Jiwa yang Bercahaya


Inilah pelajaran tentang Luqman al-Hakim, lelaki Habsyi yang Allah Ta’ala se-butkan namanya dengan penuh kemuliaan di dalam kitab suci-Nya, al-Qur`anul Karim. Inilah Luqman, hamba Allah yang mem¬peroleh karunia berupa hikmah. Sebuah kearifan yang berpijak pada tulusnya cinta, lurusnya akidah dan bersihnya iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla; tidak bercampur iman itu dengan kesyi¬rikan. Inilah yang perlu kita perhatikan baik-baik, sebab adakalanya orang yang merasa men¬cintai Allah Ta’ala, masih mencampurkan keimanan dengan kesyirikan. Mereka mencintai sesembahan selain Allah Ta’ala sebagaimana mereka mencintai Allah. Yuhibbuunahum ka hubbillah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-o¬rang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah [2]: 165).

Menurut sebagian riwayat, Luqman al-Hakim adalah seorang tukang kayu. Sebuah pekerjaan yang boleh jadi kita anggap rendahan. Tetapi kata-kata bijaknya telah mengantarkan ia sebagai manusia yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah.
Lalu, kata-kata bijak apa yang mengantarkan ia sebagai manusia pilihan? Mari kita si¬mak kata-kata penuh hikmah berikut ini:

”Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ’Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyu¬kur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Luqman [31]: 12).

Bagian pertama ayat ini, yakni ”bersyukurlah kepada Allah”. Menurut Ibnu Katsier bermakna perintah untuk bersyukur kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung atas karunia yang telah diberikan secara khusus kepadanya, tidak diberikan kepada manusia sejenuis yang hidup pada masa itu.

Sedangkan bagian berikutnya yang berbunyi ”barangsiapa yang bersyukur, maka sesung¬guhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri”, bermakna bahwa sesungguhnya manfaat bersyukur itu berpulang kepada orang yang bersyukur itu sendiri, karena Allah berfirman, ”Dan barang¬siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” Dia tidak membu¬tuhkan hamba dan Dia tidak mendapatkan mudharat jika seluruh penduduk bumi ingkar se¬bab Dia tidak membutuhkan perkara selain-Nya.

Ada pelajaran lain yang bisa kita petik dari ayat ini. Bersyukur merupakan dasar yang sangat penting bagi pertumbuhan mental anak, terutama untuk membentuk karakter unggul. Jika seseorang mensyukuri hidupnya, maka sekurangnya ada empat hal yang terjadi pada dirinya.

Pertama, syukur membuat hidup terasa sangat berharga karena setiap detik nafas kita penuh dengan nikmat. Kedua, sikap syukur mendorong anak untuk senantiasa bersemangat. Setiap kali kita menemukan karunia, maka akan bangkit semangat dalam diri kita untuk men¬jalani kehidupan dan memanfaatkan kesempatan umur sebagai bekal berharga meraih masa depan yang lebih mulia.
Ketiga, syukur yang sudah menjadi karakter akan membentuk sikap optimis dalam berjuang dan menatap masa depan. Orang yang bersyukur mampu melihat sekaligus merasakan limpahan nikmat di saat yang paling sulit sekalipun, sementara orang lain sulit melihat masa depan bahkan di saat mereka memperoleh banyak kemudahan dan kenikmatan. Keempat, rasa syukur yang kuat menjadikan anak menerima dirinya sendiri se¬cara positif. Ini sangat penting bagi proses pembentukan konsep diri yang baik.

Anak-anak bermasalah, terutama di masa remaja dan bahkan dewasa, umumnya ber¬awal dari konsep diri yang buruk. Sementara konsep diri sangat berkait dengan citra diri, yakni bagaimana seseorang memandang dirinya dan bukan terutama oleh keadaan dirinya.

