi keras, lebih
cepat kelihatan hasilnya sekaligus relatif cepat luntur. Tak menunggu waktu
lama untuk melihat pengaruhnya. Belum selesai kegiatan motivasi diberikan, kita
sudah bisa melihat betapa terpengaruhnya mereka. Airmata sudah tumpah, tangan
sudah mengepal, dan dada mereka sudah menggelegak dengan semangat yang
berkobar-kobar. Tekad besar seketika muncul. Kesulitan harus ditaklukkan
sekarang juga!!!
Ini bukan berarti tak ada tempat
bagi motivasi keras. Ibarat shalat, ada yang perlu seremoni semisal shalat
Jumat. Bahkan ada yang perlu seremoni lebih banyak lagi seperti shalat ‘Ied.
Tetapi pilar utamanya tetap shalat lima waktu setiap harinya.
Motivasi juga demikian. Kegiatan
motivasi yang menggunakan seremoni sekali waktu bisa saja kita selenggarakan
untuk menggugah lebih cepat dan menggerakkan lebih dahsyat. Tetapi yang jauh
lebih penting adalah motivasi sehari-hari, meskipun namanya bukan motivasi.
Kita perlu senantiasa mengingatkan, menumbuhkan dan merawat niat anak didik
kita dalam belajar.
Inilah yang perlu diingat oleh para
guru. Setiap hari kita perlu menggerakkan hati anak didik kita sebelum memberi
pelajaran kepada mereka. Hati yang mengingini akan mudah menerima pengetahuan
yang diajarkan. Sebaliknya otak cerdas tanpa keinginan yang cukup, membuat
pelajaran yang sederhana pun mudah mereka lupakan.
Kuatnya keinginan terhadap ilmu
mendorong kita untuk lebih bersemangat memahami, mengkaji dan mewujudkan. Bukan
sekadar mengingat sesaat dan tak berselang lama sudah lupa kembali.
Agaknya, ada yang perlu kita
pikirkan berkait dengan pendidikan anak-anak kita di sekolah. Ada alasan yang
perlu kita bangun dalam diri anak-anak kita untuk belajar lebih serius, lebih
gigih dan lebih bersemangat. Sebuah alasan yang benar-benar mendasar.
Bagaimana…?
Bagaimana…?
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar