Bertanyalah
kepada orang yang merasa daya ingatnya rendah, apa yang sulit mereka lupakan.
Menarik! Ternyata hampir semua memiliki pengalaman yang tidak mudah mereka
hapuskan; mudah sekali teringat setiap kali ada peristiwa yang berkait. Begitu
juga, kita menjumpai betapa banyak peristiwa, tindakan, ucapan bahkan tulisan
yang dengan mudah mereka rekam dan pahami sekaligus bisa segera mereka ingat
tatkala memerlukan. Padahal, mereka merasa daya ingatnya rendah!
Kita
melihat di sini sebuah kontradiksi menarik: daya ingat rendah, tetapi susah
lupa!
Apakah ini sebuah keanehan? Tidak. Kita merasa aneh semata karena belum memahami prinsip-prinsip yang berada di baliknya. Begitu kita mengetahui bagaimana otak bekerja, segera kita memahami betapa dahsyatnya kemampuan otak yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada manusia yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apalagi yang memang ditakdirkan sebagai manusia jenius.
Apakah ini sebuah keanehan? Tidak. Kita merasa aneh semata karena belum memahami prinsip-prinsip yang berada di baliknya. Begitu kita mengetahui bagaimana otak bekerja, segera kita memahami betapa dahsyatnya kemampuan otak yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada manusia yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apalagi yang memang ditakdirkan sebagai manusia jenius.
Anda
sendiri saya kira juga memiliki hal-hal yang sulit dilupakan maupun hal-hal
yang sangat mudah diingat. Yang sulit kita lupakan adalah peristiwa yang
memiliki bobot emosi sangat kuat. Gempa bumi misalnya, umumnya termasuk
peristiwa yang sulit dilupakan. Peristiwa traumatis bahkan bisa menghantui
seseorang sepanjang hidupnya sehingga menuntut usaha keras untuk melupakannya,
meski peristiwa yang sama tidak menimbulkan efek apa-apa bagi orang lain.
Sementara yang mudah kita ingat adalah hal-hal yang kita minati, yang berkaitan
dengan tujuan kuat dalam diri kita, baik jangka pendek maupun cita-cita besar di
masa mendatang yang benar-benar mempengaruhi diri kita.
Pengagum
berat musik rock misalnya, dengan mudah akan hafal –bahkan tanpa
menghafalkan—lagu baru yang dilantunkan oleh penyanyi pujaannya, cukup satu
kali mendengarkan. Padahal dalam bidang akademik, boleh jadi dia merasa susah
mengingat materi pelajaran sederhana yang disampaikan oleh guru paling menarik
sekalipun.
Apa
sebabnya? Rasa suka. Karena ia sangat mengagumi sang penyanyi, maka muncul
antusiasme saat mendengarkan. Antusiasme inilah yang menimbulkan semangat
hingga kita bisa menghafal lagu dengan sangat cepat. Tanpa sadar, kita telah
belajar dengan mengerahkan kemampuan otak kita secara maksimal. Bukankah salah
satu yang menguatkan daya ingat saat belajar adalah perhatian?
Nah,
sebuah pelajaran baru saja kita catat, antusiasme menjadikan perhatikan kita
meningkat terhadap apa yang kita pelajari.
Jika
mencermati bagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in mendengarkan
setiap tutur kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW), kita merasakan
betapa besar antusiasme mereka. Ada kecintaan yang luar biasa dalam diri setiap
sahabat kepada Rasulullah SAW sehingga secara spontan mereka memperhatikan
dengan sungguh-sungguh disertai minat yang sangat tinggi terhadap setiap ucapan
dan tindakan Rasulullah.
Selain rasa suka yang membangkitkan antusiasme, tujuan yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya ingat. Kuatnya tujuan akan menciptakan konteks dalam otak sehingga kita mudah melihat hubungan antar berbagai pokok pembahasan yang kita dengar, lihat, simak dan baca. Ini memudahkan kita memahami sebuah masalah, menguasai konsepnya dengan baik dan memikirkan penerapannya, menganalisis permasalahan secara terampil dan bahkan memadukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh. Ini berarti, kuatnya tujuan memudahkan kita mengingat, mengetahui dengan baik, memahami secara matang hingga melakukan sintesis atas apa yang kita pelajari. Setidaknya, tujuan yang jelas dan kuat menjadikan kita mudah memahami apa yang bagi kebanyakan orang sulit untuk dimengerti.
Selain
tujuan, daya ingat kita juga dipengaruhi oleh makna atau nilai yang kita hayati
atas apa yang kita lakukan. Lebih-lebih jika nilai itu sudah menjadi karakter
pribadi, kita akan mudah memahami apa yang kita pelajari.