Selain itu, cara memandang diri sendiri sangat berkait dengan keyakinan tentang diri. Seseorang yang merasa tidak berharga, menganggap bahwa tidak ada satu pun yang mau menerima dirinya, maka sebanyak apa pun kawan di sekeliling dan sebaik apa pun sikap orang terhadapnya, tetap tidak membuatnya bisa menerima diri sendiri. Sebaliknya, meski ia memiliki banyak kekurangan dan tidak sedikit orang yang mencela, tapi jika ia merasa bahwa Tuhan menyayangi dan memilihnya sebagai salah satu hambanya yang terbaik, maka ia akan memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi, dan optimisme yang besar.

Kecenderungan Bersyukur
Apa yang bisa Anda simpulkan dari beberapa penjelasan yang baru saja kita disku¬sikan? Setidaknya ada dua hal. Pertama, syukur itu berkaitan dengan bagaimana kita mene¬rima, memandang dan memaknai apa yang kita terima. Bukan berkenaan dengan seberapa besar nikmat atau karunia yang kita peroleh. Betapa banyak orang yang hidupnya berlimpah harta, tetapi penuh keluh kesah. Tidak tenang jiwanya, tidak jernih hatinya.
Kedua, syukur itu manfaatnya untuk diri kita sendiri. Beryukur membuat karunia yang ”tak seberapa” dibanding tetangga sebelah, terasa jauh lebih membahagiakan. Kita me¬rasa puas terhadap nikmat yang kita peroleh dan memuji Allah Ta’ala yang telah melimpah¬kan karunia itu. Kita menggenggam nikmat dengan penuh rasa bahagia karena kita tak mem¬bandingkan apa yang kita peroleh dengan yang didapatkan orang lain. Sebaliknya, atas se¬tiap nikmat, kita memuji kepada Allah Ta’ala yang telah berkenan mengirimkannya kepada kita.

Allah Ta’ala berjanji akan menambah¬kan nik¬mat itu kepada mereka yang bersyukur.
”Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu ber¬syukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (Ibrahim [14]: 7).

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Salah satu anugerah yang harus kita berikan kepada anak adalah membangkitkan kecenderungan hati anak untuk bersyukur. Kita biasakan me¬reka mendengar ungkapan-ungkapan syukur. Kita dorong mereka untuk merasakan setiap kesempatan sebagai anugerah Allah Ta’ala sehingga ungkapan hamdalah selalu punya makna. Kita sering menyebut-nye¬but nikmat-Nya di hadapan mereka, sebagaimana Allah Ta’ala perintahkan: ” Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” (Adh-Dhuhaa [93]: 11).

Kapan sebaiknya kita menyebut-nyebut nikmat Allah? Setiap saat. Ungkapan-ungkap¬an spontan akan lebih terasa pengaruhnya bagi sikap mental anak. Ungkapan spontan men¬dorong munculnya kecenderungan hati sesuai dengan ungkapan yang sering mereka dengar dan ucapkan. Sesudah itu, kita kuatkan dengan menasehatkan dan pada akhirnya menyuruh untuk bersyukur.

Datangnya perintah sesudah ada kecenderungan, akan menguatkan kecenderungan itu. Sebagaimana perintah yang mengiringi upaya membangkitkan kecenderungan, akan me¬mudahkan anak untuk menerima.

Jangan Mempersekutukan Allah!
Selanjutnya, mari kita simak ayat berikutnya. Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepada¬nya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman [31]: 13).

Berpijak pada Tafsir Ibnu Katsier, ayat ini memuat dua pesan utama. Pertama, Luqman ibn Anqa’ bin Sadun berpesan agar anaknya menyembah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kedua, berpesan kepada anak bahwa ”sesungguhnya mempersekutukan Allah itu benar-benar merupakan kezaliman yang besar”. Syirik merupakan perbuatan paling zalim di antara kezaliman-kezaliman.

Inilah nilai-nilai dasar yang harus kita tanamkan kepada anak. Agar mereka menjadi orang yang memiliki kepribadian kuat dan memiliki arah yang jelas. Selain itu, kita juga perlu menanamkan prinsip hidup, orientasi hidup dan visi besar. Wallahu a’lam bishawab.

Mohammad Fauzil

0 komentar:

Posting Komentar