Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 25 Agustus 2012
Terasa ada yang hilang dari kemeriahan peringatan hari
ulang tahun (HUT) kemerdekaan negara tercinta, Indonesia, pada Agustus 2012
ini.
Mula-mula saya tak tahu, apa yang hilang itu.Tapi
kemudian terasa agak nyata ketika saya mengingat saat pergi (ke) dan pulang
(dari) Gedung DPR pada acara kenegaraan tanggal 16 Agustus 2012 lalu.Saat itu
ada dua acara kenegaraan yang dihadiri oleh (dan diisi dengan pidato
kenegaraan) Presiden di Gedung DPR, yaitu pidato kenegaraan menyambut HUT
kemerdekaan RI pada pukul 10.00 WIB dan pidato pengantar (nota keuangan) RAPBN
pada pukul 20.00 WIB. Sepanjang perjalanan, pulang dan pergi,menghadiri dua
acara penting itu tak tampak kemeriahan seperti biasanya.
Hampir tidak ada lambaian bendera merah putih dan
teriakan ”merdeka” dari orang-orang di jalan. Bahkan lebih banyak mobil dan
sepeda motor yang berlalu-lalang tanpa memasang bendera merah putih. Ini
berbeda bila dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu. Ketika sore harinya
saya berbuka bersama, berdua, di rumah Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan, saya
mendengar kesan yang sama. Pak Luhut adalah seorang penganut Kristen Protestan,
tetapi setiap bulan puasa sering mengundang sahabat-sahabatnya yang muslim,
seperti saya, untuk berbuka puasa di rumahnya.
Saat itu saya diundang berbuka puasa hanya berdua dengan
Pak Luhut karena pada saat diselenggarakan berbuka puasa yang beramai-ramai
beberapa hari sebelumnya di rumah Pak Luhut saya sedang di luar kota. Saat
makan berdua itulah Pak Luhut bercerita bahwa dirinya agak heran karena suasana
HUT kemerdekaan tahun ini tidak begitu meriah, tidak ada lambaian bendera putih
yang masif, tidak ada teriakan-teriakan ”merdeka” yang bertubi- tubi dan
bergemuruh. Itulah sebabnya dia mengeluarkan uang jutaan rupiah dari koceknya
dan menyuruh seorang pegawainya untuk membeli bendera merah putih sebanyak
mungkin guna dibagi-bagikan kepada pengendara mobil dan sepeda motor di
jalanan.
Ketika duduk dibalkon VVIP Gedung DPR pada upacara pukul
20.00 malam itu saya berbicara, berbisik-bisik, dengan seorang pejabat tinggi
yang persis duduk di samping saya. Saya heran, bahkan kaget, karena menurut
informasi mobil-mobil dinas yang datang ke DPR juga tidak memasang bendera
merah putih. Menurut informasi (maaf, ini informasi dari lisan ke lisan),
aparat keamanan dan pasukan pengamanan meminta agar mobil-mobil selain mobil
Presiden dan Wapres tak memasang bendera merah putih.
Tak tahulah saya, apakah benar ada larangan pemasangan
bendera itu, tetapi yang nyata (pasti bisa dilihat dari rekaman CCTV) hari itu
mobil-mobil pejabat yang datang ke Gedung DPR tidak memasang bendera merah
putih. Bahkan sopir saya pun sempat mencopot bendera itu, tetapi saya
perintahkan untuk memasangnya lagi. Sungguh mengherankan kalau sampai ada
peraturan atau kebijakan yang melarang pemasangan bendera nasional. Sekarang
ini bendera parpol saja banyak berkibaran di hampir semua ruas jalan, masak
bendera merah putih tak berkibar.
Peraturan dan logika apa yang dipakai untuk membuat
ketentuan begitu? Bagi kita mengibarkan dan melambai-lambaikan bendera merah
putih dan teriakan ”merdeka” itu secara umum merupakan ekspresi dari
nasionalisme. Memang, mengibarkan bendera nasional dan meneriakkan kata
”merdeka” bukan ukuran mutlak dari rasa dan sikap nasionalisme, tetapi ia
merupakan bagian dari cara mengekspresikan nasionalisme itu. Kalau
didefinisikan secara sederhana, nasionalisme adalah rasa cinta dan sikap ingin
selalu menghormati, membela, dan membanggakan bangsa dan negara dengan segala
simbol dan atribut-atributnya.
Nah, mengibarkan bendera nasional dan
melambai-lambaikannya sambil meneriakkan yel-yel ”merdeka” merupakan bagian
dari cara mengekspresikan nasionalisme ini. Yang bukan bangsa sendiri saja
banyak yang hormat dan bangga atas keindonesiaan kita. Pada 3 Juli 2012 yang
lalu saya diundang untuk berpidato tentang Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia
di hadapan para presiden MK dari negara-negara yang berbahasa Prancis. Ada
lebih dari 35 negara yang hadir pada acara yang diselenggarakan di Kota
Marakech, Maroko itu.
Ada adegan yang membuat saya merinding, terharu, dan
bangga sebagai orang Indonesia saat itu. Begitu saya selesai menyampaikan
pidato tiba-tiba Robert SM Dossou, Presiden Asosiasi MK Antarnegara Berbahasa
Prancis, berdiri dan mengomandoi tepuk tangan dengan meriah. Hebatnya, Mr
Dossou kemudian bercerita tentang kehebatan Indonesia sebagai pelopor
kebangkitan harga diri bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika. Dia pun
bercerita tentang Kongres Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. Dia juga fasih
bercerita tentang kehebatan Bung Karno sebagai tokoh yang sangat harum dan
disegani.
Yang mengagetkan, tiba-tiba Robert Dossou menyanyikan
lagu Halo-Halo Bandung sambil mengangkat-angkat kepal tinjunya menirukan gaya
Bung Karno kalau sedang berpidato. Saat itu, dengan haru dan bangga, saya ikut
menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung sambil mengangkat bendera merah putih yang
ada meja saya. Subhanallah, di negeri-negeri nun jauh di sana banyak orang yang
membanggakan Indonesia. Masak kita sendiri mau berbangga-bangga dengan bendera
nasional saja tidak didukung?
0 komentar:
Posting Komentar