Lalu,
darimana makna itu kita peroleh? Ada dua hal. Pertama, penghayatan secara
langsung terhadap makna kegiatan kita –dalam hal ini belajar— sehingga kita
merasakan, menerima dan mengikatkan diri dengan nilai tersebut. Ini erat
kaitannya dengan niat, disamping proses penanaman nilai yang bersifat terus
menerus. Dimulai dengan membangun kesadaran sehingga anak-anak memiliki
kemampuan untuk memperhatikan sesuatu dengan nilai yang diyakininya, lalu
berangsur meningkat kepada partisipasi, penghayatan nilai, membentuk sistem
nilai hingga akhirnya terbentuk karakter diri yang kuat. Itu sebabnya, pendidik
perlu terus-menerus menyegarkan niat murid maupun dirinya sendiri. Jika guru
mengajar dengan niat yang baik dan kuat, ia akan mengajar dengan penuh antusiasme
dan kesungguhan. Dan karena antusiasme menular, anak-anak akan memiliki
antusiasme yang besar pula!
Kedua,
penanaman dan penguatan tujuan. Proses ini bisa dilakukan di rumah maupun
sekolah. Akan lebih baik jika orangtua melakukannya dan guru menguatkannya di
sekolah, sekaligus memperkaya wawasan siswa. Penguatan tujuan ini juga bisa
kita lakukan dengan membangun visi hidup serta orientasi hidup anak. Jika visi
hidup berkait dengan harapannya di masa yang akan datang, orientasi hidup
adalah bagaimana dia memandang kehidupannya sehari-hari; untuk apa ia hidup.
Masih
berkenaan dengan ingatan yang tajam. Daya ingat juga sangat dipengaruhi oleh
emosi positif yang bernama optimisme. Salah satu faktor yang mendorong anak
untuk optimis adalah keyakinan terhadap pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla; bahwa
Tuhan tak pernah tidur dan senantiasa menolong hamba-Nya yang memerlukan. Di
sinilah kita bisa membangun pemahaman sekaligus orientasi hidup pada siswa
tentang siapa saja orang yang senantiasa mendapat pertolongan dari Allah dan
apa saja syaratnya.
Rasa Takut yang Positif
Jika
optimisme berpengaruh terhadap daya ingat serta kemampuan memahami, maka
kekhawatiran dan rasa takut membuat otak sulit mencerna informasi yang kita
terima. Anak-anak yang cemas saat belajar cenderung lamban dalam memahami
pelajaran serta lemah dalam mengingat apa yang sudah pelajari. Lebih-lebih jika
dibayangi oleh kegagalan, anak akan cenderung stress dan sulit memusatkan
perhatian. Di saat konsentrasi lemah seperti itu, pelajaran yang mudah pun akan
terasa sangat sulit.
Yang
menyedihkan, kita justru sering menuntut mereka agar memperhatikan pelajaran di
saat mereka sedang mengalami kesulitan berkonsentrasi. Ini membuat anak merasa
semakin cemas. Ia pesimis. Tak berdaya. Ujungnya, ia mulai menunjukkan perilaku
menyimpang, nakal dan sejenisnya. Tindakan ini justru menguatkan keyakinan
orangtua maupun guru bahwa anak-anaknya tidak bisa diatur, bodoh dan
sejenisnya. Sebuah lingkaran setan yang sempurna!
Itu
sebabnya, kita perlu memberi motivasi kepada anak-anak dengan membangun
kedekatan emosi antara guru (termasuk orangtua) dan anak, membangkitkan
antusiasme, menumbuhkan tujuan yang kuat, optimisme serta tanamkan makna dan
nilai (meaning & value) yang kokoh. Gugah mereka untuk mempunyai mimpi
besar di masa yang akan datang. Mimpi untuk berbuat dan bermakna. Bukan
angan-angan untuk mendapatkan dunia melalui kecerdasannya.
Selain
motivasi secara langsung, penguatan tujuan juga bisa kita lakukan dengan
menciptakan rasa takut yang positif. Apa itu?
Jika
rasa takut menghadapi ujian akan melemahkan kemampuan mereka dalam belajar,
maka ketakutan yang berpijak pada rasa tanggung-jawab terhadap masa depan umat
ini, akan menguatkan tujuan. Semakin efektif kita menanamkan rasa takut yang
positif, akan semakin kuat tekad mereka untuk belajar. Kita ajak mereka untuk
membayangkan masa depan yang mengerikan bagi bangsa, umat atau keluarga,
kecuali jika mereka bersungguh-sungguh merebut masa depan.
Wallahu a’lam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar